Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, meminta agar dalam mengamandemen UUD Republik Indonesia (RI), para legislator tersebut mengamandemen Pasal 18b guna mengembalikan harkat dan martabat masyarakat hukum adat dan masyarakat yang selama ini terpinggirkan. 

Jika kami mau jujur, Pasal 18 b UUD RI itu justru mengkebiri masyarakat adat, sehingga hak-hak ulayat tanah mereka banyak yang dirampas oleh pengusaha atas nama investasi, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, kata M Yamin, Wakil Ketua APHA, usai menghadiri Forum Diskusi Group (FGD) di Jakarta, Kamis (12/9). 

Pasal 18 b menyebutkan antara lain, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Pasal itu, kata Yamin, yang juga pengajar hukum adat di Universitas Pancasila Jakarta, justru "mengkebiri" karena adanya hukum adat hanya ditentukan oleh surat keputusan Gubernur atau pemerintah daerah. Sementara kehidupan masyarakat adat  berada sebelum Indonesia merdeka. 

"Konsekuensi dari Pasal 18b itu menjadikan perampasan tanah ulayat dan tanah-tanah sekelas ulayat diduduki masyarakat untuk pertambangan, perkebunan dan pembangunan lain," katanya seraya menambahkan, masyarakat adat lama-lama akan punah jika Pasal 18b tidak segera diamandemen. 

M Yamin yang didampingi Ketua APHA Dr Laksanto Utomo, Prof Dr Dominikus Rato dari Universitas Negeri Jember dan Ketua Pusat Study Hukum Adat Univ Pancasila Dr Kunthi Tridewiyanti, menambahkan, sesungguhnya Pasal 18 dan pasal 28 i ayat (3) 1945 perlu juga ditinjau kembali mengingat adanya ketidak konsistenan terkait dengan istilah masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Keraguan dari bunyi pasal "sepanjang masih ada" seharusnya frasa kata itu tidak ada dalam undang-undang dasar mengingat masyarakat adat jauh lebih tua usianya ketimbang para anggota legislatif yang mengamademen UUD 1945.  

Kunthi juga menyoroti soal lambatnya DPR membahas Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat. RUU tersebut sudah lebih dari 20 tahun ada di DPR tetapi sampai saat ini belum selesai karena masih ada perdebatan dengan para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). "Ibarat gangsingan, cuma muter-muter saja di Senayan," selanya. 

Ia mengatakan, RUU Masyarakat Hukum Adat, DPD meminta agar ada pasal yang menyebutkan, perlunya perlindungan masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional beserta hak-hak adatnya. Tapi DPR belum sependapat akhirnya hingga kini belum ada kejelasan. "Lewat forum ini APHA mendesak DPR mendatang mau membuka kembali draf RUU Hukum Masyarakat Adat di bahas, kata Kunthi. 
 
   Sudah diusulkan

Ditempat yang sama, Dr Laksanto Utomo menambahkan, pekan lalu pihaknya sudah mengirim surat usulan ke Sekretaris Negara (Sekneg) soal perlunya amandemen Pasal 18b UUD RI.  APHA akan menambahkan usulan itu karena setelah FGD dilaksanakan, banyak temuan-temuan yang bermanfaat bagi masyarakat adat, NKRI dan perlindungan hak-hak mereka.
 
Salah satunya adalah perlunya dibuat Peradilan Adat, karena Peradilan adat penting untuk dilembagakan agar tidak semua sengketa tanah dan waris masuk ke pengadian negeri (PN). "Mereka punya mekanisme musyawarah untuk menyelesaikan dengan biaya murah dan waktu yang singkat.

Sifatnya final and binding, sehingga tidak perlu ada banding dan kasasi," kata Laksanto Utomo yang banyak melakukan penelitian suku-suku terasing dan anak dalam itu. 

Ia juga menyoroti soal RUU KUHP yang menyangkut masyarakat adat. Dalam RUU Pasal 2 ayat (1) menggunakan istilah hukum yang hidup dalam masyarakat. Frasa itu multi tafsir nantinya, karena akan mengundang perdebatan. Semestinya menyebut secara eksplisit bahwa hukum di masyarakat itu adalah hukum adat. 

Hadir dalam FGD itu sejumlah dosen dari pengajar hukum adat dan perdata seperti dari Universitas Admajaya Yogyakarta,  Universitas Negeri dari Madura, Tri Sakti, Universitas Taruma Negara Jakarta, Univ. Jember dan kalangan akademis lainnya. 

Pewarta: Theo Yusuf

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019