Lebak (Antara News) - Masyarakat komunitas Badui yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten sampai sekarang masih mengandalkan ekonomi dari hasil pertanian ladang.

"Semua warga Badui mengandalkan pendapatan ekonomi dari hasil bercocok tanam di ladang," kata Kudil (30) seorang petani Badui di Lebak, Kamis.

Kehidupan masyarakat Badui sejak dulu hingga sekarang mengandalkan ekonomi dari pertanian ladang dengan menanam padi, pisang, umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, cengkih, palawija dan tanaman keras.

Pola bercocok tanam Badui tentu berpindah-pindah lokasi dengan cara membuka kawasan hutan dijadikan ladang.

Pembukaan kawasan hutan itu dapat menyuburkan lahan pertanian karena limbah gulma dan kayu-kayuan, nantinya dibakar untuk dijadikan pupuk organik.

Karena itu, tanaman pertanian Badui selalu unggul dan berkualitas karena lahanya begitu subur.

"Kami mengembangkan pertanian ladang itu sejak turun temurun dari leluhur dan dilarang menanam pertanian di lahan persawahan yang menggunakan alat cangkul maupun pupuk kimia," katanya.

Ia mengatakan, masyarakat Badui sejak kecil tinggal di ladang pertanian dengan membuka hutan perbukitan di sekitar delapan kecamatan di Kabupaten Lebak.

Kedelapan kecamatan itu antara lain Leuwidamar, Cimarga, Gunungkencana, Cileles, Sobang, Muncang, Cirinten dan Bojongmanik.

Sebab, petani Badui dilarang mengembangkan pertanian melintasi Gunung Kendeng yang dipercayainya.

Mereka bercocoktanam di lahan perbukitan itu dengan cara menyewa lahan milik masyarakat atau bagi hasil setelah panen maupun memanfaatkan lahan negara milik Perum Perhutani.

"Kami mengembangkan tanaman pertanian itu bisa menghasilkan pendapatan ekonomi secara berkelanjutan dengan rincian penghasilan mingguan, bulanan juga tahunan," katanya.

Petani Badui lainnya, Salim (40) mengatakan dirinya setiap pekan menjual daun sereh dan pisang ke Pasar Rangkasbitung hingga menghasilkan pendapatan ekonomi sekitar Rp2,5 juta.

Produksi daun sereh dan pisang dari bercocoktanam di ladang,selain padi huma.

"Kami terbantu ekonomi keluarga dengan menjual hasil pertanian itu," katanya.

Tetua Adat Badui juga mantan Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak ainah mengatakan, kehidupan ekonomi masyarakat Badui mengandalkan dari bercocoktanam di ladang tanpa menggunakan peralatan pertanian juga pupuk kimia.

Mereka bercocoktanam di ladang-ladang sesuai adat leluhur yang harus dilestarikan.

Bahkan, dirinya juga mengembangkan perkebunan cengkih dan kayu-kayuaan untuk dijadikan tabungan masa depan.

Selama ini, ujar dia, masyarakat Badui belum pernah terjadi kelaparan karena kebutuhan pangan melimpah.

"Kami setiap panen padi huma disimpan dalam gudang dan tidak dijualnya, sehingga persedian pangan cukup untuk kebutuhan keluarga," katanya.

Sementara itu, Tinggal (45) seorang petani Badui mengaku bahwa dirinya kini memanen sayuran tebu telur atau "tiwu endog" tentu sangat membantu pendapatan ekonomi keluarga.

Produksi tebu telur itu ditampung oleh tengkulak seharga Rp6.000 per ikat dengan isi enam batang tebu telur.

Saat ini, dirinya bisa menjual 200 ikat per hari dan jika dikalkulasikan menghasilkan uang Rp1,2 juta dari harga Rp6.000/ikat itu.

Biasanya, panen tiwu endog itu bisa berlanjut sampai satu bulan kedepan.

"Kami merasa lega bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dari panen tebu telur itu," katanya.

Pewarta: Mansyur

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2017