Serang (Antara News) - Masyarakat adat Baduy di wilayah Selatan Kabupaten Lebak meminta pemerintah dan pihak yang peduli untuk memberikan perlindungan dan penguatan kearifan lokal masyarakat adat serta hak-nya, berkaitan dengan semakin berkembangnya masyarakat adat di wilayah tersebut.

"Mengingat kami punya kehidupan masyarakat yang berbeda dengan masyarakat umum, kami butuh dukungan semua tokoh dan terutama pemerintah. Contohnya perda hak ulayat perlu ditingkatkan ke aturan yang lebih tinggi, karena ini menyangkut hak masyarakat dan masa depan baduy. Kami punya kearifan lokal, kami punya tatanan," kata Mursyid tokoh masyarakat adat Baduy pada Seminar "Refleksi Penguatan Kearifan Lokal Masyarakat Baduy" yang diselenggarakan di gedung serbaguna DPRD Banten di Serang, Jumat.

Ia mencontohkan, lahan hak ulayat masyarakat Baduy yang luasnya sekitar 5.156 hektare semakin berkurang dan sebagian merupakan hutan lindung, perlu ada solusi dan perhatian dari pemerintah seiring dengan terus bertambahnya jumlah masyarakat Baduy di wilayah tersebut. Sementara semua masyarakat Baduy menggantungkan hidup dari lahan pertanian karena merupakan mata pencaharian utama.

"Kami setiap tahun melaksanakan seba kepada pemerintah untuk menyampaikan harapan dan keinginan kami. Namun setiap seba, itu saja yang dibicarakan tidak ada tindaklanjut," kata Mursyid atau biasa dipanggil ayah Mursyid.

Persoalan lainnya, kata Mursyid, soal pencantuman agama dalam KTP yang susah direalisasikan karena menjadi kebijakan pemerintah pusat. Sehingga seharusnya perlu ada kebijakan khusus untuk menyelesaikan persoalan tersebut karena sampai saat ini belum ada solusi.

Harapan serupa juga disampaikan Kepala Desa Kanekes atau Kepala Desa Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Jaro Saija.

Ia berharap kearifan lokal dan adat istiadat masyarakat Baduy harus tetap bertahan dan membutuhkan perlindungan, walaupun negara tetap harus berkembang dan maju. Begitu juga dengan tuntutan pencantuman agama di dalam KTP masyarakat Baduy harus bisa direalisasikan oleh pemerintah.

"Pelestarian alam harus bertahan, adat istiadat harus bertahan walaupun nagara maju. Masyarakat Baduy tidak korupsi, tidak mabuk-mabukan juga tidak suka judi, kami memegang adat istiadat. Masyarakat baduy juga menuntut kolom agama di KTP, kami malu masyarakat baduy disebut tidak beragama," kata Saija yang menjadi bagian dari narasumber bersama Ayah Mursyid dalam seminar tersebut.

Ia mengatakan, masyarakat baduy membutuhkan perlindungan dan penguatan mengingat jumlah masyarakat baduy terus berkembang hingga saat ini jumlah penduduk baduy tahun 2017 sebanyak 11.680 jiwa yang tersebar di 72 kampung dari sebelumnya hanya 52 kampung atau dusun, baik baduy luar maupun baduy dalam. Semua masyarakat baduy bertani dan berladang di sebagian dari 5.156 hektare tanah ulayat.

Sementara narasumber lainnya dari kalangan Budayawan dan Pemerhati Masyarakat baduy, Uten Sutendi mengatakan, kondisi masyarakat baduy saat ini sudah ada perubahan serta sudah ada penyimpangan aturan adat karena berbagai cara agen global merusak adat masyarakat Baduy. Padahal kearifan lokal adalah identitas sebuah bangsa dan menjadi kekayaan dan benteng nusantara yang kuat.

"Kearifan lokal perlahan dihancurkan, padahal kearifan lokal konsisten menjaga nilai luhur sebuah bangsa, kearifan lokal masyarakat baduy menjaga keseimbangan manusia dengan alam, menjaga keseimbangan manusia dengan manusia serta manusia dengan tuhan," katanya.

Oleh karena itu, kearifan lokal masyarakat baduy harus dipertahankan dan menjadi contoh masyarakat pada umumnya di Indonesia. Ia mencontohkan ketika para dokter saat ini menyarankan dan mulai ramai ke obat-obatan herbal, masyarakat baduy sudah lama menggunakan herbal untuk segala pengobatan penyakitnya. Begitu juga kaitannya dengan persoalan kemiskinan dan kerawanan pangan, masyarakat baduy sudah terbiasa menyimpan cadangan pangan di 'leuit' atau lumbung untuk mengantisipasi masa paceklik serta menjaga keseimbangan alam dengan memelihara hutan dan tanaman.

"Baduy perlu bantuan? betul, tapi jangan sampai merubah adat. Kesejahteraan masyarakat baduy, meningkatkan kapasitas ekonomi dan pemberdayaan skill masyarakatnya itu penting tanpa harus merusak nilai-nilai kearifan lokal di sana," kata Uten.

Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan Hak Azasi Manusia (PAK HAM) Papua Matius Murib yang juga narasumber seminar tersebut mengatakan, ada kesamaan dari kearifan lokal masyarakat adat di Papua dengan masyarakat adat Baduy di Jawa. Sehingga diperlukan adanya perjuangan untuk penguatan kapasitas dari kearifan lokal masyarakat baduy tersebut serta menuntut hak-hak azasi manusia dari masyarakat baduy.

"Saya sudah melihat ke sana ke Baduy pada Agustus lalu, sudah melihat kesamaan dan hampir sama dengan Papua, hanya masyarakat baduy tidak pakai koteka. Saya kira di Jawa sudah tidak ada seperti di Papau, ini sama perjuangannya untuk penguatan kapasitas. Kami akan perjuangkan hak-hak dasar yang harus dipenuhi karena kebutuhan dasar tidak boleh diabaikan," kata Matius Murib dalam seminar yang juga menghadirkan kalangan akademisi Prof Yislam Alwini dan Prof Syihabudin dari Untirta.

Pewarta: Mulyana

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2017