Serang (AntaraBanten) - Sudah lewat sepekan kampanye pesta demokrasi digelar. Banyak pula "bertebaran" janji-janji yang diumbar para calon anggota legislatif dari partai politik peserta Pemilu 2014, dan mayoritas janji disampaikan masih bersifat normatif.

Janji-janji manis yang disampaikan para calon anggota legislatif (caleg) ketika menyampaikan programnya kepada masyarakat di daerah pemilihannya saat berkampanye, pada umumnya berkaitan masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, kesehatan yang masih sampai ke masalah infrastruktur. 

Memang isu-isu tentang pertumbuhan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, sikap toleransi dan juga pemberantasan korupsi adalah isu yang menarik ditawarkan kepada pemilih.

Isu-isu semacam itu juga dikoar-koarkan para caleg perempuan asal Provinsi Banten saat berkampanye di wilayahnya masing-masing dengan langsung bertatap muka dengan konstituennya.

Dari sejumlah caleg perempuan di Banten yang dimintai komentarnya mengenai program yang akan ditawarkan, umumnya menjanjikan untuk memperjuangkan masalah Banten yang sampai saat ini belum juga terselesaikan seperti masalah kesehatan, gizi buruk, masalah pendidikan yang belum gratis sampai tingkat SMA dan infrastruktur jalan yang masih banyak yang rusak.

"Saya prihatin kasus gizi buruk di Banten. Ini akan menjadi konsen saya jika nanti terpilih sebagai anggota DPRD Banten. Saya akan mendorong SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait dan juga masyarakat untuk berpartisipasi aktif memberikan perhatian terhadap gizi buruk," kata Henny Murniati, caleg perempuan dari Partai Hanura.

Perempuan kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, 24 Pebruari 1975 ini menuturkan masih tingginya kasus gizi buruk di Banten tidak bisa disalahkan kepada SKPD tertentu seperti Dinas Kesehatan, tetapi tidak terlepas dari peran semua pihak termasuk masyarakat itu sendiri, terutama ibu-ibu dalam pola asuh anak.

"Paling utama yang harus diberi pengertian adalah ibu-ibu, mereka harus paham pola asuh anak. Mereka juga harus mengerti makanan bergizi itu seperti apa," kata Caleg Hanura dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kota Serang tersebut.

Gizi buruk yang mendera bayi di bawah lima tahun (balita) memang masalah yang belum juga tuntas diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Banten. Data dinas kesehatan Banten 2012 menyebutkan jumlah balita di Banten sekitar 1,1 juta jiwa, yang menderita gizi buruk 7.213 dan penderita gizi kurang sekitar 53.680 anak.

Henny mengatakan, kegagalan pelayanan bidang kesehatan di semua tempat, biasanya terjadi karena eksekutif dan legislatif lebih mengutamakan pengobatan dibandingkaan pencegahan. Padahal pencegahan itu lebih dibandingkan pengobatan.

Lain lagi cara yang disampaikan caleg perempuan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk tingkat DPR RI Hafazhah dalam menyikapi tentang masalah kesehatan yang belum dirasakan maksimal oleh masyarakat yang tidak mampu.

Gizi buruk yang tak kunjung tuntas diselesaikan itu ternyata tak diimbangi dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai seperti pusat kesehatan masyarakat Puskesmas di tiap kecamatan kondisinya memprihatinkan.

Perempuan kelahiran Kota Serang pada 27 Januari 1965 yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat DPR RI melalui Dapil Banten I Wilayah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, -- Sebelumnya pernah menjadi anggota DRPD Kabupaten Serang periode 2004-2009 --, berharap Puskesmas dapat dibenahi dan diperbagus dengan dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai.

"Saya pernah melarang dibangunnya rumah sakit Malimping, karena jangan dulu itu dibangun, tetapi dibaguskan dulu Puskesmas, kalau memang anggarannya terbatas, sebab ada skala prioritas untuk dikerjakan," katanya.

Meskipun ada beberapa puskesmas yang sudah bagus baik dari fisik maupun sarana dan prasarananya, namun dilihat dari kuantitas justru lebih banyak yang belum memenuhi standar, seperti puskesmas yang ada di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, katanya. 

Hafazhah menginginkan setiap puskesmas memiliki lebih dari satu bed (tempat tidur) dan dilengkapi dengan satu unit ambulans, dan dilengkapi tenaga medis dokter dan perawat yang siap melayani pasien sewaktu-waktu.

Berbeda kampanye yang dilakukan caleg perempuan dari partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Encop Sofia yang justru ingin memperjuangkan nasib anak-anak dan perempuan miskin, artinya tidak hanya sektor kesehatan saja yang perlu dibenahi tetapi juga sektor pendidikan, yang selama ini belum tertangani secara maksimal oleh pemerintah.   

Menurut Sofia, permasalahan kemiskinan pada ujungnya akan memunculkan isu-isu lain seperti pendidikan yang rendah, gizi yang buruk dan berbagai kondisi kesehatan lainnya.

"Oleh karena itu kita selalu memperhatikan agar suara-suara orang miskin ini bisa didengar oleh pemerintah setempat," kata Sofia yang juga Ketua DPC Gerindra Kota Serang, yang pada Pemilu 2014 mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Banten. Saat ini ia anggota DPRD Kota Serang.

   
Perjuangkan Guru Ngaji

Berbeda dengan keinginan calon anggota legislatif (caleg) perempuan untuk DPR RI dari Dapil II Banten, Kartika Yudhisti. Jika terpilih ia ingin memperjuangkan gaji dan tunjangan mengajar bagi para guru ngaji di madrasah dan pondok pesantren. 

"Sebagian besar dari kita yang sudah dewasa bisa mengaji dan memahami agama berkat jasa para ustadz. Jasanya begitu besar tapi tak ada yang peduli karena itulah saya ingin negara juga menganggarkan gaji dan tunjangan bagi mereka," kata putri Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali yang maju untuk daerah pemilihan Serang - Cilegon itu, di Serang, Senin. 

Menurut Kartika, sebagai negara yang berdasarkan pada azas Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah sepatutnya guru keagamaan termasuk guru mengaji yang mengajarkan Al Quran serta Agama Islam mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Dengan demikian, kata alumnus Melbourne University itu, tata kelola pengajaran keagamaan di Indonesia dapat dikembangkan dengan cara yang lebih baik sekaligus bersinergi dengan pengembangan wawasan kenegaraan. 

Berbagai program sudah disampaikan para caleg perempuan agar mendapatkan simpati dari konstituennya, namun mampukah mereka mengaplikasikan janji-janjinya tersebut jika terpilih menjadi wakil rakyat, terlebih lagi bagi mereka yang belum memiliki pengalaman sebagai wakil rakyat.

Pengamat Politik Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa  Gandung Ismanto mengatakan, eksistensi perempuan sebagai caleg yang diusung sebanyak minimal 30 persen oleh seluruh parpol merupakan berkah dari kebijakan afirmasi untuk mengakomodasi keterwakilan perempuan, namun kurang memperhatikan kapasitas dan integritas perempuan.

"Dampaknya mudah diterka bahwa mereka belum akan banyak mewarnai lembaga-lembaga publik yang dimasukinya setelah terpilih sebagai anggota legislatif, seperti berkaca pada hasil Pemilu 2009. Perempuan umumnya, bahkan lebih banyak diwarnai dan ikut arus politik yang sangat maskulin, sehingga berbagai kebijakan publik belum sensitif gender," kata Gandung Ismanto.

Ia mengatakan, sejumlah tokoh perempuan bahkan muncul bukan karena kapasitas dan pengalamannya, namun muncul secara instan dengan memanfaatkan hak yang dimiliki keluarganya secara kultural maupun kekayaan yang dimiliki keluarganya untuk memengaruhi proses politik sehingga cara berpolitik kaum perempuan tidak mampu memaknai hakikat keterwakilan perempuan dalam parlemen.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2014