Jakarta (Antara News) - Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan, Indonesia seharusnya bisa meniru Nepal soal harga BBM yang justru tidak mengenakan subsidi pada harga BBM.

"Di Nepal, dengan pendapatan per kapita 500 - 600 dolar AS, justru tidak ada subsidi untuk bahan bakar minyak," kata Paulus di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, harga BBM sejenis premium Rp12.000 ribu/liter, solar Rp13.000/liter, dengan pendapatan per kapita Indonesia 3.800 dolar AS masih bisa dijangkau dan bisnis pengusaha juga tidak terganggu.

"Namun untuk ukuran Indonesia minimal subsidinya jangan terlalu besar," kata Paulus.

Dia  yakin kenaikan harga BBM tidak akan berdampak serius terhadap industri, bahkan akan lebih baik dialihkan untuk mendukung energi alternatif seperti biofuel.

"Saya kira kenaikan BBM tidak terlalu berdampak, pasti positif. Subsidi pemerintah berkurang dan dana itu bisa untuk energi terbarukan, termasuk biofuel," ujar dia.

Paulus meminta, dana subsidi yang dialihkan dari minyak itu kemudian bisa dipakai untuk menambah dana riset para pengusaha.

"Bisa untuk riset atau yang lain dari dana subsidi," kata dia.

Ia kembali mengingatkan kalau subsidi terlalu besar, akan jadi racun dalam jangka panjang.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi menegaskan, kenaikan BBM dilakukan untuk menyehatkan postur APBN yang sudah terlalu besar dengan beban subsidi.

Menurut dia, subsidi BBM saat ini sudah tidak sehat lagi sehingga harus dikurangi. Namun subsidi dari pemerintah akan tetap ada tapi dialihkan ke sektor yang lebih produktif.

"Pemerintah ingin membentuk postur ABPN yang ideal. Subsidi sekarang, rata-rata 20 persen, itu sudah tidak sehat terhadap postur APBN," katanya.

Tidak ada niatan pemerintah memiskinkan rakyat, tetapi semata-mata untuk kesehatan fiskal, ujar Achsanul.
 
 
 

 
 
 
 
 

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2013