LSM Sinergia Animal bersama Bentara Papua memperkenalkan program "Nutrisi Esok Hari" kepada lembaga pendidikan di Indonesia mengenai makanan ramah lingkungan.

Program ini menghadirkan ahli nutrisi dan koki ke sekolah termasuk universitas bagaimana menyajikan makanan ramah lingkungan dengan menambah opsi berbasis nabati di kantin dan ruang makan.

"Kesehatan manusia dan isu keberlanjutan adalah dua masalah yang kami perjuangkan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan  rekomendasi IPCC (Panel Antarpemerintah terhadap Perubahan Iklim), mengurangi konsumsi produk hewani dan meningkatkan asupan makanan nabati adalah peluang besar untuk memitigasi perubahan iklim," kata ungkap Among Prakosa, Manajer Program Nutrisi Esok Hari dalam keterangan tertulis, Rabu.

Ide dari inisiatif tersebut adalah, setidaknya satu hari dalam seminggu, 100 persen makanan berbasis nabati akan ditawarkan untuk membantu lingkungan dan kesehatan manusia–tanpa mengabaikan kebutuhan nutrisi dan rasa yang enak, sebagai jaminan dari inisiatif tersebut. 

Dimulai di Kolombia pada 2019, program bernama Alimentando El Mañana atau Nutrisi Esok Hari ini telah berhasil mendapatkan komitmen dari sembilan institusi di negara Amerika Latin, dengan potensi menyajikan 1,1 juta porsi makanan berbasis nabati per tahun. 

"Kolombia adalah proyek percontohan yang membuahkan hasil yang sangat baik, dan LSM Sinergia Animal kini bermitra dengan Bentara Papua untuk memperluas inisiatif ini ke Indonesia," kata Prakosa. 

Di negara lain Nutrisi Esok Hari juga akan dimulai di Argentina dan Thailand pada tahun 2021. 

"Penelitian menunjukkan delapan dari 10 orang Indonesia menyadari pentingnya gaya hidup sehat, dengan tetap menjaga jejak lingkungan sedikit mungkin, sehingga kami melihat skenario yang sangat menjanjikan untuk mengimplementasikan program tersebut di sini," jelas Prakosa.

Ia menyoroti bahwa salah satu bagian terbaik dari program ini adalah bahwa layanan profesional dari koki dan ahli gizi benar-benar secara gratis diperuntukkan untuk institusi yang ingin ambil bagian dari inisiatif tersebut. 

Selain itu, inisiatif ini memastikan bahwa biaya keseluruhan yang dikeluarkan untuk menu baru adalah sama atau bahkan lebih rendah dari yang sebelumnya. Rangkaian kegiatan untuk memberikan diseminasi kesadaran kepada karyawan, guru, siswa dan orang tua juga diberikan oleh LSM Sinergia Animal.

Untuk memastikan menu yang sesuai gizi dan tentunya dapat menyenangkan bagi siswa, program tersebut bekerja sama dengan ahli gizi terakreditasi dan koki profesional, yang memberikan pelatihan bagi para juru masak yang bekerja di dapur institusi tersebut. 

Di antara pedoman tersebut, Nutrisi Esok Hari mengutamakan bahan-bahan lokal, mempromosikan masakan nabati asli Indonesia, serta mengkreasi ulang makanan lokal favorit, dalam versi berbasis nabati, tanpa mengurangi cita rasa khasnya.
 
“Meningkatkan konsumsi pangan makanan berbasis nabati secara utuh juga dapat menguntungkan para petani kecil,” jelas Imam Setiawan, Program Manajer Bentara Papua, mitra organisasi Nutrisi Esok Hari di Indonesia.

“Negara kita memiliki berbagai sumber pangan nabati, seperti sagu, sorgum, ubi jalar, talas, dan jewawut. Sumber makanan tersebut kebanyakan ditanam oleh petani kecil dan meningkatnya permintaan dapat membantu mereka menghasilkan lebih banyak dan mungkin menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih baik."

Sekitar 95,4 persen penduduk Indonesia berusia lima tahun ke atas hanya mengonsumsi 173 gram sayur dan buah per hari, seperti yang dilaporkan Program Pangan Dunia (WFP), padahal rekomendasi minimum dari Organisasi Kesehatan Dunia adalah 400 gram per orang per hari. Konsumsi buah-buahan dan biji-bijian yang tidak mencukupi serta asupan natrium yang tinggi adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab utama yang berkaitan dengan kematian yang disebabkan oleh pola makan, diikuti oleh kanker dan diabetes tipe 2.  

Selain lebih sehat, pola makan dengan lebih banyak sayuran dan lebih sedikit produk hewani juga lebih berkelanjutan bagi lingkungan. Data terbaru menunjukkan bahwa perubahan pola makan Indonesia ke lebih banyak produk hewani berdampak pada lingkungan. 

Menurut FAO, di tahun 2018 sektor pertanian Indonesia menyumbang 185,2 juta ton setara karbon dioksida, dimana 22,4 persen emisi GRK (gas rumah kaca) pertanian Indonesia berkaitan dengan industri peternakan.

Meningkatnya budidaya perikanan Indonesia juga harus menjadi perhatian. Delta Mahakam di Indonesia, yang pernah menjadi salah satu hutan bakau terbesar di Asia Tenggara, telah kehilangan 62 persen hutan bakaunya akibat konversi menjadi lahan budidaya perairan atau akuakultur. Kehilangan tersebut setara dengan 226 tahun akumulasi karbon tanah di hutan bakau alami.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021