Tangerang, (ANTARABanten) - Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Tangerang Selatan, Provinsi Banten, menyampaikan aspirasi ke Dinas Pendidikan setempat mengenai adanya temuan pungutan sekolah yang dibebankan kepada siswa terkesan dipaksakan.
"Ada peraturan Wali Kota Tangerang Selatan yang mengatur masalah pungutan secara sukarela. Namun itu rawan dijadikan lahan bisnis kepala sekolah", kata Muhammad Ibnu, perwakilan Permahi ditemui usai menggelar audiensi dengan jajaran Dinas Pendidikan di Tangerang, Senin.
Dikatakan, jika orang tua murid tidak membayar maka anaknya tidak boleh mengikuti ekstrakurikuler, dan tidak mendapat nilai.
Dikatakan Ibnu, Perwal yang dikeluarkan wali kota dinilainya telah di salahgunakan kepala sekolah untuk melakukan pungutan. Hal tersebut diketahui setelah banyak orang tua termasuk tetangganya yang mengeluh tentang pungutan itu.
Oleh karena itu, pihaknya meminta Kepala Dinas Pendidikan untuk segera melakukan pembenahan dan menghilangkan Perwal tersebut dan segara membentuk Raperda tentang pendidikan.
Apalagi, berdasarkan data yang dihimpun Permahi, anggaran dinas pendidikan mengalami peningkatan seperti tahun 2010 sebesar Rp 206 miliar, dan tahun 2011 menjadi Rp 241 miliar.
"Pungutan dilakukan dengan sebab karena kekurangan anggaran. Sedangkan data yang ada, jumlahnya meningkat. Lalu, bagaimana realisasi di lapangan dan kenapa murid yang dikorbankan," kata Ibnu yang disambut tepuk tangan puluhan rekan mahasiswa lainnya.
Kepala Dinas Pendidikan Tangsel, Mathodah mengatakan pihaknya memang kekurangan anggaran. Dana yang ada, sebagian besar digunakan untuk investasi seperti memperbaiki gedung sekolah yang rusak, biaya operasional, dan biaya personal. Akibatnya BOS (Biaya Operasional Siswa), BOP (Biaya Operasional Pendidikan), dan gaji guru tidak bisa dinaikkan sesuai harapan.
Seperti untuk murid SDN, anggaran hanya bisa menutup sebesar Rp 44.500/bulan/siswa. Sementara kebutuhan minimal Rp 90.000/bulan/siswa. Begitu juga untuk siswa SMPN dari kebutuhan minimal Rp 160.000/bulan/siswa, anggaran hanya sanggup menutup sebesar Rp 62.000/bulan/siswa.
"Pendidikan menjadi prioritas ketiga dibandingkan dengan kesehatan dan infrastruktur. Sehingga, anggaran yang ada, dimanfaatkan untuk yang lainnya," katanya.
Menurut Mathodah, pemkot Tangsel belum mampu memenuhi harapan dari pemerintah pusat bahwa minimal anggaran pendidikan 20 persen dari APBD/APBN. Saat ini Tangsel baru 12 persen dari APBD. "Karena itulah, Tangsel belum bisa menyelenggarakan sekolah gratis bagi siswa SD dan SMP, meskipun itu amanat UU," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2011
"Ada peraturan Wali Kota Tangerang Selatan yang mengatur masalah pungutan secara sukarela. Namun itu rawan dijadikan lahan bisnis kepala sekolah", kata Muhammad Ibnu, perwakilan Permahi ditemui usai menggelar audiensi dengan jajaran Dinas Pendidikan di Tangerang, Senin.
Dikatakan, jika orang tua murid tidak membayar maka anaknya tidak boleh mengikuti ekstrakurikuler, dan tidak mendapat nilai.
Dikatakan Ibnu, Perwal yang dikeluarkan wali kota dinilainya telah di salahgunakan kepala sekolah untuk melakukan pungutan. Hal tersebut diketahui setelah banyak orang tua termasuk tetangganya yang mengeluh tentang pungutan itu.
Oleh karena itu, pihaknya meminta Kepala Dinas Pendidikan untuk segera melakukan pembenahan dan menghilangkan Perwal tersebut dan segara membentuk Raperda tentang pendidikan.
Apalagi, berdasarkan data yang dihimpun Permahi, anggaran dinas pendidikan mengalami peningkatan seperti tahun 2010 sebesar Rp 206 miliar, dan tahun 2011 menjadi Rp 241 miliar.
"Pungutan dilakukan dengan sebab karena kekurangan anggaran. Sedangkan data yang ada, jumlahnya meningkat. Lalu, bagaimana realisasi di lapangan dan kenapa murid yang dikorbankan," kata Ibnu yang disambut tepuk tangan puluhan rekan mahasiswa lainnya.
Kepala Dinas Pendidikan Tangsel, Mathodah mengatakan pihaknya memang kekurangan anggaran. Dana yang ada, sebagian besar digunakan untuk investasi seperti memperbaiki gedung sekolah yang rusak, biaya operasional, dan biaya personal. Akibatnya BOS (Biaya Operasional Siswa), BOP (Biaya Operasional Pendidikan), dan gaji guru tidak bisa dinaikkan sesuai harapan.
Seperti untuk murid SDN, anggaran hanya bisa menutup sebesar Rp 44.500/bulan/siswa. Sementara kebutuhan minimal Rp 90.000/bulan/siswa. Begitu juga untuk siswa SMPN dari kebutuhan minimal Rp 160.000/bulan/siswa, anggaran hanya sanggup menutup sebesar Rp 62.000/bulan/siswa.
"Pendidikan menjadi prioritas ketiga dibandingkan dengan kesehatan dan infrastruktur. Sehingga, anggaran yang ada, dimanfaatkan untuk yang lainnya," katanya.
Menurut Mathodah, pemkot Tangsel belum mampu memenuhi harapan dari pemerintah pusat bahwa minimal anggaran pendidikan 20 persen dari APBD/APBN. Saat ini Tangsel baru 12 persen dari APBD. "Karena itulah, Tangsel belum bisa menyelenggarakan sekolah gratis bagi siswa SD dan SMP, meskipun itu amanat UU," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2011