APLI Harapkan Regulasi Baru Perbaiki Citra MLM
Minggu, 13 Juli 2014 21:27 WIB
Jakarta (Antara News) - Anggota Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI)¿ berharap regulasi yang baru diluncurkan pemerintah melalui UU No. 7 tahun 2014 tentang perdagangan akan dapat memperbaiki citra negatif terhadap perusahaan "multi level marketing" (MLM).
"Regulasi ini penting agar masyarakat jangan sampai terjebak ke dalam praktek 'money game' dengan berkedok ¿perusahaan MLM," kata Ketua Umum APLI Djoko H. Koswara di Jakarta, Minggu.
Djoko mengatakan, perbedaan paling nyata praktek "money game" yakni bonus diperoleh dari perekrutan, sedangkan dalam MLM atau penjualan dimanapun bonus diperoleh dari penjualan produk¿.
Sebelum bergabung dalam perusahaan MLM sebaiknya ditanyakan apakah ada produknya, kemudian aspek legal seperti SIUPL, izin edar BPOM dan Depkes, pastikan pembayaran bonus/ Komisi pada penjualan produk bukan uang pendaftaran, papar Djoko.
Djoko mengatakan, meskipun regulasi tersebut baru memenuhi 90 persen dari usulan APLI, namun setidaknya sudah mampu melindungi masyarakat terhadap praktek "money game" yakni penipuan menggunakan sistem piramida¿.
Djoko yang juga didampingi Wakil Ketua APLI Koen Verheyen dan Arif Mustolih mengatakan, anggota APLI saat berjumlah 86 perusahaan MLM, atau separoh lebih dari 160 perusahaan yang mengantongi Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL)¿.
Koen mengatakan, masih banyak perusahaan yang belum tergabung menjadi anggota APLI karena tidak memenuhi syarat seperti SIUPL kedaluarsa atau tidak mau ikut kode etik asosiasi, kemudian dari mereka banyak yang memang tidak tahu atau tidak peduli karena merasa belum merasakan manfaat.
"Padahal untuk menjadi anggota APLI syaratnya mudah memiliki SIUPL, membayar iuran Rp3 juta per tahun, serta melakukan presentasi terhadap bisnis MLM yang akan dilakukan, syarat presentasi ini diatur dalam regulasi," jelas Djoko.
Djoko mengatakan, jumlah tenaga kerja yang terlibat di perusahaan-perusahaan MLM anggota APLI tahun 2012 tercatat 9,4 juta dengan omzet Rp9,2 triliun, sedangkan tahun 2013 10,2 juta dengan omzet Rp11,7 triliun.
Djoko mengatakan, perusahaan MLM yang beroperasi di Indonesia banyak bergerak dibidang makanan sehat, pemeliharaan kulit, perlengkapan rumah tangga, dan fashion, dari jumlah 160 yang mengantongi SIUPL sebanyak 53 merupakan perusahaan asing.¿¿
Djoko mengatakan, kehadiran perusahaan MLM ini akan mendorong jumlah wirausaha di Indonesia, saat ini prosentase wirausaha di Indonesia sangat kecil hanya 0,8 persen dibanding jumlah penduduk, bandingkan dengan Malaysia 6 persen, Taiwan 30 persen, Singapura 10 persen.¿
Djoko mengatakan, APLI juga mengatur prilaku dan kode etik terhadap tenaga penjual seperti mereka tidak dilarang menjual produk ke toko karena akan memutus mata rantai penjual lain, serta membahayakan bisnis MLM secara keseluruhan.
"Produk yang dijual di toko harganya akan berbeda-beda¿ karena tergantung rantai distribusi dari produsen sampai ke toko, sedangkan MLM harga sama karena langsung melalui tenaga penjual," ujar Djoko.¿
Djoko berharap pemerintah dapat segera mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut undang-undang tentang perdagang terutama terkait dengan sanksi terhadap kejahatan berkedok MLM.
"Banyak korban dari masyarakat dengan penipuan menggunakan nama MLM seperti penjualan emas, paket Umroh, dan lain sebagainya yang seharusnya dapat dicegah apabila adan sanksi yang jelas," ujar Djoko.¿
Djoko mengatakan, sementara peraturan pendukung belum keluar berdasarkan regulasi tersebut kita menggunakan peraturan lain untuk mengenakan sanksi melalui beberapa jalur diantaranya melalui Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Bina Usaha, dan BKPM.
Namun biasanya perusahaan yang berpraktek money game maupun menggunakan sistem piramida tidak memiliki alamat yang jelas, seperti hanya mencantumkan alamat email dan nomor ponsel saja. Kita biasanya menunggu laporan masyarakat agar dapat ditindaklanjuti.