Ratusan pohon bakau (mangrove) di Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, terancam mati.
"Penyebabnya adalah serangan hama ulat bulu. Sangat disayangkan padahal usia bakau yang diserang ini sudah delapan tahun lebih," kata pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Citra Alam Bahari, Suhendar, di Bekasi, Sabtu.
Dia mengatakan serangan hama ulat bulu ini sudah berlangsung sejak Mei lalu saat peralihan musim dari musim hujan ke musim kemarau.
Ulat-ulat tersebut memakan daun pohon mangrove dari satu pohon ke pohon lainnya. "Jadi ulat ini makan daun pohon mangrove, nah ketika memakan itu fokus pada satu pohon sampai habis. Setelah satu pohon habis kemudian pindah lagi ke pohon lainnya," kata Suhendar.
Akibatnya lebih dari seratus pohon mati karena rapuh dan mengering. Padahal ekowisata seluas empat hektare itu selain dijadikan objek wisata juga bagian dari pelestarian alam untuk mencegah abrasi di desa setempat.
"Kami di sini memperhatikan bagaimana hutan mangrove terlindungi supaya tidak berubah fungsi menjadi tambak," kata dia.
Ekowisata Hutan Mangrove Pantai Mekar ini dikembangkan oleh PT Pertamina EP Asset 3 Tambun Field melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan itu. Wisata alam ini dilengkapi jalur trek menggunakan jembatan bambu menuju ke dalam hutan.
Camat Muara Gembong Junaefi mengatakan ekowisata hutan mangrove di wilayahnya ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat namun objek wisata ini belum mampu berkembang secara optimal karena terkendala akses menuju lokasi yang masih sulit.
"Hanya bisa diakses menggunakan sepeda motor dan kapal nelayan," katanya.
Junaefi berharap pemerintah daerah segera merealisasikan pembangunan infrastruktur yang memadai sampai ke lokasi ekowisata untuk memudahkan pengunjung menikmati panorama hutan konservasi tersebut.
"Kalau dari kota, akses tercepat melalui jalur tambak namun jalannya masih berbatu dan banyak lobang besar, belum diaspal. Sementara dari lokasi transit terakhir menuju objek wisata jalannya kecil, tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Kami meminta untuk dilebarkan jalan menuju wisata ini," kata dia.
Selain itu masyarakat sekitar juga memanfaatkan mangrove sebagai bahan dasar untuk membuat makanan olahan seperti dodol.
"Jadi mangrove ini perlu kita jaga bersama sebab ada nilai ekonomisnya bagi masyarakat sekitar," kata Junaefi.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Penyebabnya adalah serangan hama ulat bulu. Sangat disayangkan padahal usia bakau yang diserang ini sudah delapan tahun lebih," kata pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Citra Alam Bahari, Suhendar, di Bekasi, Sabtu.
Dia mengatakan serangan hama ulat bulu ini sudah berlangsung sejak Mei lalu saat peralihan musim dari musim hujan ke musim kemarau.
Ulat-ulat tersebut memakan daun pohon mangrove dari satu pohon ke pohon lainnya. "Jadi ulat ini makan daun pohon mangrove, nah ketika memakan itu fokus pada satu pohon sampai habis. Setelah satu pohon habis kemudian pindah lagi ke pohon lainnya," kata Suhendar.
Akibatnya lebih dari seratus pohon mati karena rapuh dan mengering. Padahal ekowisata seluas empat hektare itu selain dijadikan objek wisata juga bagian dari pelestarian alam untuk mencegah abrasi di desa setempat.
"Kami di sini memperhatikan bagaimana hutan mangrove terlindungi supaya tidak berubah fungsi menjadi tambak," kata dia.
Ekowisata Hutan Mangrove Pantai Mekar ini dikembangkan oleh PT Pertamina EP Asset 3 Tambun Field melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan itu. Wisata alam ini dilengkapi jalur trek menggunakan jembatan bambu menuju ke dalam hutan.
Camat Muara Gembong Junaefi mengatakan ekowisata hutan mangrove di wilayahnya ditujukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat namun objek wisata ini belum mampu berkembang secara optimal karena terkendala akses menuju lokasi yang masih sulit.
"Hanya bisa diakses menggunakan sepeda motor dan kapal nelayan," katanya.
Junaefi berharap pemerintah daerah segera merealisasikan pembangunan infrastruktur yang memadai sampai ke lokasi ekowisata untuk memudahkan pengunjung menikmati panorama hutan konservasi tersebut.
"Kalau dari kota, akses tercepat melalui jalur tambak namun jalannya masih berbatu dan banyak lobang besar, belum diaspal. Sementara dari lokasi transit terakhir menuju objek wisata jalannya kecil, tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Kami meminta untuk dilebarkan jalan menuju wisata ini," kata dia.
Selain itu masyarakat sekitar juga memanfaatkan mangrove sebagai bahan dasar untuk membuat makanan olahan seperti dodol.
"Jadi mangrove ini perlu kita jaga bersama sebab ada nilai ekonomisnya bagi masyarakat sekitar," kata Junaefi.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019