Pengamat hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan bahwa menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sama dengan mengembalikan MPR menjadi lembaga yang lebih tinggi dari lembaga lain.
"Saya tidak menggunakan kata yang tertinggi, tapi kalau dalam sistem presidensial GBHN kembali dihidupkan, maka MPR yang memiliki kewenangan atas GBHN seolah-olah menjadi lembaga yang lebih tinggi daripada lembaga negara lainnya," ujar Oce ketika dihubungi Antara di Jakarta, Kamis.
Bila MPR memiliki posisi yang lebih tinggi dari lembaga yang lain, Oce kemudian mempertanyakan apakah kekuasaan yang lain kemudian harus mengikuti MPR dalam membuat kebijakan.
"Ini adalah pertanyaan yang menurut saya perlu diklarifikasi. Karena tidak hanya untuk kekuasaan presiden, tapi juga untuk kekuasaan lembaga-lembaga yang lain," jelas Oce.
Lebih lanjut Oce mengatakan pada masa sebelum reformasi, MPR merupakan lembaga negara dengan posisi yang paling tinggi. Dalam hal ini, MPR menetapkan GBHN yang di dalamnya terdapat arah-arah politik hukum serta pembangunan yang harus diikuti oleh setiap komponen bangsa.
Baca juga: Soal usulan amandemen UUD 1945, Ketua DPR RI: Jangan terburu-buru
"Apakah akan menjadi seperti itu ke depannya, ini adalah hal-hal yang belum terklarifikasi dengan baik dan ketika ide ini ditawarkan, implikasinya menjadi panjang, karena tidak sekedar membuat dokumen GBHN saja," ujar Oce.
Implikasi yang dimaksud oleh Oce tidak hanya pada kedudukan MPR dalam tataran lembaga negara, namun juga terhadap kedudukan lembaga lain, kekuasaan presiden, serta berimplikasi terhadap pasal-pasal sensitif yang terdapat di dalam konstitusi.
"Bisa saja GBHN yang disusun ke depan menjadi GBHN versi reformasi. Tetapi bahwa fungsi GBHN itu di dalam sistem hukum kita belum terlalu jelas, dia akan digunakan untuk apa oleh MPR, apakah untuk mengevaluasi kinerja presiden, atau mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga lain," kata Oce.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Saya tidak menggunakan kata yang tertinggi, tapi kalau dalam sistem presidensial GBHN kembali dihidupkan, maka MPR yang memiliki kewenangan atas GBHN seolah-olah menjadi lembaga yang lebih tinggi daripada lembaga negara lainnya," ujar Oce ketika dihubungi Antara di Jakarta, Kamis.
Bila MPR memiliki posisi yang lebih tinggi dari lembaga yang lain, Oce kemudian mempertanyakan apakah kekuasaan yang lain kemudian harus mengikuti MPR dalam membuat kebijakan.
"Ini adalah pertanyaan yang menurut saya perlu diklarifikasi. Karena tidak hanya untuk kekuasaan presiden, tapi juga untuk kekuasaan lembaga-lembaga yang lain," jelas Oce.
Lebih lanjut Oce mengatakan pada masa sebelum reformasi, MPR merupakan lembaga negara dengan posisi yang paling tinggi. Dalam hal ini, MPR menetapkan GBHN yang di dalamnya terdapat arah-arah politik hukum serta pembangunan yang harus diikuti oleh setiap komponen bangsa.
Baca juga: Soal usulan amandemen UUD 1945, Ketua DPR RI: Jangan terburu-buru
"Apakah akan menjadi seperti itu ke depannya, ini adalah hal-hal yang belum terklarifikasi dengan baik dan ketika ide ini ditawarkan, implikasinya menjadi panjang, karena tidak sekedar membuat dokumen GBHN saja," ujar Oce.
Implikasi yang dimaksud oleh Oce tidak hanya pada kedudukan MPR dalam tataran lembaga negara, namun juga terhadap kedudukan lembaga lain, kekuasaan presiden, serta berimplikasi terhadap pasal-pasal sensitif yang terdapat di dalam konstitusi.
"Bisa saja GBHN yang disusun ke depan menjadi GBHN versi reformasi. Tetapi bahwa fungsi GBHN itu di dalam sistem hukum kita belum terlalu jelas, dia akan digunakan untuk apa oleh MPR, apakah untuk mengevaluasi kinerja presiden, atau mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga lain," kata Oce.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019