Serang (Antaranews Banten) - Pemerintah Provinsi Banten akan menanta kawasan wisata Banten Lama secara keseluruhan agar jejak keberagaman dan toleransi yang kuat di kawasan Kesultanan Banten itu bisa menjadi etalase kerukunan umat beragama di Indonesia.
"Ya banten itu sejak masa kesultanannya memang terdapat banyak ragam etnis, suku, agama. Jadi sebenarnya monumen keberagaman kebhinnekaan itu ada di tempat bersejarah ini (Banten)," kata Wahidin, Jumat.
Keberagaman di balik sejumlah peninggalan sejarah, seperti bangunan Vihara Avalokitesvara dan Komplek Masjid Agung Banten, yang masih tersisa utuh di kawasan Banten Lama Menjadi bukti kuat toleransi pada masa Kesultanan Banten abad ke 16 Masehi. Kedua bangunan yang kini menjadi tempat bersejarah dan banyak dikunjungi.
Wahidin berharap, warga masyarakat dapat memahami dan belajar tentang nilai-nilai sejarah, agar selalu menjunjung sikap toleransi dan menghargai nilai keberagaman yang berkembang di masyarakat.
Kawasan banten lama yang kini dalam proses revitalisasi oleh pemerintah provinsi banten, mulai terlihat lebih rapih, bersih dan tak lagi kumuh, jauh dari kesemrawutan para pedagang kaki lima yang dulu sempat membuat bangunan cagar budaya ini tertutup keindahannya.
Meski demikian, sejumlah bagian bangunan tetap masih dalam kondisi kokoh, dan tak banyak mengalami perubahan, tetap mempertahankan bangunan asli.
"Kawasan Banten Lama terus kita benahi. Masjid Agung Banten tak hanya menjadi ikon wisata religi, tapi juga mempunyai jejak bernilai sejarah keberagaman dan toleransi," katanya.
Hal itu, kata dia, diperkuat dengan dibangunnya Vihara Avalokitesvara pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, yang hingga kini masih berdiri berdekatan dengan kawasan Kesultanan Banten," ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari pengurus vihara setempat, Sutanta Ateng ada banyak alasan mengapa banyak keturunan Tionghoa, memilih merayakan di Vihara Avalokitesvara, yang merupakan salah satu vihara tertua. Setiap perayaan hari besar besar selalu ramai dikunjungi hingga 3.000 orang oleh warga keturunan tionghoa yang berada di wilayah Banten dan Jakarta.
Pembangunan vihara ini juga diakui tidak bisa dilepaskan dari nama besar Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia yang memiliki istri keturunan Kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien.
Sebagai bentuk toleransi atas perbedaan kepercayaan yang dianut masyarakat sekitar saat itu, melihat banyaknya pengikut putri yang masih memegang teguh keyakinannya. Untuk itu sebagai bentuk penghormatan, Sunan Gunung Jati pun membangunkan vihara pada tahun 1542 di wilayah banten yang lokasinya tak jauh dengan MasjidAagung Banten.
"Vihara ini kalau sesuai dengan pencatatan pemerintah berdiri sejak abad ke-16 Masehi ada juga yang bilang 15 Masehi. Vihara ini dibangun sebagai hadiah dari Sunan Gunung Jati kepada pengikut istrinya, Org Tien yang kebetulan putri keturunan Kaisar Tiongkok," jelas ateng.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2018
"Ya banten itu sejak masa kesultanannya memang terdapat banyak ragam etnis, suku, agama. Jadi sebenarnya monumen keberagaman kebhinnekaan itu ada di tempat bersejarah ini (Banten)," kata Wahidin, Jumat.
Keberagaman di balik sejumlah peninggalan sejarah, seperti bangunan Vihara Avalokitesvara dan Komplek Masjid Agung Banten, yang masih tersisa utuh di kawasan Banten Lama Menjadi bukti kuat toleransi pada masa Kesultanan Banten abad ke 16 Masehi. Kedua bangunan yang kini menjadi tempat bersejarah dan banyak dikunjungi.
Wahidin berharap, warga masyarakat dapat memahami dan belajar tentang nilai-nilai sejarah, agar selalu menjunjung sikap toleransi dan menghargai nilai keberagaman yang berkembang di masyarakat.
Kawasan banten lama yang kini dalam proses revitalisasi oleh pemerintah provinsi banten, mulai terlihat lebih rapih, bersih dan tak lagi kumuh, jauh dari kesemrawutan para pedagang kaki lima yang dulu sempat membuat bangunan cagar budaya ini tertutup keindahannya.
Meski demikian, sejumlah bagian bangunan tetap masih dalam kondisi kokoh, dan tak banyak mengalami perubahan, tetap mempertahankan bangunan asli.
"Kawasan Banten Lama terus kita benahi. Masjid Agung Banten tak hanya menjadi ikon wisata religi, tapi juga mempunyai jejak bernilai sejarah keberagaman dan toleransi," katanya.
Hal itu, kata dia, diperkuat dengan dibangunnya Vihara Avalokitesvara pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, yang hingga kini masih berdiri berdekatan dengan kawasan Kesultanan Banten," ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari pengurus vihara setempat, Sutanta Ateng ada banyak alasan mengapa banyak keturunan Tionghoa, memilih merayakan di Vihara Avalokitesvara, yang merupakan salah satu vihara tertua. Setiap perayaan hari besar besar selalu ramai dikunjungi hingga 3.000 orang oleh warga keturunan tionghoa yang berada di wilayah Banten dan Jakarta.
Pembangunan vihara ini juga diakui tidak bisa dilepaskan dari nama besar Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia yang memiliki istri keturunan Kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien.
Sebagai bentuk toleransi atas perbedaan kepercayaan yang dianut masyarakat sekitar saat itu, melihat banyaknya pengikut putri yang masih memegang teguh keyakinannya. Untuk itu sebagai bentuk penghormatan, Sunan Gunung Jati pun membangunkan vihara pada tahun 1542 di wilayah banten yang lokasinya tak jauh dengan MasjidAagung Banten.
"Vihara ini kalau sesuai dengan pencatatan pemerintah berdiri sejak abad ke-16 Masehi ada juga yang bilang 15 Masehi. Vihara ini dibangun sebagai hadiah dari Sunan Gunung Jati kepada pengikut istrinya, Org Tien yang kebetulan putri keturunan Kaisar Tiongkok," jelas ateng.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2018