Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia optimistis target penurunan prevalensi stunting 14 persen tahun 2024, bisa tercapai dengan melakukan berbagai intervensi untuk pencegahan.
 
"Kami terus berupaya dengan kerja keras agar prevalensi stunting tahun ini turun 14 persen sesuai harapan Bapak Presiden Joko Widodo," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat (Kemenkes) RI Niken Wastu Palupi saat peluncuran Program Kolaborasi Lebak Atasi Stunting Inflasi dan Kemiskinan Ekstrem atau Program Klasik di Kabupaten Lebak, Kamis.
 
Berdasarkan data hasil intervensi penanganan stunting pada Juni 2024, secara serentak di Indonesia tercatat sekitar 21 persen atau 2 juta balita yang teridentifikasi stunting.
 
Meski berat untuk pencapaian penurunan target 14 persen angka stunting 2024, pihaknya berupaya untuk menyukseskan dengan berbagai intervensi dilakukan oleh Kemenkes agar tidak ada lagi kasus stunting baru untuk mempersiapkan generasi Emas 2045.
 
Secara spesifik penanganan stunting Kemenkes dengan 11 intervensi, mulai dari skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah (TTD) bagi kalangan remaja putri, pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronik (KEK).

Baca juga: 1,4 juta keluarga telah ikuti program BKB Posyandu
 
Selain itu, pemantauan pertumbuhan balita, ASI eksklusif, pemberian MPASI kaya protein hewani bagi bayi usia dua tahun (baduta), tata laksana balita dengan masalah gizi.
 
Begitu juga peningkatan cakupan dan perluasan imunisasi, edukasi remaja ibu hamil dan keluarga, termasuk pemicu bebas buang air besar sembarangan (BABS)
 
"Kita dorong 11 intervensi itu agar kasus prevalensi stunting bisa tercapai hingga akhir tahun 2024, secesar 14 persen," katanya.
 
Menurut dia, penanganan stunting itu mulai remaja putri, calon pasangan pengantin, ibu hamil, persalinan, dan pasangan usia subur (PUS).
 
Penanganan stunting harus dilakukan kolaborasi dengan melibatkan pemangku kepentingan, organisasi perangkat daerah (OPD), mitra daerah, dan tanggung jawab sosial swasta.
 
Untuk pencegahan pernikahan dini bisa dilakukan intervensi dengan melibatkan OPD yang terkait, di antaranya Kementerian Agama, Pemerintah Daerah,Tokoh Agama dan masyarakat setempat.
 
Begitu juga peran OPD lainnya, posyandu bekerja sama dengan puskesmas dan pemerintah desa untuk membantu persalinan hingga pemeriksaan USG kepada ibu hamil.

Baca juga: Dinkes Lebak optimalkan pencegahan stunting dengan kolaborasi stakeholder
 
Selain itu, juga penanganan sensitif dengan OPD lainnya, seperti membangun sarana air bersih dan sanitasi yang memadai serta rumah tidak layak huni melibatkan DPUPR. Dinas Sosial dengan memberikan bantuan sosial, Dinas Ketahanan Pangan memberikan program pangan berupa beras.
 
"Kami mengapresiasi penanganan stunting di Lebak yang berhasil dengan kolaborasi dan sinergisitas itu berjalan dengan baik," katanya.
 
Kepala Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Lebak Tuti Nurasiah mengatakan pihaknya bertekad mencegah munculnya kasus stunting baru dan mewujudkan untuk menyiapkan Generasi Emas 2045.
 
Pemerintah daerah fokus melakukan intervensi terhadap keluarga anak stunting, ibu hamil, ibu bersalin, remaja, calon pengantin, dan pasangan usia subur.
 
"Penanganan stunting bagi anak usia di atas dua tahun dilakukan melalui pemberian makanan tambahan guna meningkatkan status gizi mereka," katanya.
 
Sedangkan bagi pasangan usia subur harus mendapatkan pelayanan reproduksi agar benar-benar menjalani persalinan dengan layak. "Kami mengoptimalkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar mengetahui upaya pencegahan stunting ini," kata Tuti.

Baca juga: Atasi balita stunting, Pemkab Lebak distribusikan telur

Pewarta: Mansyur suryana

Editor : Bayu Kuncahyo


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2024