Anggota DPR RI Hillary Brigitta Lasut meraih rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai anggota DPR RI perempuan dengan gelar doktor hukum termuda dari Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH), Karawaci, Tangerang, Sabtu.
Raihan tersebut diperolehnya setelah berhasil mempertahankan seluruh pertanyaan dari para penguji pada sidang terbuka promosi doktor hukum di Grand Chapel UPH sehingga ia berhak menjadi lulusan doktor hukum ke-142 di FH UPH.
Hillary dalam keterangan resmi yang diterima media, mengangkat penelitian disertasi berjudul "Penerapan Konsep 'Restorative Justice' dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pasca-Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV2016".
Dia menuturkan bahwa keadilan restoratif atau restorative justice yang ditawarkannya berlaku pada tahap pra ajudikasi, yakni pada kelembagaan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Komisi III DPR minta kasus kontes kecantikan diusut tuntas
Menurut dia, orientasi utama dari adanya restorative justice tersebut ialah agar kerugian keuangan negara bisa diselamatkan dengan optimal.
Selain itu, kata dia, penyelesaian korupsi semestinya secara mutatis mutandis senapas dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2016.
"Termasuk, menjalankan putusan MK di tahun 2016 di mana ada perubahan paradigma dari awalnya potential loss menjadi actual loss pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor," ujar Hillary.
Dibandingkan penyelesaian melalui pemidanaan, Hillary menawarkan penyelesaian dilakukan secara perdata khusus. Ia membatasi limit kejahatan tipikor yang dapat menggunakan fasilitas restorative justice tersebut maksimal Rp1 miliar.
Baca juga: DOKU dorong semangat kewirausahaan di sektor institut pendidikan
Di samping itu, dia mengingatkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus tetap menjadi lembaga netral dalam mengeluarkan perhitungan hasil audit investigasi actual loss yang menunjukkan ada atau tidaknya kerugian negara ataupun daerah.
Untuk itu, Hillary memandang diperlukan beberapa revisi dari peraturan kepolisian dan kejaksaan yang masih belum mengakomodir tipikor masuk dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice.
Termasuk, tambah dia, memastikan ke depannya tidak ada lagi kriminalisasi yang dibuat untuk merugikan salah satu pihak dikarenakan ada perbedaan politik yang tidak bisa direkonsiliasi.
Turut hadir pada acara tersebut sejumlah tokoh, di antaranya Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan, Bupati Talaud Elly Engelbert Lasut, Ketua Yayasan Pendidikan Pelita Harapan James Riady, hingga mantan Menteri Perhubungan RI Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Evert Ernest Mangindaan.
Baca juga: Revisi UU Penyiaran diharapkan tuntas sebelum Pemilu 2024
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023
Raihan tersebut diperolehnya setelah berhasil mempertahankan seluruh pertanyaan dari para penguji pada sidang terbuka promosi doktor hukum di Grand Chapel UPH sehingga ia berhak menjadi lulusan doktor hukum ke-142 di FH UPH.
Hillary dalam keterangan resmi yang diterima media, mengangkat penelitian disertasi berjudul "Penerapan Konsep 'Restorative Justice' dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pasca-Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV2016".
Dia menuturkan bahwa keadilan restoratif atau restorative justice yang ditawarkannya berlaku pada tahap pra ajudikasi, yakni pada kelembagaan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Komisi III DPR minta kasus kontes kecantikan diusut tuntas
Menurut dia, orientasi utama dari adanya restorative justice tersebut ialah agar kerugian keuangan negara bisa diselamatkan dengan optimal.
Selain itu, kata dia, penyelesaian korupsi semestinya secara mutatis mutandis senapas dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2016.
"Termasuk, menjalankan putusan MK di tahun 2016 di mana ada perubahan paradigma dari awalnya potential loss menjadi actual loss pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor," ujar Hillary.
Dibandingkan penyelesaian melalui pemidanaan, Hillary menawarkan penyelesaian dilakukan secara perdata khusus. Ia membatasi limit kejahatan tipikor yang dapat menggunakan fasilitas restorative justice tersebut maksimal Rp1 miliar.
Baca juga: DOKU dorong semangat kewirausahaan di sektor institut pendidikan
Di samping itu, dia mengingatkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus tetap menjadi lembaga netral dalam mengeluarkan perhitungan hasil audit investigasi actual loss yang menunjukkan ada atau tidaknya kerugian negara ataupun daerah.
Untuk itu, Hillary memandang diperlukan beberapa revisi dari peraturan kepolisian dan kejaksaan yang masih belum mengakomodir tipikor masuk dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice.
Termasuk, tambah dia, memastikan ke depannya tidak ada lagi kriminalisasi yang dibuat untuk merugikan salah satu pihak dikarenakan ada perbedaan politik yang tidak bisa direkonsiliasi.
Turut hadir pada acara tersebut sejumlah tokoh, di antaranya Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan, Bupati Talaud Elly Engelbert Lasut, Ketua Yayasan Pendidikan Pelita Harapan James Riady, hingga mantan Menteri Perhubungan RI Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Evert Ernest Mangindaan.
Baca juga: Revisi UU Penyiaran diharapkan tuntas sebelum Pemilu 2024
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023