Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia yakni Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) serta Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) berharap pemerintah segera menyesuaikan harga rumah subsidi.

Wakil Ketua Umum DPP REI, Maria Nelly Suryani dalam diskusi media yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum (IHCF) bekerjasama dengan Real Estat Editors Community (RE2C) di Jakarta, Jumat, berharap program rumah subsidi dapat terus berlanjut.

"Kami siap untuk mendukung program pemerintah menyediakan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) melalui program sejuta rumah setiap tahunnya," ucap Maria.
 
Tetapi diakuinya, pembangunan rumah bersubsidi yang berbasis pada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) saat ini mengalami berbagai masalah. Selain tidak ada kenaikan patokan harga jual sejak 2020,  pengembang malah dituntut untuk meningkatkan kualitas rumah yang persyaratannya terlalu teknis seperti halnya kontraktor. 

Baca juga: Didukung Bank BTN, REI Batam gelar diklat
 
“Tidak apa sih dituntut kualitas dengan spek yang tinggi asal harga berimbang. Ada barang, ada harga! Jika syarat itu tetap dipaksakan dampaknya pasti semakin banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang atau beralih ke rumah komersial,” tegasnya.  
 
Menurut Maria, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah saja, tetapi juga butuh bahan material. Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan tersebut harus diikuti oleh pengembang. Sebagai contohnya harga besi yang sudah naik 90% sejak 2020.  
 
REI menilai, pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut. Tapi kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan. Alih-alih menaikkan harga, justru peningkatan kualitas rumah dengan berbagai syarat teknis yang dipaksakan pemerintah. 
 
Maria juga berharap proses harmonisasi ketentuan kenaikan harga rumah subsidi bisa lebih mudah. Padahal, pemerintah pernah menerbitkan PMK yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per 5 tahun pada 2013 dengan terukur dan jelas. Sebagai barometer pemerintah mengacu pada proyeksi kenaikan inflasi.  
 
“Saat itu harmonisasi di Kemenkeu sangat mudah. Terakhir tahun 2020, dimana setelah itu harmonisasi harga rumah subsidi ditetapkan setiap tahun. Seharusnya, bagaimana pun kondisi negara tetap rumah itu kebutuhan dasar,” katanya. 
 
Penegasan yang sama disampaikan Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah. Menurutnya, pasca pandemi Covid-19 pengembang sebenarnya cukup bersemangat untuk kembali membangun rumah subsidi. Tetapi harga material dan tanah yang semakin melambung tinggi tanpa ada penyesuaian harga jual membuat banyak pengembang kesulitan. 
 
“Situasi ini sangat memberatkan pengembang. Akibatnya banyak pengembang sudah beralih meninggalkan rumah bersubsidi. Karena untuk membangun kembali sudah sulit terutama akibat harga bahan material yang sudah naik,” ungkapnya. 
 
Apersi meminta keseriusan dan perhatian pemerintah terhadap program rumah bersubsidi ini dengan menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah, MBR, pengembang dan perbankan. Dikatakan Junaidi, banyak masyarakat yang masih butuh rumah. Namun jika pengembang tidak lagi mau memproduksi maka MBR akan dirugikan. 
 
Sebenarnya, pemerintah tidak perlu tarik ulur dengan pengembang setiap tahun untuk menyesuaikan  harga jual. Hal itu karena inflasi pasti terjadi setiap tahun, sehingga penyesuaian kenaikan dapat mengacu pada besaran inflasi.  
 
Lewat cara itu, pengembang tidak harus pusing menunggu-nunggu peraturan menteri keuangan atau keputusan menteri seperti sekarang ini. Pemerintah juga tidak perlu pusing melakukan pembahasan dan proses harmonisasi yang sangat panjang lebar seperti ini.  
 
“Atau memang pemerintah menunggu banyak pengembang bertumbangan? Sudah harga tidak naik, malah ada aturan-aturan yang banyak sekali. Kami sepakat kualitas harus ditingkatkan, tapi harga ayo disesuaikan. Kalau harga kedelai naik, pasti harga tahu pun naik,” sebut Junaidi. 
 
Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja juga menyoroti soal penurunan pasokan rumah bersubsidi di awal tahun ini berdasarkan informasi dari BP Tapera jadi berkurang dari target sehingga memengaruhi realisasi KPR bersubsidi. 
 
“Terakhir, kami asosiasi pengembang justru diminta menandatangani perjanjian soal peningkatan kualitas rumah. Kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6-7 persen atau kalau bisa 10 persen. Dengan begitu kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” tegas Endang. 
 
Dia menyebutkan, segmen rumah subsidi membutuhkan aturan khusus yang mengikat dari hulu ke hilir, dari suplai hingga pembiayaan kepada konsumen. Menurut Endang, PP No 64 tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah memiliki spirit yang baik dalam pelaksanaan pembangunan rumah subsidi. Tetapi semangat itu hilang pasca terbitnya PP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 
 
“Dimana dengan kedua regulasi tersebut, tidak ada lagi kekhususan. Banyak aturan, tapi kurang spesifik. Kami mendesak adanya penerus PP 64/2016 yang secara khusus memprioritaskan pembangunan,” kata Endang. 

Baca juga: REI: Sertifikasi bertujuan agar pengembang patuh aturan
 
Sebagai contoh aturan di Permen LHK No 4 tahun 2021 terkait Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) dimana tidak jelas batasan luas lahan perumahan yang harus memiliki Amdal. Padahal dalam PP 64/2016 cukup jelas bahwa untuk lahan di bawah 5 hektar cukup pernyataan saja, 5-25 hektar cukup UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dan di atas baru diwajibkan mengantongi Amdal. Sementara berdasarkan permen, semua jenis perumahan mendapat perlakuan sama termasuk rumah sederhana subsidi yang memiliki luas hanya 5 hektar.  
 
“Butuh regulasi yang seperti PP 64/2016 atau penerusnya yang jelas mengatur apa saja syarat untuk membangun rumah subsidi. Yang simple dan tidak multitafsir,” kata Endang. 
 
Maria juga sependapat bahwa PP 64/2016 adalah aturan yang sudah bagus termasuk aturan turunannya yakni Permendagri Nomor 55 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Perizinan dan Non-perizinan Pembangunan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Daerah.  
 
“Itu saja dilanjutkan karena detail sekali termasuk untuk perizinan di daerah. Namun pasca UU Cipta Kerja enggak tahu bagaimana jadi lebih banyak peraturan yang berbenturan,” ungkapnya. 
 
Merugikan MBR 
 
Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia tersebut sepakat bahwa penundaan penyesuaian harga rumah subsidi pada akhirnya akan merugikan konsumen yakni MBR. 
 
“Yang kami khawatirkan justru dampaknya kepada MBR. Kalau harga tidak naik dan pengembang terus dihantam oleh aturan yang banyak, maka banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang dan berkurang. Ini yang rugi ya MBR karena suplai dan pilihannya menjadi sedikit,”  ujar Endang. 
 
Junaidi mengatakan saat ini memang banyak pengembang yang mengubah rumah subsidi menjadi rumah komersial. Hal itu karena mereka lelah disuruh menunggu harga baru dan ditambah lagi dengan berbagai aturan yang menyulitkan. 
 
“Tapi efeknya akan dirasakan masyarakat juga karena angsuran KPR-nya menjadi lebih mahal,” sebutnya.  
 
Pendapat senada dikatakan Maria. Menurutnya, MBR tetap akan dirugikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih dan memiliki rumah. Sementara rumah merupakan kebutuhan dasar manusia. Penyediaan rumah juga merupakan kewajiban pemerintah, sedangkan pengembang hanya membantu. 
 
“Mohon dipertimbangkan situasi pengembang termasuk jangan terus menerbitkan aturan yang seperti air hujan yang turun deras,” pungkas Maria.

 

Pewarta: Sambas

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023