Sutradara Hanung Bramantyo mengatakan nilai universal adalah salah satu hal penting dalam sebuah film.
"Film-film yang bagus, film-film yang banyak ditonton itu adalah film-film yang mencerminkan kehidupan dengan masalah yang universal, terlepas dari suku maupun daerah (latar dari film tersebut)," kata Hanung dalam jumpa pers secara virtual, Jumat.
Baca juga: MAXstream rilis "Mengejar Surga", film orisinal perjuangan seorang anak menemukan ayah kandung yang dirindukan
Lebih lanjut, sutradara "Ayat-ayat Cinta" (2008) itu mengatakan, nilai tersebut bisa didapatkan melalui kedekatan cerita dengan penonton maupun pembuat filmnya.
Bagi Hanung, film harus bisa membuat keterkaitan (related) dengan penonton, masyarakat, dan budaya masyarakat, sehingga penonton akan merasa bisa terhubung dengan film yang ia tonton. Maka dari itu, Hanung mengatakan penting bagi pembuat film dan seniman untuk peka akan lingkungan sekitarnya.
"Seniman, termasuk filmmaker, harus peka terhadap situasi sosial, perkembangan zaman, tema, dan isu sosial yang ada di sekitarnya. Buat saya, seorang filmmaker tidak boleh apolitis, asosial, ahistoris. Mereka harus peka melihat situasi," kata sutradara "Bumi Manusia" (2019) itu.
Cerita yang dekat, bagi Hanung, adalah cerita yang "apa adanya" dan "tidak perlu mengada-ada". Selain itu, ia berpesan kepada para pembuat film muda untuk tidak terjebak pada stereotip -- baik untuk cerita maupun karakter-karakter di cerita tersebut.
"Karakter-karakter yang akan kita suguhkan, meskipun kita mengambil stereotyping, kita bisa bermain ke konfliknya -- bagaimana cara lakon utamanya menghadapi masalah. Jangan sampai kita terjebak dengan hal yang paling mudah, meskipun mungkin tanpa kita sadari kita melakukan hal tersebut (ketika membuat film)," jelas Hanung.
"Alam stereotyping itu memang sudah ada di bawah alam sadar kita menyusul tayangan-tayangan yang kita konsumsi, membuat kita menjadi malas mengeksplor. Sehingga, kita harus kreatif, karena itu adalah tuntutan kita sekarang seiring dengan adanya media sosial, gadget, dan lainnya," imbuhnya.
Kepada para pembuat film muda, sutradara "Satria Dewa: Gatotkaca" (2022) tersebut mengatakan tidak perlu ragu memulai membuat film, yang bisa dimulai dengan membuat film pendek terlebih dahulu.
Menurut Hanung, banyak sineas yang memulai perjalanan dan karier di dunia sinema melalui produksi film pendek.
"Banyak filmmaker di dunia mengawali (karier) dari film pendek. Namun, perlu diingat bahwa film pendek bukanlah jenjang karier. Film pendek itu seperti (wadah) kita curhat, itu medium yang sangat personal dan dekat dengan pembuatnya, dan tidak terlalu banyak aturan teknis," kata Hanung.
"Film pendek menjadi karya personal, yang dimana ketika kita punya kegelisahan bisa dituangkan ke sana. Buat saya, film pendek sekarang ini menjadi wahana yang cukup representatif untuk kita mengeluarkan gagasan dan membuat kita terus eksis dan profesional," ujarnya menambahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022
"Film-film yang bagus, film-film yang banyak ditonton itu adalah film-film yang mencerminkan kehidupan dengan masalah yang universal, terlepas dari suku maupun daerah (latar dari film tersebut)," kata Hanung dalam jumpa pers secara virtual, Jumat.
Baca juga: MAXstream rilis "Mengejar Surga", film orisinal perjuangan seorang anak menemukan ayah kandung yang dirindukan
Lebih lanjut, sutradara "Ayat-ayat Cinta" (2008) itu mengatakan, nilai tersebut bisa didapatkan melalui kedekatan cerita dengan penonton maupun pembuat filmnya.
Bagi Hanung, film harus bisa membuat keterkaitan (related) dengan penonton, masyarakat, dan budaya masyarakat, sehingga penonton akan merasa bisa terhubung dengan film yang ia tonton. Maka dari itu, Hanung mengatakan penting bagi pembuat film dan seniman untuk peka akan lingkungan sekitarnya.
"Seniman, termasuk filmmaker, harus peka terhadap situasi sosial, perkembangan zaman, tema, dan isu sosial yang ada di sekitarnya. Buat saya, seorang filmmaker tidak boleh apolitis, asosial, ahistoris. Mereka harus peka melihat situasi," kata sutradara "Bumi Manusia" (2019) itu.
Cerita yang dekat, bagi Hanung, adalah cerita yang "apa adanya" dan "tidak perlu mengada-ada". Selain itu, ia berpesan kepada para pembuat film muda untuk tidak terjebak pada stereotip -- baik untuk cerita maupun karakter-karakter di cerita tersebut.
"Karakter-karakter yang akan kita suguhkan, meskipun kita mengambil stereotyping, kita bisa bermain ke konfliknya -- bagaimana cara lakon utamanya menghadapi masalah. Jangan sampai kita terjebak dengan hal yang paling mudah, meskipun mungkin tanpa kita sadari kita melakukan hal tersebut (ketika membuat film)," jelas Hanung.
"Alam stereotyping itu memang sudah ada di bawah alam sadar kita menyusul tayangan-tayangan yang kita konsumsi, membuat kita menjadi malas mengeksplor. Sehingga, kita harus kreatif, karena itu adalah tuntutan kita sekarang seiring dengan adanya media sosial, gadget, dan lainnya," imbuhnya.
Kepada para pembuat film muda, sutradara "Satria Dewa: Gatotkaca" (2022) tersebut mengatakan tidak perlu ragu memulai membuat film, yang bisa dimulai dengan membuat film pendek terlebih dahulu.
Menurut Hanung, banyak sineas yang memulai perjalanan dan karier di dunia sinema melalui produksi film pendek.
"Banyak filmmaker di dunia mengawali (karier) dari film pendek. Namun, perlu diingat bahwa film pendek bukanlah jenjang karier. Film pendek itu seperti (wadah) kita curhat, itu medium yang sangat personal dan dekat dengan pembuatnya, dan tidak terlalu banyak aturan teknis," kata Hanung.
"Film pendek menjadi karya personal, yang dimana ketika kita punya kegelisahan bisa dituangkan ke sana. Buat saya, film pendek sekarang ini menjadi wahana yang cukup representatif untuk kita mengeluarkan gagasan dan membuat kita terus eksis dan profesional," ujarnya menambahkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022