Ida R Laila selaku pegawai kementrian keuangan menjelaskan banyak masyarakat yang belum memahami istilah tentang "Pajak" bukan mutlak milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan yang dikelola pemerintah daerah.

Ia mengatakan ada dua jenis pajak jika dapat dilihat dari aktor yang mengelola administrasinya yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Aktor pengelola Pajak Pusat adalah DJP, sementara itu untuk Pajak Daerah adalah Bappenda. Masing-masing aktor pengelola pajak tersebut memiliki arestasi yang berbeda, sehingga tidak ada tumpeng tindih tata kelola.

Baca juga: Lagi, pengemplang pajak divonis denda Rp41 miliar dan penjara 3,5 tahun

Pajak Pusat yang dikelola DJP dan menjadi sumber utama pembangunan negara (APBN) meliputi Pajak Penghasilan (PPh),Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai dan Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan (PBB-P3).

Mulai 1 januari 2014, PBB pedesaan dan perkotaan merupakan pajak daerah. Untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan masih tetap merupakan Pajak Pusat.

Lalu untuk Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Air Permukaan dan Pajak Rokok.

Kemudian yang masuk dalam Pajak Kota/Kabupaten adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Bumi dan Bangunan (BPHTB)

Namun, dikarenakan Indonesia kini menganut otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah memiliki hak untuk menentukan jenis dan tarif pajak daerah.

"Kami berharap masyarakat sudah dapat memahami perbedaan kedua jenis pajak tersebut. Sehingga tidak ada lagi kebingungan," ujarnya.





 

Pewarta: Fadzar Ilham

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021