Ketua Umum SP PLN, M Abrar Ali mengatakan penolakan pembentukan holding Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) juga mendapat dukungan dari Public Service Internasional (PSI).

"Kami mendapat dukungan dari PSI yang melihat pembentukan holding PLTP berpotensi merugikan karyawan dan pekerja," kata M Abrar Ali yang didampingi Sekjen SP PJB Dewanto Wicaksono dalam jumpa pers virtual, Rabu.

Dewanto mengingatkan seharusnya PLN tetap sebagai holding dari PLTP dan bukan menjual anak usaha melalui mekanisme IPO ke pasar modal.

"Jika privatisasi PLN itu dilakukan dan swasta masuk yang berorientasi untung, dampaknya akan memacu kenaikan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik inilah hampir dipastikan terjadi jika PLN sudah dikuasai swasta yang nota bene profit oriented," papar Abrar.

Ia menambahkan para pengambil kebijakan hendaknya menilik sejarah. Bagaimana perjuangan para perintis PLN yang dengan susah payah dengan korban darah dan air mata menasionalisasi perusahaan listrik Belanda menjadi PLN yang sekarang.

"Perjuangan para perintis PLN serta amanat konstitusi ini harus tetap ditegakkan. Dan PLN jangan sampai diprivatisasi serta tidak diserahkan ke pemilik modal yang lebih mengejar keuntungan dibandingkan pelayanan ke rakyat dan bangsa," kata Abrar.

Sementara Sekjen SP PLN Dewanto sepakat sesuai putusan uji materi di MK, sektor pelayanan energi dan pelayanan publik seperti PLN tidak boleh diprivatisasi. 

"Sektor pelayanan publik dan energi harus tetap dibawah kendali negara melalui BUMN yang langsung dikontrol DPR dan mengacu pada aturan konstitusi," terang Dewanto.

Hal itu juga disampaikan Southeast Sub-regional Secretary Public Services International (PSI), Ian Mariano yang mengatakan rencana holding dan privatisasi PLN  bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat dan pekerja PLN sendiri.

Sebelumnya Kementerian BUMN berencana membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU), yang khusus untuk panas bumi akan dipisahkan dari PLN milik Pemerintah. Setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan dijual melalui penawaran umum perdana (IPO).

Menurut Ian, listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu Pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon.

"Privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan akses universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon, seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris (Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025)," katanya.

PSI atau Federasi Serikat Pekerja Global menolak holdingisasi dan privatisasi PLN. Pasalnya langkah ini bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan rakyat dan pekerja PLN sendiri.

Sedangkan Sekjen PSI Rosa Pavanelli mengatakan organisasi dengan lebih dari 700 serikat pekerja yang mewakili 30 juta pekerja di 154 negara ini mendukung langkah yang ditempuh SP PLN dan anak perusahaan 

"Kami (PSI) dan afiliasi kami di bidang energi di Indonesia yaitu Serikat Pekerja PT PLN Persero (SP PLN Persero), Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP IP), dan Serikat Pekerja PT Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), menolak keras upaya privatisasi, melalui penggabungan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaannya menjadi holding perusahaan," kata dia bertepatan pada HUT ke-22 SP-PLN.  

Rosa menyampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan segala upaya untuk memprivatisasi listrik, dalam bentuk apapun, adalah inkonstitusional. 

"Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketenagalistrikan merupakan sektor produksi yang penting bagi negara dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak," ucapnya 

Sebagaimana diamanatkan pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menurut Rosa, listrik harus berada di bawah kekuasaan negara (putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 001-021-022/PUU-I/2003, tentang Uji Coba UU No. 20 Tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan halaman 334, dan Putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 tentang Uji Coba Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, halaman 103). 

"Listrik merupakan kebutuhan, kepentingan strategis bagi negara dan berdampak pada kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus menjaga kepemilikan dan bekerja untuk memastikan akses universal dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon," jelas Rosa.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan akses universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon.

"Ini seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Iklim Paris Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025," tukasnya.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021