Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Gabungan Pengusaha  Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman minta agar kenaikan harga gas harus memperhatikan daya saing industri.

"Saya menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Perindustrian yang telah menjembatani keberatan kalangan industri terhadap kenaikan harga gas PGN sampai 55 persen secara mendadak di awal Juni 2012," ujar Adhi saat dihubungi, Rabu.

Menurut Adhi, kenaikan bertahap sebanyak empat kali sesuai usulan industri  dalam sejumlah pertemuan yang dimediasi Kemenperin akan membuat daya saing produk Indonesia semakin membaik.

Beberapa pertemuan yang tengah berlangsung kalangan industri minta tahapan kenaikan harga gas dibuat tiga kali, bukan dua kali seperti keputusan Menteri ESDM, yakni 35 persen pada September 2012 dan 15 persen  pada semester I 2013.

Menurut Adhi, kenaikan harga gas secara bertahap akan menciptakan ruang yang  sangat bermanfaat bagi industri untuk menyiapkan diri. 

Adhi mengingatkan, koordinasi merupakan pelajaran yang sangat baik dalam menyelesaikan persoalan di Indonesia termasuk dalam hal ini kenaikan harga gas. Agar ke depan tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang sifatnya mendadak yang justru dapat mematikan kalangan industri.

Industri berharap kenaikan harga gas sebagai berikut,  pertama 15 persen diberlakukan September 2012,  kedua 15 persen semester I 2013,  dan ketiga 20 persen di 2014.

Usulan diminta  lantaran pelaku industri yang berorientasi ekspor masih menanggung beban akibat krisis ekonomi di Eropa, yang berdampak pada penurunan permintaan pasar.

Industri terkait gas seperti  industri makanan, kaca, keramik dan lainnya harus menanggung biaya produksi tinggi, sementara harga jual ke konsumen sudah terlanjur disepakati dengan konsumen yang berlaku hingga akhir 2012.

Apalagi, di sisi lain, PGN ternyata juga tengah berupaya menurunkan harga beli gas dari produsen gas di hulu (Conoco & Pertamina). Sehingga, jika harga jual gas di hulu diturunkan, berarti kenaikan gas ke industri yang disepakati sebesar 50 persen (tidak jadi 55 persen), sebenarnya tidak memberatkan PGN.

Lebih jauh, Sekjen Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAPlas), Fajar A D Budiyono mengatakan, PGN sebenarnya dapat menekan kenaikan harga gas tidak setinggi itu.

"Ini dapat dilihat tingginya keuntungan (marjin) PGN, sehingga kalaupun naik sebenarnya jangan sampai memberatkan industri tetapi yang wajar-wajar saja, industri tetap dapat menjalankan kegiatannya dan PGN tetap mendapat marjin," ujar Fajar.

Sebelumnya mengacu pada laporan keuangan PGN menunjukkan  prosentase EBITDA (Pendapatan Sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi, dan Amortisasi/ Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization) dengan pendapatan rata-rata di atas 50 persen tiga tahun terakhir menunjukkan perusahaan mengambil marjin terlalu besar.

Prosentase EBITDA dengan pendapatan PGN tahun 2009 51,61 persen, tahun 2010 54,29 persen, sedangkan tahun 2011 48,41 persen atau rata-rata di atas 51 persen merupakan marjin tertinggi untuk ukuran perusahaan gas, ungkap Fajar.

Fajar mengatakan, apalagi kalau melihat laba operasi perusahaan rata-rata di atas Rp7 triliun (tahun 2009 Rp7,6 triliun, 2010 Rp9 triliun, dan 2011 Rp7,7 triliun) seharusnya PGN tidak menaikan harga sampai 10,2 dolar AS per MMBTU di tahun 2012.

"Jangan sampai marjin (laba) dipertahankan sebesar itu namun kita dari industri yang dipaksa menanggung beban. Saya kira kalau target laba tidak sebesar itu maka kenaikan harga gas akan wajar tidak lantas mencapai 55 persen yang dipaksakan pada Juni 2012," ungkap Fajar.

Fajar juga menyoroti kinerja PGN yang sampai saat ini belum mampu memenuhi kuota kebutuhan gas industri, kalaupun naik seharusnya ada jaminan pasokan gas ditambah.

"Kita semua tahu berapa PGN beli dari Conoco Philips dan Pertamina, serta berapa volume yang sanggup disediakan. Persoalannya antara harga beli dan harga yang dibebankan kepada industri terlalu jauh," ujar Fajar.

Fajar mengatakan, bagi industri tidak menjadi masalah kalau PGN menaikkan harga tetapi jangan sampai naik 55 persen seperti sekarang, karena sebagian besar industri sudah mengantongi kontrak penjualan untuk enam bulan ke depan.

"Bayangkan kalau kita harus beli gas setinggi itu, sedangkan harga jual produk masih sama. Ini akan membuat cash flow (arus kas) terganggu. Kita berharap naik tetapi yang wajar-wajar saja," kata Fajar.

Fajar mengatakan, kalau kenaikan ini tetap dipaksakan maka industri terpaksa menurunkan kapasitas yang mereka miliki sehingga berdampak kepada pekerja. Kalau sudah menyangkut pekerja maka akan memberikan dampak ekonomi yang meluas.

Apalagi kalau pengaruhnya terhadap harga jual produk maka dampak ekonominya akan meluas kemana-mana.

Fajar juga menolak anggapan bahwa hanya segelintir industri yang menolak kenaikan harga gas. Menurutnya, kalau toh ada industri yang sudah bayar gas dengan tarif baru, itu karena mereka takut pasokan gasnya distop PGN. Tapi, bukan berarti mereka menerima kenaikan harga tersebut.

"Posisi industri dilematis, jika tidak bayar, pasokan gas bisa distop PGN. Situasi ini akibat pasokan gas di monopoli satu perusahaan," ujar dia menyampaikan keluhan..

Disisi lain,  pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai posisi PT PGN Tbk sebagai "transporter" sekaligus "trader" melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.

Pasal 19 Permen ESDM 19/2009 menyebutkan, badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimiliki atau dikuasainya.

Lalu, dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang dimilikinya, maka wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga gas bumi melalui pipa.

"Saat ini, PGN mengalirkan gas miliknya melalui pipa Sumatera Selatan-Jawa Barat  yang juga dikuasainya. Ini melanggar Permen ESDM tersebut," papar Komaidi.

Selain Permen ESDM, lanjutnya, posisi PGN juga tidak konsisten dengan UU Migas yang mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir.

Menurut dia, posisi PGN sekarang ini berdampak negatif, baik di hulu migas dan industri.

"Kalau dengan posisi sekarang ini, cenderung hanya baik untuk PGN. Namun, dengan reposisi, maka akan berdampak positif baik di hulu, industri, maupun PGN sendiri," tuturnya.

Ia memberi contoh, saat ini, PGN membeli gas hanya sekitar lima dolar AS per MMBTU, tapi menjualnya hingga 10-11 dolar per MMBTU.

"Selisihnya terlalu tinggi. Akibatnya, bisnis hulu migas tidak berkembang dan industri pun menjadi tidak kompetitif," tukasnya.

Komaidi menghitung, kalau hanya sebagai "transporter", maka semestinya harga jual gas PGN ke industri hanya 7-8 dolar AS dan tidak sampai 10-11 dolar per MMBTU.

Per 15 Mei 2012, PGN menaikkan harga gas untuk pelanggan industri di Banten, Jabar, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan dari 6,9 ke 10,2 dolar per MMBTU.

Alasannya, harga beli PGN dari produsen gas juga naik dari sekitar 2 ke 5,5-5,6 dolar per MMBTU per 1 April 2012. Kenaikan harga gas tersebut dinilai pelanggan industri terlalu tinggi dan mengancam akan melakukan unjuk rasa.

Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Legowo mengatakan, pemerintah tengah mengkaji ulang harga gas PGN untuk konsumen itu.

"Berapa harga yang pas untuk industri. Target saya akhir Juni ini sudah diketahui," katanya.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2012