Malam ini anak kedua saya pulang pukul 23.00. Dia baru saja bermain futsal dengan teman-teman masa SD-nya. Dalam perjalanan pulang dia melihat beberapa anak kecil (kisaran anak kelas 5 atau 6 SD) duduk berbaris di dekat pagar sekolah sambil memainkan gawai mereka. 
       
“Kayaknya password wifi sekolah Mama jebol lagi ‘deh’,” ujarnya, membuat saya kaget karena berkali-kali hal ini terjadi. Saya berpikir keras. Mengapa hal ini sering terjadi? Apa yang salah? Padahal password wifi sekolah, kami ganti secara berkala, hampir dua bulan sekali. Seharusnya hal ini tidak terjadi lagi dan lagi.
       
“Waktunya diperpendek saja. Jadi sebulan sekali mengganti passwordnya. Atau setelah selesai kegiatan sekolah, wifinya dimatikan. Cuma dua itu alternatif solusinya.” Seorang guru memberikan saran.
       
Untuk sebuah solusi, alternatif itu bisa dipertimbangkan, tetapi jelas tidak menyelesaikan akar masalahnya. Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan dengan anak-anak tersebut.
       
Ada masalah besar yang jauh lebih penting dari sekadar mengubah password sesering mungkin atau mematikannya setelah proses pembelajaran berakhir. Masalah fundamental ini yang mungkin sering luput dari pengamatan kita.
       
Hal besar itu adalah masalah mental. Kita tentu sepakat bahwa mental merupakan faktor yang sangat penting pada karakter seseorang, bahkan sebuah bangsa. Mentallah yang menjadikan sebuah negara bisa berkembang atau malah sebaliknya.  
       Cerdas saja tidak cukup. Kreatif saja tidak menjamin sebuah kehidupan yang baik. Akan tetapi mental yang baik, mampu menumbuhkan kecerdasan dan kreativitas. Kecerdasan dan kreativitas, jika tidak diimbangi dengan mental yang baik justru bisa menjadi sebuah mala petaka.
       
Masalah jebolnya password sangat mungkin terjadi di banyak tempat, dan itu menjadi bukti bahwa di sekitar kita masalah mental mulai kurang mendapat perhatian. Kita cenderung mencari solusi instan yang hanya menyelesaikan masalah pada permukaan, namun, intinya tidak tersentuh samasekali.
       
Lalu bagaimana jika pelakunya adalah anak-anak? Apakah kita memaklumi tindakan mereka hanya karena mereka masih anak-anak? Tentu tidak, bukan? Tindakan penjebolan password sudah termasuk tindak pencurian. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak menjadi “pencuri” terselubung. Lebih jauh lagi, hal ini bisa masuk pada ranah kriminal. 
       
Jadi, solusinya bukan sekadar mengganti password sesering mungkin atau mematikannya. Selama masalah ambrolnya mental belum terselesaikan, hal serupa bisa dipastikan akan terjadi lagi. Karena sesungguhnya bukan itulah akar permasalahannya. 
       
Anak-anak kita saat ini sangat manja dan cenderung malas. Mereka ingin mendapatkan dan menikmati sesuatu secara instan. Tingkat konsumerisme juga makin meningkat di kalangan mereka. Persaingan hidup yang tidak sehat juga bisa menjadi pemicu pudarnya mentalitas anak-anak.
       
Jika kita membiarkan hal ini terus berlanjut, apa yang akan terjadi pada nasib bangsa ini? “The youths today are the leaders tomorrow”. Pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok. 
       
Lalu, bagaimana sebuah negara bisa dijalankan dengan baik jika para pemimpinnya memiliki mental pencuri? Tentu perjalanan negara kita tidak akan stabil. Akan ada banyak masalah muncul. Kita tinggal menunggu saja masa kehancurannya. Sungguh sangat menyedihkan bila hal itu terjadi pada negeri kita, Indonesia.
       
Namun, benarkah  semua ini kesalahan anak-anak sepenuhnya? Bukankah mereka itu belum dewasa dan masih perlu bimbingan? Ya, kitalah, orang-orang dewasa yang sepatutnya memberi contoh dan bimbingan yang baik. Sudahkah kita memberikan hak mereka secara penuh?
       
Para orang tua adalah penanggungjawab utama atas perkembangan fisik, mental, dan moral anak-anak. Mereka adalah contoh terdekat yang setiap saat dilihat dan berinteraksi langsung  dengan anak-anak. Jangankan mentalitas lahiriah yang mudah dilihat dan diamati oleh anak, hal-hal yang bermuara pada pola pikir pun bisa menurun pada anak-anak.
       
Guru di sekolah, adalah orang dewasa kedua yang juga harus bertanggung jawab atas perkembangan moralitas dan mentalitas anak-anak. Kita semua tentu sepakat bahwa semua tindakan dan akhlak guru akan direkam dan dijadikan referensi oleh anak-anak. 
       
Jika gurunya baik, Insyaallah  mental anak-anak pun menjadi baik. Namun, jika contoh yang dilihat anak kurang baik, sangat mungkin mereka akan melakukan yang lebih parah dari sang guru.
       
Orang dewasa berikutnya yang juga bertanggung jawab adalah masyarakat. Sebagai makhluk sosial, kita dan anak-anak tidak mungkin bisa hidup sendiri. Bergaul dan berinteraksi dengan orang lain adalah sebuah keniscayaan dan pertanda bahwa kita hidup dalam masyarakat yang normal.
       
Jadi, mental siapakah yang sebenarnya ambrol? Bukankah itu mental kita, orang-orang dewasa yang ada di sekeliling anak-anak dan sering memberi contoh yang salah. Bukankah kita yang telah membuat mereka menjadi generasi “pencuri”?
       
Pada Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, mari kita membuat satu refleksi atas sikap dan tindakan kita sebagai orang dewasa. Belajarlah memberikan perhatian kepada anak-anak, terutama pada sisi moral, mental, dan karakter. Anak-anak adalah masa depan negeri ini. Pada  merekalah nasib bangsa ini disandarkan. 


*Penulis Eli Halimah, S. Ag, M. Pd adalah Kepala Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Tegalbuntu Ciwandan, Kota Cilegon, Provinsi Banten. 
 

Pewarta: Eli Halimah*

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021