Jakarta (ANTARA News) - Provinsi Banten membutuhkan kehadiran industri hilir petrokimia untuk melengkapi kawasan industri Banten sebagai klaster petrokimia yang utuh di kawasan ini sehingga dapat mengefisienkan biaya transportasi.

"Selama ini di Provinsi Banten yang beroperasi barulah industri petrokimia hulu dan menengah, sedangkan industri hilir kebanyakan masih di luar Banten," kata ketua bidang Olefin Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas), Suhat Miyarso di Jakarta, Selasa.

Suhat mengatakan, pelaku usaha siap membentuk klaster industri petrokimia di Provinsi Banten, yang menyatukan industri hulu-antara-hilir petrokimia, sepanjang pemerintah pusat memberi dukungan berupa regulasi dan kepastian hukum.

Suhat, mengatakan, sektor hulu dan menengah di Provinsi Banten saat ini tengah mempersiapkan untuk melakukan ekspansi usaha, bahkan beberapa industri yang sebelumnya mati suri kini beroperasi kembali.

"PT Chandra Asri Petrochemical Tbk saat ini tengah membangun pabrik butadiene dengan nilai investasi 120 juta dolar AS dan butane 1 dengan nilai investasi 40 juta dolar AS, PT Nippon Shokubai Indonesia produsen acrylic acid saat ni tengah membangun pabrik super absorbent polymer (SAP) dengan nilai investasi 400 juta dolar AS. Semua itu tentunya akan mengintegrasikan industri petrokimia," jelas Suhat.

Sedangkan industri yang kini mulai bangkit diantaranya, pabrik purified terephtalic acid (PTA) milik PT Polyprima, serta PT Polytama setelah sebelumnya pabrik-pabrik tersebut berhenti beroperasi, ungkap Suhat.

Suhat mengatakan, industri petrokimia saat ini sudah maju dengan pesat dapat dilihat dari banyaknya investasi dan kegiatan baru, bahkan Pertamina juga ikut meramaikan di sektor industri ini.

"Perbaikan iklim di sektor ini kemudian mendapat respon cepat dari berbagai sektor pendukung seperti transportasi, perbankan, energi, sehingga memberikan dampak berkelanjutan (multiplier effect) sangat besar dalam beberapa tahun ke depan," ungkap dia.

Suhat mengatakan, sektor industri petrokimia saat ini masih sangat tergantung kepada bahan baku nafta (produk turunan dari minyak bumi), setidaknya untuk CAP sendiri membutuhkan 1,7 ton per tahun nafta impor.  

Suhat juga menyoroti kendala yang ditimbulkan dari peraturan daerah yang selama ini dianggap masih menjadi sandungan dalam melakukan investasi baru.

Suhat minta terobosan yang dilakukan pemerintah dengan memberikan tax holiday (bebas pajak) untuk lima industri termasuk industri petrokimia yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar juga ditindaklanjuti dengan peraturan lainnya, termasuk peraturan di darah.

Sementara, Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, Arryanto Sagala mengatakan, pemerintah saat ini terus melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka mengembangkan klaster industri petrokimia.

"Banyak faktor-faktor penghambat diluar kebijakan Kementerian Perindustrian sebagai contoh pasokan gas dan infrastruktur jalan yang sebenarnya terkait dengan Kementerian lain," ujar dia.

Terkait hal tersebut pada 27 September 2011 bertempat di Aston Paramount Serpong Tangerang Selatan, Banten, Pemprov Banten & Bank Indonesia Serang akan menyelenggarakan konferensi nasional mengenai pembentukan klaster industri petrokimia.

Arryanto mengatakan, Kementerian Perindustrian sendiri mendorong revisi PP No. 62 tahun 2008 terhadap beberapa industri hilir termasuk di sektor petrokimia tujuannya untuk menciptakan klaster industri petrokimia yang lengkap di Provinsi Banten.

Pemerintah sendiri telah merencanakan pengembangan klaster petrokimia ini seperti tertuang dalam Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) salah satunya di Provinsi Banten karena memang sektor ini sudah berkembang pesat.

Sedangkan pimpinan Bank Indonesia Serang, Andang Setiabudi mengatakan, dialog ini sangat penting sebagai langkah awal pembentukan klaster petrokimia di Banten, karena selama ini perkembangan industri petrokimia masih belum jelas arahnya.

Padahal sektor ini, kata Andang, memberikan dampak berkelanjutan (multiplier effect) mengingat produk turunannya sangat banyak serta melibatkan tenaga kerja dalam jumlah besar.

"Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk meningkatkan daya saing industri petrokimia, karena lawan-lawan di sektor ini sudah mulai bangkit, terutama di negara-negara tetangga," ujar dia.

Menurut dia, pengembangan sektor petrokimia tidak hanya memberikan fasilitas bebas pajak (tax holiday) tetapi juga diikuti solusi terhadap hambatan investasi di sektor ini.

Andang mengatakan, sebagai negara penghasil minyak sangatlah ironis kalau selama ini kebutuhan industri petrokimia masih sepenuhnya mengandalkan impor.

"Harus ada strategi geopolitik dan ekonomi untuk meningkatkan daya saing terutama Cina yang kini mulai membanjiri Indonesia dengan produk-produk plastik. Mulai sekarang benang kusut di industri ini harus diurai agar klaster yang ada di Banten, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur dapat berkembang," ujar dia.

Andang mengatakan, perbankan di Indonesia siap untuk membiayai sektor ini kapasitas perbankan di Indonesia untuk kredit investasi masih sangat besar, bahkan banyak dana yang tersedia belum tersalurkan.

"Tetapi karena arah dan kebijakan di sektor petrokimia ini belum jelas akhirnya unit-unit pendukung di sektor ini akhir hanya bisa tunggu dan lihat (wait and see)," ungkap Andang.

Andang mengatakan, kegiatan dialog nasional ini akan dihadiri sebagai pembicara Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto, Kementerian Perekonomian, Deputi Gubernur Bank Indonesia, pelaku usaha, asosiasi, termasuk Pertamina dan Kementerian ESDM.

Dialog ini, kata  Andang,  untuk mencari solusi terhadap persoalan yang menyelimuti industri petrokimia, harapannya harus ada kebijakan struktural untuk meningkatkan daya saing sektor ini.
 

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2011