Ketua Tim Riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES), Putra Perdana menyebutkan kebijakan penyederhanaan tarif cukai akan kontra produktif bagi industri.

"Ketidakmampuan pelaku industri untuk bersaing dapat mengarahkan industri hasil tembakau (IHT) ke struktur oligopoli bahkan bisa ke monopoli. Hal ini karena hanya segelintir pelaku yang bisa mendominasi pasar," kata Putra dalam keterangan tertulis, Kamis.

Menurut dia, jika kondisi tersebut terjadi, tentu hal ini berlawanan dengan visi demokrasi ekonomi dari Nawa Cita butir 6 dan butir 7, terkait peningkatan kualitas hidup, serta kemandirian ekonomi melalui sektor strategis domestik. 

Jika pemerintah ingin menyelaraskan visi pembangunan nasional dengan aspek keadilan bagi pelaku usaha, pengetatan regulasi cukai dan penerapan penyederhanaan struktur tarif cukai sungguh tidak tepat, karena hal ini malah akan meruntuhkan struktur IHT yang merupakan sektor domestik strategis, yang juga adalah kontributor tertinggi dalam penerimaan cukai negara, jelas Putra. 

Lebih lanjut, Putra turut menyampaikan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkelanjutan, sebaiknya Pemerintah mulai menetapkan sebuah peta jalan yang mampu mengakomodir seluruh rantai IHT dengan adil.  

Sedangkan Agus Parmuji dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengungkapkan rendahnya serapan tembakau dari pabrik rokok sejak pandemi. 

"Mewakili para petani, kami meminta agar kenaikan cukai ditunda dengan mempertimbangkan dampaknya kepada petani tembakau. Kami juga meminta kebijaksanaan pemerintah dalam menyusun regulasi terkait IHT termasuk RPJMN 2020-2024," ujar Agus. 

Terlebih lagi di masa pandemi yang kian berdampak pada kelambatan serapan komoditas oleh pabrikan dan harga yang anjlok. Maka dari itu, kami mohon para penyusun kebijakan untuk dapat bersikap adil terutama bagi rakyat kecil seperti petani tembakau. Karena petani juga berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan kepastian untuk tetap menyambung hidup, ungkapnya.

Disinggung soal penyederhanaan tarif cukai, Agus menegaskan pihaknya sudah sejak awal menentang agenda ini. 

"Kami protes sejak tahun lalu agar jangan dilaksanakan karena IHT itu, kan, terbagi besar menengah, kecil. Keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah. Makin besar kompetisi, kami (hasil tani) makin banyak dicari," ujar Agus.

Dalam webinar "Ancaman terhadap Eksistensi Bisnis Industri Hasil Tembakau (IHT) di Tengah Rencana Pembangunan Nasional" (29/9), Bupati Temanggung H.M. Al Khadziq menyatakan, pihaknya berharap pemerintah pusat bisa menguatkan komitmen untuk membantu kelangsungan hidup para petani tembakau. 

"Di Temanggung saat ini harga jual semakin anjlok, selain dari cuaca yang kurang mendukung, kami melihat pabrikan enggan menyerap. Ketika saya ulik lebih jauh, ternyata alasannya karena cukai naik, penjualan mereka lantas turun. Kuota pembelian pabrikan menurun sampai 15-20 persen. Di lapangan, dampaknya hasil panen menumpuk di rumah petani, tidak terbeli. Kami sangat berharap, pemerintah bisa melindungi daerah-daerah seperti Temanggung, yang setengah penduduknya bergantung pada tembakau. Kami harap kenaikan cukai tidak tinggi-tinggi karena sudah terbukti menurunkan kesejahteraan petani," kata Khadziq.

Perwakilan konsumen dari Komunitas Kretek Aditia Purnomo turut menyampaikan pandangannya akan kebijakan-kebijakan yang kian menekan IHT. Menurutnya, dengan menjadikan cukai sebagai instrumen dalam menekan angka konsumsi rokok, tidaklah tepat.

Kekhawatiran akan meningkatnya jumlah perokok muda di bawah umur, semestinya dibarengi dengan adanya fungsi pengendalian yang dijalankan secara aktif oleh pemerintah, dan bukan melalui cukai. 

"Komunitas Kretek tidak melihat adanya urgensi dalam kenaikan tarif dan penyederhanaan cukai rokok. Terlebih di masa pandemi yang berkepanjangan, fokus pemerintah semestinya bisa diarahkan pada perbaikan ekonomi terlebih dahulu. Beberapa catatan dari Komunitas Kretek sendiri bukan berarti tanpa dasar, jika memang RPJMN 2020-2024 bertujuan ingin mengurangi prevalensi perokok anak, maka yang perlu ditingkatkan ialah kegiatan edukasi dan kontrol, dengan memperketat mekanisme pembelian rokok sehingga tidak diakses oleh anak di bawah umur.” tuturnya.

Aditia menambahkan, bagi konsumen rokok seperti dirinya, peningkatan cukai yang pasti akan disusul dengan meningkatnya harga produk hanya akan membuat konsumen beralih pilihan membeli sesuai kemampuannya.

"Hal ini patut menjadi bahan pertimbangan pemerintah, karena bukan tidak mungkin ini menyebabkan maraknya kembali perdagangan rokok ilegal, yang juga tidak didukung oleh komunitas kami. Kenaikan tarif cukai dan simplifikasi akan memberikan dampak yang ke seluruh elemen IHT, yang ujung-ujungnya akan merugikan petani cengkeh, petani tembakau, pekerja di pabrik rokok, juga pedagang asongan," kata Aditia.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020