Pengamat politik Haris Hijrah Wicaksana menyatakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar serentak pada 9 Desember 2020 patut diwaspadai penularan COVID-19, karena rendahnya disiplin masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Kita melihat saat deklarasi pasangan calon kepala daerah belum lama ini banyak kerumunan massa yang mengabaikan protokol kesehatan. Itu diprediksikan pada Pilkada nanti Indonesia menjadikan areal gelombang tsunami baru pandemi COVID-19," kata dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisip) Setia Budhi Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Rabu.
Pelaksanaan tahapan Pilkada diberbagai daerah di Tanah Air sudah berjalan dan hanya tiga bulan ke depan direalisasikan pesta demokrasi itu.
Kemungkinan besar Pilkada itu patut diwaspadai penyebaran dan penularan virus Korona, sebab akan terjadi kerumunan massa yang sulit untuk dilakukan antisipasi ketika mereka berkampnaye ditempat-tempat berkumpul.
Bahkan, Provinsi Banten juga empat daerah yang akan melaksanakan Pilkada antara lain Kota Tangsel, Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang.
Sedangkan, indeks penyebaran dan penularan COVID-19 di Provinsi Banten cukup tinggi dan dipetakan masuk zona merah COVID-19.
Oleh karena itu, masyarakat harus mewaspadai penularan COVID-19 pada Pilkada mendatang dan jangan sampai terjadi kerumunan massa juga wajib menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan menggunakan sabun.
"Kami minta stakeholder Pilkada, seperti Bawaslu, KPU, TNI, Polri dan Partai Politik saling mengingatkan dan jangan sampai terjadi kerumunan massa mulai kampanye sampai pencoblosan," katanya menjelaskan.
Ia menyarankan, sebaiknya Pilkada itu ditunda karena diberbagai negara bisa dilaksanakan pesta demokrasi setelah terbebas dari penyebaran pandemi COVID-19.
Namun, Undang-undang Pilkada tahapan demi tahapan berjalan yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu setempat.
Pelaksanaan Pilkada bisa ditunda, kata dia, jika penyebaran COVID-19 sangat tahap membahayakan.
Keinginan Pilkada berlangsung ditengah COVID-19 itu sekitar 90 persen dari pihak petahana, sebab jika ditunda tahun 2021, mereka sangat keberatan karena kekosongan jabatan terlalu lama dan dipastikan dijabat oleh Plt dari Gubernur.
Dengan demikian, pemerintah tetap melaksanakan Pilkada ditengah COVID-tetapi harus menerapkan protokol kesehatan, kata dosen Untirta itu.
Selama ini, kata dia, kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedemikian rupa agar Pilkada tetap berjalan sesuai agenda yang ditentukan, namun tidak menularkan penyebaran pandemi COVID-19.
Biasanya, kebijakan dari atas ke bawah itu sangat sulit diterapkan, seperti berkampanye, deklarasi hingga pendaftaran banyak kerumunan massa dari pendukung pasangan calon kepala daerah tersebut.
Bahkan, Mendagri juga bertindaktegas terhadap pasangan cakada yang menang pada pesta demokrasi tidak dilantik jika mereka tidak menerapkan protokol kesehatan.
"Kami khawatir itu menjadikan senjata bagi cakada yang kalah untuk dipersoalkan ke Mahmakah Konstitusi," katanya menjelaskan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Kita melihat saat deklarasi pasangan calon kepala daerah belum lama ini banyak kerumunan massa yang mengabaikan protokol kesehatan. Itu diprediksikan pada Pilkada nanti Indonesia menjadikan areal gelombang tsunami baru pandemi COVID-19," kata dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisip) Setia Budhi Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Rabu.
Pelaksanaan tahapan Pilkada diberbagai daerah di Tanah Air sudah berjalan dan hanya tiga bulan ke depan direalisasikan pesta demokrasi itu.
Kemungkinan besar Pilkada itu patut diwaspadai penyebaran dan penularan virus Korona, sebab akan terjadi kerumunan massa yang sulit untuk dilakukan antisipasi ketika mereka berkampnaye ditempat-tempat berkumpul.
Bahkan, Provinsi Banten juga empat daerah yang akan melaksanakan Pilkada antara lain Kota Tangsel, Kota Cilegon, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang.
Sedangkan, indeks penyebaran dan penularan COVID-19 di Provinsi Banten cukup tinggi dan dipetakan masuk zona merah COVID-19.
Oleh karena itu, masyarakat harus mewaspadai penularan COVID-19 pada Pilkada mendatang dan jangan sampai terjadi kerumunan massa juga wajib menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan menggunakan sabun.
"Kami minta stakeholder Pilkada, seperti Bawaslu, KPU, TNI, Polri dan Partai Politik saling mengingatkan dan jangan sampai terjadi kerumunan massa mulai kampanye sampai pencoblosan," katanya menjelaskan.
Ia menyarankan, sebaiknya Pilkada itu ditunda karena diberbagai negara bisa dilaksanakan pesta demokrasi setelah terbebas dari penyebaran pandemi COVID-19.
Namun, Undang-undang Pilkada tahapan demi tahapan berjalan yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu setempat.
Pelaksanaan Pilkada bisa ditunda, kata dia, jika penyebaran COVID-19 sangat tahap membahayakan.
Keinginan Pilkada berlangsung ditengah COVID-19 itu sekitar 90 persen dari pihak petahana, sebab jika ditunda tahun 2021, mereka sangat keberatan karena kekosongan jabatan terlalu lama dan dipastikan dijabat oleh Plt dari Gubernur.
Dengan demikian, pemerintah tetap melaksanakan Pilkada ditengah COVID-tetapi harus menerapkan protokol kesehatan, kata dosen Untirta itu.
Selama ini, kata dia, kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sedemikian rupa agar Pilkada tetap berjalan sesuai agenda yang ditentukan, namun tidak menularkan penyebaran pandemi COVID-19.
Biasanya, kebijakan dari atas ke bawah itu sangat sulit diterapkan, seperti berkampanye, deklarasi hingga pendaftaran banyak kerumunan massa dari pendukung pasangan calon kepala daerah tersebut.
Bahkan, Mendagri juga bertindaktegas terhadap pasangan cakada yang menang pada pesta demokrasi tidak dilantik jika mereka tidak menerapkan protokol kesehatan.
"Kami khawatir itu menjadikan senjata bagi cakada yang kalah untuk dipersoalkan ke Mahmakah Konstitusi," katanya menjelaskan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020