Sejumlah warga Kabupaten Lebak, Banten, kembali menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari sehubungan elpiji bersubsidi terkadang langka dan juga harganya cukup mahal,
"Kita lebih memilih kayu bakar untuk keperluan memasak di dapur," kata Mimin (60) warga Cibeureum Kecamatan Kalanganyar Kabupaten Lebak, Rabu,
Masyarakat di sini menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak untuk buka puasa dan sahur, terlebih saat ini menghadapi pandemi COVID-19.
Selama ini, elpiji tiga kilogram terkadang langka di pasaran, bahkan jika ada harganya cukup mahal dan berkisar antara Rp27 ribu sampai Rp30 ribu, padahal harga eceran tertinggi (HET) Rp17 ribu/tabung ukuran 3 kilogram.
Karena itu, kebanyakan ibu-ibu setiap pagi mencari kayu bakar ke hutan dan kebun juga terdapat memanfaatkan kayu sisa bangunan.
"Kami hari ini mendapatkan kayu bakar dari sisa-sisa bangunan rumah dan cukup untuk kebutuhan dua hari ke depan," katanya menjelaskan.
Nurbaiti (54) warga Cimarga Kabupaten Lebak mengatakan bahwa penggunaan kayu bakar sangat membantu ekonomi keluarga, terlebih harga elpiji melambung juga terjadi kelangkaan.
"Kami lebih nyaman dan murah menggunakan kayu bakar untuk memasak sehari-hari," ujarnya menjelaskan.
Begitu juga Ecin (54) seorang ibu rumah tangga warga Rangkasbitung mengaku bahwa dirinya kini menggunakan brondo sebagai bahan bakar dengan memanfaatkan sisa-sisa kelapa sawit milik PTPN VIII Cisalak.
Masyarakat di sana kini beralih ke bahan bakar brondo sehubungan harga eceran elpiji kemasan di pasaran melonjak.
Penggunaan bahan bakar itu, kata dia, tentu membantu perekonomian keluarganya, karena saat ini dia tidak mampu membeli elpiji ukuran tiga kilogram.
"Kami menggunakan brondo sudah berjalan empat bulan dan sangat mengirit biaya hidup, terlebih suami menganggur akibat pandemi corona," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak Agus Reza mengatakan selama ini terjadi kelangkaan elpiji tiga kilogram tersebut adalah kewenangan Pertamina.
Pemerintah daerah tidak bisa melakukan intervensi untuk menstabilkan harga pasar, sehingga terkadang terjadi kelangkaan.
Karena itu, semestinya pengawasan langsung elpiji bersubsidi dilakukan sepenuhnya oleh Pertamina yang mengeluarkan kebijakan.
"Kita hanya memiliki kuota elpiji bersubsidi sebanyak 7000 tabung, sehingga seringkali terjadi kelangkaan, karena banyak keluarga mampu ekonomi menggunakan gas bersubsidi," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Kita lebih memilih kayu bakar untuk keperluan memasak di dapur," kata Mimin (60) warga Cibeureum Kecamatan Kalanganyar Kabupaten Lebak, Rabu,
Masyarakat di sini menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak untuk buka puasa dan sahur, terlebih saat ini menghadapi pandemi COVID-19.
Selama ini, elpiji tiga kilogram terkadang langka di pasaran, bahkan jika ada harganya cukup mahal dan berkisar antara Rp27 ribu sampai Rp30 ribu, padahal harga eceran tertinggi (HET) Rp17 ribu/tabung ukuran 3 kilogram.
Karena itu, kebanyakan ibu-ibu setiap pagi mencari kayu bakar ke hutan dan kebun juga terdapat memanfaatkan kayu sisa bangunan.
"Kami hari ini mendapatkan kayu bakar dari sisa-sisa bangunan rumah dan cukup untuk kebutuhan dua hari ke depan," katanya menjelaskan.
Nurbaiti (54) warga Cimarga Kabupaten Lebak mengatakan bahwa penggunaan kayu bakar sangat membantu ekonomi keluarga, terlebih harga elpiji melambung juga terjadi kelangkaan.
"Kami lebih nyaman dan murah menggunakan kayu bakar untuk memasak sehari-hari," ujarnya menjelaskan.
Begitu juga Ecin (54) seorang ibu rumah tangga warga Rangkasbitung mengaku bahwa dirinya kini menggunakan brondo sebagai bahan bakar dengan memanfaatkan sisa-sisa kelapa sawit milik PTPN VIII Cisalak.
Masyarakat di sana kini beralih ke bahan bakar brondo sehubungan harga eceran elpiji kemasan di pasaran melonjak.
Penggunaan bahan bakar itu, kata dia, tentu membantu perekonomian keluarganya, karena saat ini dia tidak mampu membeli elpiji ukuran tiga kilogram.
"Kami menggunakan brondo sudah berjalan empat bulan dan sangat mengirit biaya hidup, terlebih suami menganggur akibat pandemi corona," katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak Agus Reza mengatakan selama ini terjadi kelangkaan elpiji tiga kilogram tersebut adalah kewenangan Pertamina.
Pemerintah daerah tidak bisa melakukan intervensi untuk menstabilkan harga pasar, sehingga terkadang terjadi kelangkaan.
Karena itu, semestinya pengawasan langsung elpiji bersubsidi dilakukan sepenuhnya oleh Pertamina yang mengeluarkan kebijakan.
"Kita hanya memiliki kuota elpiji bersubsidi sebanyak 7000 tabung, sehingga seringkali terjadi kelangkaan, karena banyak keluarga mampu ekonomi menggunakan gas bersubsidi," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020