Jumlah penderita gagal ginjal di Malang Raya atau wilayah Jatim selatan bagian barat saat ini diprediksi mencapai 2.500 orang lebih, dan diperkirakan terus meningkat seiring kian tingginya angka kasus diabetes dan hipertensi di masyarakat, kata Tim Divisi Nefrologi dan Hipertensi RSU dr. Saiful Anwar Malang, dr Ahmad Rifai, Sp.PD usai mengisi materi Seminar Awal Tranplantasi Ginjal di Tulungagung, Minggu.
Ia tidak membuka data rinci jumlah penderita gagal ginjal yang ada di wilayah Malang Raya, khususnya yang tertangani RSSA Malang hingga setahun terakhir, namun menurut data dan diskursus bersama jejaring unit hipertensi lintasrumah sakit yang ada di wilayah Malang Raya, diperkirakan jumlahnya mencapai 2.500-an pasien.
"Kalau secara prediksi, kondisi di Indonesia ini kan mirip dengan di Malaysia atau Asia Tenggara lah. Jadi kalau kita hitung kemarin sih, di Malang Raya ini sekitar 2.000-an. Persisnya sekitar 2.500-an orang," kata dr Ahmad Rifai.
Dengan jumlah penderita sebegitu banyak, lanjut dia, unit hemodialisis di RSSA Malang maupun rumah sakit-rumah sakit yang memiliki kapasitas dan unit pelayanan cuci darah tetap tidak akan mencukupi.
Di RSSA Malang saja, dengan 50 unit sarana hemodialisis dan empat kali shift, pasien cuci darah banyak yang tidak terlayani untuk melakukan cuci darah.
Hal serupa terjadi di RSUD dr Iskak, Tulungagung, dimana dengan 20 unit alat hemodialisis yang ada saat ini, dengan kebijakan tiga kali shift (pergantian) 18 alat hemodialisis untuk pasien reguler (dua unit untuk pasien kasus darurat), yang tercatat sudah tertangani baru 162 pasien, selebihnya 200 pasien masuk daftar tunggu.
"Untuk pasien (gagal ginjal) nonreguler mungkin lebih banyak lagi. Kami tidak tahu persisnya, karena biasanya ini tersebar di rumah sakit-rumah sakit (swasta) lain di luar RSUD dr Iskak yang juga memiliki fasilitas layanan hemodialisis," kata Kepala Unit Hemodialisa RSUD dr Iskak, dr Rina Melinda, Sp.PD.
Kondisi ini memaksa tim medis rumah sakit-rumah sakit, termasuk di RSUD dr Iskak dan RSSA Malang untuk menyarankan pasien baru kasus gagal ginjal agar memilih opsi lain, yakni memasang CAPD (continuous ambilatory peritoneal dialysis) atau tranplantasi ginjal.
CAPD merupakan metode cuci darah mandiri dengan memanfaatkan selaput membran dalam rongga perut (peritoneum) pasien sebagai filter alami ketika dilewati zat sisa.
Kendati lebih efisien dan dinilai sebagai pilihan yang lebih baik ketimbang teknik hemodialisa (cuci darah dengan alat hemodialisis), CAPD dinilai masih memiliki risiko karena ketahanan fungsi membran perut ada batasnya.
"Di antara tiga pilihan penanganan kasus gagal ginjal secara medis tadi, opsi tranplantasi ginjal merupakan pilihan terbaik untuk mencapai kualitas hidup lebih baik bagi pasien," kata Rifai.
Soal biaya, ia memastikan tindakan medis dalam tranplantasi ginjal hampir sepenuhnya bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Memang ada beberapa biaya medis, seperti screening dan pemeriksaan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kondisi ginjal pendonor yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan, karena kan secara medis pendonor ini kan sehat. Tapi itupun kisarannya hanya sekitar Rp40 jutaan. Selebihnya, khususnya operasi tranplantasi," katanya.
Untuk pasien yang menghendaki tranplantasi ginjal ini, pihak RSUD dr Iskak maupun RSSA Malang memastikan siap untuk memfasilitasi proses pengurusan administrasinya hingga pasien bisa naik ke meja operasi cangkok ginjal.
Seminar awal traplantasi ginjal yang diikuti lebih dari 300 peserta itu menghadirkan tiga dokter spesialis nefrologi dan hipertensi RSSA yang biasa menangani cangkok ginjal.
Selain dr Ahmad Rifai, Sp.PD, turut hadir dalam acara itu Kepala Divisi Nefrologi dan Hipertensi RSSA Malang, dr. Atma Gunawan, Sp.PD-KGH dan dr. Nursamsu, Sp.PD-KGH.
Tiga dokter spesialis pada subbagian ginjal dan hipertensi ini merupakan bagian dari tim medis yang sejauh ini sudah sukses melakukan tranplantasi ginjal ke 10 pasien gagal ginjal di RSSA Malang selama periode lima tahun terakhir.
Dari 10 pasien cangkok ginjal itu, kata dr Ahmad Rifai, sembilan di antaranya hidup sehat dan beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.
Sedangkan satu pasien mengalami resistensi sehingga harus kembali ke metode hemodialisis. Bukan karena proses tranplantasi gagal, tapi lebih karena ada gangguan karena ada penolakan sistem imun tubuh pasien bersangkutan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
Ia tidak membuka data rinci jumlah penderita gagal ginjal yang ada di wilayah Malang Raya, khususnya yang tertangani RSSA Malang hingga setahun terakhir, namun menurut data dan diskursus bersama jejaring unit hipertensi lintasrumah sakit yang ada di wilayah Malang Raya, diperkirakan jumlahnya mencapai 2.500-an pasien.
"Kalau secara prediksi, kondisi di Indonesia ini kan mirip dengan di Malaysia atau Asia Tenggara lah. Jadi kalau kita hitung kemarin sih, di Malang Raya ini sekitar 2.000-an. Persisnya sekitar 2.500-an orang," kata dr Ahmad Rifai.
Dengan jumlah penderita sebegitu banyak, lanjut dia, unit hemodialisis di RSSA Malang maupun rumah sakit-rumah sakit yang memiliki kapasitas dan unit pelayanan cuci darah tetap tidak akan mencukupi.
Di RSSA Malang saja, dengan 50 unit sarana hemodialisis dan empat kali shift, pasien cuci darah banyak yang tidak terlayani untuk melakukan cuci darah.
Hal serupa terjadi di RSUD dr Iskak, Tulungagung, dimana dengan 20 unit alat hemodialisis yang ada saat ini, dengan kebijakan tiga kali shift (pergantian) 18 alat hemodialisis untuk pasien reguler (dua unit untuk pasien kasus darurat), yang tercatat sudah tertangani baru 162 pasien, selebihnya 200 pasien masuk daftar tunggu.
"Untuk pasien (gagal ginjal) nonreguler mungkin lebih banyak lagi. Kami tidak tahu persisnya, karena biasanya ini tersebar di rumah sakit-rumah sakit (swasta) lain di luar RSUD dr Iskak yang juga memiliki fasilitas layanan hemodialisis," kata Kepala Unit Hemodialisa RSUD dr Iskak, dr Rina Melinda, Sp.PD.
Kondisi ini memaksa tim medis rumah sakit-rumah sakit, termasuk di RSUD dr Iskak dan RSSA Malang untuk menyarankan pasien baru kasus gagal ginjal agar memilih opsi lain, yakni memasang CAPD (continuous ambilatory peritoneal dialysis) atau tranplantasi ginjal.
CAPD merupakan metode cuci darah mandiri dengan memanfaatkan selaput membran dalam rongga perut (peritoneum) pasien sebagai filter alami ketika dilewati zat sisa.
Kendati lebih efisien dan dinilai sebagai pilihan yang lebih baik ketimbang teknik hemodialisa (cuci darah dengan alat hemodialisis), CAPD dinilai masih memiliki risiko karena ketahanan fungsi membran perut ada batasnya.
"Di antara tiga pilihan penanganan kasus gagal ginjal secara medis tadi, opsi tranplantasi ginjal merupakan pilihan terbaik untuk mencapai kualitas hidup lebih baik bagi pasien," kata Rifai.
Soal biaya, ia memastikan tindakan medis dalam tranplantasi ginjal hampir sepenuhnya bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Memang ada beberapa biaya medis, seperti screening dan pemeriksaan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kondisi ginjal pendonor yang tidak ter-cover BPJS Kesehatan, karena kan secara medis pendonor ini kan sehat. Tapi itupun kisarannya hanya sekitar Rp40 jutaan. Selebihnya, khususnya operasi tranplantasi," katanya.
Untuk pasien yang menghendaki tranplantasi ginjal ini, pihak RSUD dr Iskak maupun RSSA Malang memastikan siap untuk memfasilitasi proses pengurusan administrasinya hingga pasien bisa naik ke meja operasi cangkok ginjal.
Seminar awal traplantasi ginjal yang diikuti lebih dari 300 peserta itu menghadirkan tiga dokter spesialis nefrologi dan hipertensi RSSA yang biasa menangani cangkok ginjal.
Selain dr Ahmad Rifai, Sp.PD, turut hadir dalam acara itu Kepala Divisi Nefrologi dan Hipertensi RSSA Malang, dr. Atma Gunawan, Sp.PD-KGH dan dr. Nursamsu, Sp.PD-KGH.
Tiga dokter spesialis pada subbagian ginjal dan hipertensi ini merupakan bagian dari tim medis yang sejauh ini sudah sukses melakukan tranplantasi ginjal ke 10 pasien gagal ginjal di RSSA Malang selama periode lima tahun terakhir.
Dari 10 pasien cangkok ginjal itu, kata dr Ahmad Rifai, sembilan di antaranya hidup sehat dan beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.
Sedangkan satu pasien mengalami resistensi sehingga harus kembali ke metode hemodialisis. Bukan karena proses tranplantasi gagal, tapi lebih karena ada gangguan karena ada penolakan sistem imun tubuh pasien bersangkutan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020