Korban gempa, tsunami dan likuefaksi yang tergabung dalam Pasigala Centre, Sulawesi Tengah mengharapkan kunjungan Presiden Joko Widodo ke daerah terdampak bencana tersebut, di Palu, dapat menemukan bobroknya penanganan pascabencana tersebut yang dilakukan oleh pemerintah.
Sekjen Pasigala Centre, Khadafi Badjerey mengemukakan kunjungan Presiden RI ke Sulteng, merupakan bentuk perhatian kepada Sulteng khususnya daerah terdampak bencana 28 September 2018, terkait proses penanganan pascagempa. Namun, sangat disayangkan, Presiden tidak mendapat informasi sesungguhnya, terkait fakta lapangan bobroknya penanganan setelah bencana tersebut.
"Kunjungan Presiden ke Kelurahan Duyu dan Tondo untuk melihat kemajuan pembangunan hunian tetap (huntap), semoga dapat menemukan fakta-fakta lain. Sebab kami yakin satgas penanggulangan pascabencana atau rehabilitasi dan rekondisi (kementrian/lembaga) dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tidak, bahkan terkesan menutupi fakta sesungguhnya. Sebab ini terkait kinerja mereka yang lamban dan tidak sesuai harapan korban," ujar Khadafi.
Korban bencana mengharapkan Presiden Jokowi menemukan langsung fakta lapangan berkaitan dengan dana santunan kematian belum terdistribusi rata pada ahli waris keluarga korban. Dana jaminan hidup lambat turun dan belum terdistribusi sesuai jumlah korban, implementasi program hunian melalui dana stimulan yang rumit dan tidak sesuai harapan korban.
Kemudian, korban juga berharap Presiden menemukan fakta langsung terkait pembangunan di zona terlarang untuk masyarakat, namun boleh bagi hotel, galian C, mall dan seterusnya, yang terkesan tebang pilih dan tanpa kejelasan status keperdataan serta rencana pemanfaatannya yang memberikan manfaat bagi warga pemilik lahan.
Presiden juga diharap menemukan fakta sekaligus mengevaluasi proyek-proyek pembangunan huntap yang berkaitan relokasi korban, yang tidak melibatkan warga korban bencana sebagai kegiatan produktif yang juga dapat dimaknai bagian dari proses pemulihan ekonomi korban. Kemudian, mengenai tidak adanya layanan informasi dan aduan satu pintu bagi korban.
Selanjutnya, kepastian mengenai pemulihan dan pembangunan kembali Sulteng yang harus memberikan pengetahuan pada pemerintah daerah dan warga Kota Palu terkait kebencanaan.
"Oleh karenanya diharapkan ruang partisipasi korban dan kewenangan lebih pada pemda dapat diberikan melalui pendelegasian kewenangan oleh pemerintah pusat dalam rangka percepatan pemulihan," katanya.
Selanjutnya, kata dia, ribuan korban bencana saat ini masih tinggal di tenda-tenda pengungsian, dengan fasiltas yang sangat terbatas, karena Satgas/pemerintah membangun huntara tidak sesuai kebutuhan korban, hingga setahun lebih setelah bencana tersebut.
"Perhatian Pak Presiden terhadap Sulteng sangat kami apresiasi, tetap kali ini kami meminta Pak Presiden dapat menyerap langsung aspirasi dan keluhan korban, serta masukan dari kelompok masyarakat lainnya yang ikut serta dalam pemantauan, dan turut mengawasi proses rehabilitasi dan rekondisi di Sulteng," kata dia.
Kunjungan Presiden ke Sulteng, kata dia, sudah beberapa kali dan selalu mendapat info atau laporan yang kurang detil dan cenderung tidak sesuai fakta yang ada, begitu pula pemerintah daerah, yang lemah dalam menyampaikan aspirasi masyarakatnya dan meminta kewenangan lebih pada pemerintah pusat khususnya kementerian terkait yang tergabung dalam satgas.
Pasigala Centre memohon kepada Presiden untuk mengevaluasi kinerja Satgas penanggulangan pascabencana, mengingat skema penangan Satgas yang terlalu gemuk dan jalur kordinasi yang panjang sehingga setahun setelah bencana, info rencana penanganan sebagai kepastian dari negara sangat sulit didapatkan warga masyarakat dan korban.
"Dalam evaluasi kami (Pasigala Centre) seluruh proses yang dilakukan satgas selama ini kehilangan makna percepatan dalam penanganan pemulihan setelah bencana Sulteng dan sangat bermakna proyek dan melalaikan prioritas, yaitu mengurusi korban," ujar dia.*
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
Sekjen Pasigala Centre, Khadafi Badjerey mengemukakan kunjungan Presiden RI ke Sulteng, merupakan bentuk perhatian kepada Sulteng khususnya daerah terdampak bencana 28 September 2018, terkait proses penanganan pascagempa. Namun, sangat disayangkan, Presiden tidak mendapat informasi sesungguhnya, terkait fakta lapangan bobroknya penanganan setelah bencana tersebut.
"Kunjungan Presiden ke Kelurahan Duyu dan Tondo untuk melihat kemajuan pembangunan hunian tetap (huntap), semoga dapat menemukan fakta-fakta lain. Sebab kami yakin satgas penanggulangan pascabencana atau rehabilitasi dan rekondisi (kementrian/lembaga) dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tidak, bahkan terkesan menutupi fakta sesungguhnya. Sebab ini terkait kinerja mereka yang lamban dan tidak sesuai harapan korban," ujar Khadafi.
Korban bencana mengharapkan Presiden Jokowi menemukan langsung fakta lapangan berkaitan dengan dana santunan kematian belum terdistribusi rata pada ahli waris keluarga korban. Dana jaminan hidup lambat turun dan belum terdistribusi sesuai jumlah korban, implementasi program hunian melalui dana stimulan yang rumit dan tidak sesuai harapan korban.
Kemudian, korban juga berharap Presiden menemukan fakta langsung terkait pembangunan di zona terlarang untuk masyarakat, namun boleh bagi hotel, galian C, mall dan seterusnya, yang terkesan tebang pilih dan tanpa kejelasan status keperdataan serta rencana pemanfaatannya yang memberikan manfaat bagi warga pemilik lahan.
Presiden juga diharap menemukan fakta sekaligus mengevaluasi proyek-proyek pembangunan huntap yang berkaitan relokasi korban, yang tidak melibatkan warga korban bencana sebagai kegiatan produktif yang juga dapat dimaknai bagian dari proses pemulihan ekonomi korban. Kemudian, mengenai tidak adanya layanan informasi dan aduan satu pintu bagi korban.
Selanjutnya, kepastian mengenai pemulihan dan pembangunan kembali Sulteng yang harus memberikan pengetahuan pada pemerintah daerah dan warga Kota Palu terkait kebencanaan.
"Oleh karenanya diharapkan ruang partisipasi korban dan kewenangan lebih pada pemda dapat diberikan melalui pendelegasian kewenangan oleh pemerintah pusat dalam rangka percepatan pemulihan," katanya.
Selanjutnya, kata dia, ribuan korban bencana saat ini masih tinggal di tenda-tenda pengungsian, dengan fasiltas yang sangat terbatas, karena Satgas/pemerintah membangun huntara tidak sesuai kebutuhan korban, hingga setahun lebih setelah bencana tersebut.
"Perhatian Pak Presiden terhadap Sulteng sangat kami apresiasi, tetap kali ini kami meminta Pak Presiden dapat menyerap langsung aspirasi dan keluhan korban, serta masukan dari kelompok masyarakat lainnya yang ikut serta dalam pemantauan, dan turut mengawasi proses rehabilitasi dan rekondisi di Sulteng," kata dia.
Kunjungan Presiden ke Sulteng, kata dia, sudah beberapa kali dan selalu mendapat info atau laporan yang kurang detil dan cenderung tidak sesuai fakta yang ada, begitu pula pemerintah daerah, yang lemah dalam menyampaikan aspirasi masyarakatnya dan meminta kewenangan lebih pada pemerintah pusat khususnya kementerian terkait yang tergabung dalam satgas.
Pasigala Centre memohon kepada Presiden untuk mengevaluasi kinerja Satgas penanggulangan pascabencana, mengingat skema penangan Satgas yang terlalu gemuk dan jalur kordinasi yang panjang sehingga setahun setelah bencana, info rencana penanganan sebagai kepastian dari negara sangat sulit didapatkan warga masyarakat dan korban.
"Dalam evaluasi kami (Pasigala Centre) seluruh proses yang dilakukan satgas selama ini kehilangan makna percepatan dalam penanganan pemulihan setelah bencana Sulteng dan sangat bermakna proyek dan melalaikan prioritas, yaitu mengurusi korban," ujar dia.*
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019