Insiden penikaman yang dialami Menko Polhukam Wiranto bukan aksi teror pertama dari kelompok garis keras di Indonesia. Namun, Wiranto barangkali menempati daftar pejabat negara pertama yang menjadi korban teror Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang berjejaring dengan ISIS.
Tersangka pelaku penikaman, Syahril Alamsyah alias Abu Rara adalah anggota JAD Bekasi dan bekas anggota JAD Kediri di Jawa Timur. JAD merupakan organisasi Islam yang secara de jure telah dibubarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2018, akan tetapi, berkaca dari aksi teror terhadap Wiranto, pembubaran JAD serta penahanan sejumlah pemimpinnya terbukti tidak melumpuhkan aktivitas para anggotanya yang tersebar di penjuru negeri.
Beberapa jam setelah aksi teror berlangsung, Badan Intelijen Negara (BIN) di Jakarta mengungkap bahwa lembaga tersebut telah memantau gerak-gerik Syahril Alamsyah (31) dan istrinya, Fitri Andriana (21), sejak tiga bulan lalu. Syahril bersama anggota JAD Bekasi lainnya diduga akan melancarkan aksi teror pada pelantikan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober. Namun, serangan itu ternyata diluncurkan ke Wiranto di tengah kunjungannya ke Menes, kecamatan di Pandeglang, Banten pada Kamis siang (10/10/2019), atau 10 hari sebelum pelantikan berlangsung.
Banyak faktor yang membuat penyerangan terhadap Wiranto menjadi cukup mudah dilakukan, salah satunya penjagaan yang kurang ketat mengingat menko polhukam saat itu diagendakan untuk menyapa warga Menes dan meresmikan pendirian gedung perkuliahan milik Universitas Mathla'ul Anwar (Unma) Banten.
Dari tayangan video detik-detik penikaman Wiranto, terlihat Syahril dapat dengan mudah berlari menerobos penjaga dan langsung menusuk perut kiri Wiranto dengan kunai. Ajudan Wiranto, Fuad dan Kapolsek Menes, Kompol Dariyanto sempat mencoba menghalau Syahril, tetapi keduanya gagal. Wiranto terlanjur tertikam hingga tersungkur jatuh. Tak lama, Syahril bersama Fitri langsung diringkus petugas, dan diamankan petugas polisi.
Wiranto selamat dan operasi di perut kirinya berjalan lancar, pelaku juga telah ditangkap. Namun "pesan" Syahril barangkali tersampaikan dengan terang bahwa ancaman teror tidak hanya ditujukan pada masyarakat secara umum, ataupun kelompok yang secara keyakinan berbeda, tetapi juga pejabat pemerintah beserta institusi yang menjadi simbol negara.
Ideologi atau balas dendam
Membaca peristiwa pada masa lampau, serangan terhadap pejabat negara seperti menteri, ketua parlemen, bahkan presiden dilatari sejumlah motif, antara lain protes terhadap kebijakan, sikap politik atau ideologi kelompok, dan balas dendam/retaliasi terhadap kebijakan institusi negara ataupun perbuatan individu tertentu.
Dalam kasus Indonesia misalnya, aksi teror dan kekerasan terhadap pejabat negara telah dialami sejak masa pendiri negeri, Presiden Soekarno hingga hari ini Menko Polhukam Wiranto. Walaupun demikian, tidak semua teror dilatari paham radikal.
Salah satu contoh, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ditembak mati oleh pria tak dikenal pada 26 Juli 2001, kemudian diketahui di pengadilan otak pembunuhan adalah putra Presiden RI ke-2, Tommy Soeharto. Motif pembunuhan Syafiuddin barangkali jauh dari paham radikal, tetapi lebih didorong oleh aksi balas dendam karena 10 bulan sebelum hakim itu tewas, ia memvonis hukuman 18 bulan penjara serta denda Rp30,6 miliar terhadap Tommy dalam kasasi perkara tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti.
Contoh kedua lebih punya kemiripan dengan insiden penikaman Wiranto, karena aksi teror dilatari paham radikal. Matori Abdul Djalil, wakil ketua MPR dan menteri pertahanan periode 2001-2004, merupakan korban pembacokan oleh Tanzul Arifin alias Sabar, anggota Mujahidin Islam Nusantara, pada 2000. Pembacokan itu dilakukan Sabar didorong dari keinginan mewujudkan keinginan guru ngajinya, Zulfikar. Dari keterangan Sabar, Zulfikar ingin membunuh dan melukai Matori karena ketua umum PKB itu dinilai telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Matori saat itu berhasil diselamatkan, dan pelaku divonis sembilan tahun penjara.
Sementara itu, beberapa kasus dari negara lain juga menunjukkan aksi penyerangan terhadap pejabat negara dapat juga dilatari motif protes atau ketidaksukaan terhadap pandangan politik. Presiden Brasil Jair Bolsonaro pada 7 September 2018 ditikam sebanyak tiga kali oleh orang tak dikenal saat ia tengah berkampanye untuk pencalonannya sebagai orang nomor satu di negerinya. Penikaman terhadap Bolsonaro diduga dilakukan orang yang memprotes pandangan politik Presiden Brasil itu, khususnya karena dukungannya terhadap kepemilikan senjata dan militerisme.
Tidak hanya Bolsonaro yang menjadi korban teror karena sikap politik kontroversialnya, Presiden Venzuela Nicolas Maduro juga pernah menerima serangan bom dari dua drone yang diterbangkan saat ia berpidato di Caracas pada 4 Agustus 2018. Pemerintah Venzuela saat itu menilai serangan berasal dari oposisi sayap kanan yang kalah pemilu. Maduro, di kalangan oposisi, dikenal sebagai pemimpin otoriter yang kerap melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Walaupun demikian, pelaku serangan sampai saat ini belum diketahui dan tidak ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab.
Kasus lain yang didorong pandangan terhadap ideologi jihad ditemukan dari insiden penembakan Duta Besar Rusia untuk Turki Andrei Karlov di Ankara oleh seorang polisi huru hara Turki, Mevlut Mert, pada 19 Desember 2016. Mert yang kemudian ditembak mati di lokasi sempat berkata: “kami adalah orang-orang yang setia terhadap ajaran Nabi Muhammad dan akan berjihad hingga akhir hayat! Allahu Akbar! Jangan lupakan Suriah, jangan lupakan Aleppo. Semua yang terlibat dalam tirani (di Suriah, red) harus bertanggung jawab!”
Mert memang bukan anggota ISIS atau gerakan garis keras lainnya, Al-Qaeda, tetapi aksinya menembak dubes Rusia mendapat sambutan dari dua kelompok tersebut.
Kekerasan bukan jawaban
Kembali ke insiden yang dialami Wiranto, Presiden Jokowi telah menyampaikan dengan tegas perang terhadap radikalisme. Akan tetapi, perang semacam apa yang dimaksud oleh presiden? Dari pernyataan yang disampaikan di hadapan publik, Jokowi telah memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Kepala BIN Budi Gunawan untuk membongkar jaringan kelompok radikal yang bertanggung jawab terhadap insiden Wiranto. Presiden juga meminta pelaku ditindak tegas.
"Saya telah perintahkan kepada Kapolri dan Kepala BIN, didukung TNI untuk mengusut tuntas, sekali lagi usut tuntas dan tindak tegas pelaku serta seluruh jaringan terkait peristiwa tadi siang (penikaman Wiranto,red)," kata Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers seusai menjenguk Wiranto di RSPAD, Jakarta.
Dari satu pihak, hukum memang dibuat untuk mencegah agar kejahatan atau sebuah tindak pidana tidak lagi berulang. Namun dalam kasus radikalisme, akar masalah barangkali tidak terpusat pada kekeliruan pelaku memahami ajaran agama, tetapi sebabnya jauh lebih kompleks. Dorongan melakukan aksi teror itu salah satunya bisa saja disebabkan oleh alasan yang sifatnya cukup personal. Oleh karena itu, kasus aksi teror yang dilakukan anggota keluarga pun cukup mudah ditemukan, misalnya oleh ayah-ibu-anak atau suami dan istri.
Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, proses penyebaran paham radikal bersifat kompleks, bahkan melibatkan emosi pelakunya.
"Dalam terorisme, yang dimainkan adalah emosi, bukan logika. Ketika seseorang terpapar radikalisme, prosesnya cukup panjang. Bagaimana dia punya keberanian untuk menyerang, itu butuh waktu," jelas Dedi, sehari setelah insiden Wiranto.
Kepolisian tentu mempunyai pertimbangan untuk bertindak tegas dan keras terhadap tersangka teroris. Namun, rehabilitasi atau upaya pemulihan bagi pelaku, keluarga, dan lingkungan masyarakat jauh lebih penting agar siklus kekerasan tidak berulang. Langkah paling sederhana yang seyogianya dilakukan setelah insiden penikaman Wiranto, adalah pihak kepolisian wajib menjamin proses hukum terhadap tersangka, Syahril dan Fitri yang berlangsung transparan dan tanpa penyiksaan. Deradikalisasi tetap harus jadi misi aparat penegak hukum setelah pelaku mendapat sanksi yang proporsional akibat perbuatannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019