Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial menilai pernyataan Pangkoarmada RI, Laksamana Madya TNI Denih Hendrata yang memberikan keterangan bahwa pelaku penembakan bos rental mobil di KM 45 Merak-Tangerang, yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI AL merupakan tindakan membela diri akibat adanya pengeroyokan, bersifat prematur dan melukai perasaan keluarga korban yang sedang mencari keadilan.
Hal itu lantaran menurutnya Puspomal juga belum meminta keterangan dari keluarga korban dan sejumlah saksi yang melihat langsung kejadian tersebut.
"Perlu dicatat bahwa oknum anggota TNI AL tersebut jelas-jelas tidak memiliki itikad baik untuk menguasai mobil milik pengusaha rental tersebut, jadi di sini jelas ada niat jahat dari si pelaku. Untuk itu, sebagai orang yang berniat jahat, penembakan yang dilakukan oknum TNI AL tersebut bukanlah bentuk pembelaan diri, melainkan upaya untuk bersama-sama meloloskan diri. Dalih penembakan dilakukan atas dasar untuk membela diri sebagaimana yang disampaikan Pangkoarmada jelas-jelas keliru," kata Ardi Manto Adiputra selaku Direktur Imparsial dalam keterangan resminya.
Baca juga: TNI AL akui anggotanya pelaku penembakan di Tol Tangerang-Merak
Pangkoarmada dan Puspomal dinilai terkesan melindungi oknum anggota TNI AL pelaku penembakan yang mengakibatkan tewasnya bos rental mobil tersebut.
Sebelumnya Pangkoarmada dalam Konferensi Pers di Mako Koarmada RI Jakarta Pusat pada Senin, 6 Januari 2025, memberikan pernyataan yang dinilai bertentangan dengan pernyataan anak korban Agam Muhammad Nasrudin yang pada saat kejadian berada di lokasi kejadian dan melihat langsung kejadian tersebut.
Dalam kesaksiannya Agam menyampaikan bahwa tidak ada pengeroyokan dalam kejadian tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa pada saat melakukan pengejaran sebelum masuk rest area KM 45, mereka dan tim bahkan sudah terlebih dahulu ditodong dan diancam akan ditembak dengan senjata api ketika hendak menghentikan mobil rental yang dibawa oleh komplotan pelaku.
Ardi juga menyebut, penyalahgunaan senjata api oleh oknum anggota TNI yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa bukan kali ini saja.
Baca juga: Buntut tolak laporan, Kapolsek Cinangka dicopot dari jabatannya
Dalam catatan Imparsial, sepanjang 2024 telah terjadi setidaknya ada 8 peristiwa penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Penyalahgunaan senjata api ini mengakibatkan 7 orang warga sipil tewas dan 10 orang terluka.
Selain itu, Imparsial juga mencatat terdapat 27 kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI terhadap warga sipil sepanjang 2024 kemarin, dengan korban sebanyak 48 orang di mana 12 diantaranya meninggal dunia. Bentuk kekerasan yang dilakukan diantaranya adalah; pemukulan atau penganiayaan sebanyak 18 kasus, penembakan sebanyak 8 kasus, 1 kasus adalah KDRT.
Kasus penembakan di KM 45 Merak-Tangerang ini menurutnya, menambah daftar panjang bagaimana sistem peradilan militer sebenarnya tidak layak untuk memproses kejahatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI.
Imparsial selalu menyarankan agar prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum harus diproses melalui sistem peradilan umum. Hal ini merupakan amanat dari UU TNI sendiri (Pasal 65 ayat (2)) dan juga TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat pertahanan dan keamanan negara. Meski sudah lebih dari 20 tahun lalu dimandatkan oleh UU TNI dan TAP MPR RI, namun hingga saat ini Pemerintah dan DPR RI enggan untuk melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.
Baca juga: Keluarga minta pelaku penembakan di Tol Tangerang-Merak dihukum berat
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2025