Serang (Antara News) - Inflasi yang terlalu tinggi (hiperinflasi), berdampak terhadap ketidakinginan masyarakat memiliki uang tunai, yang pada gilirannya membuat tidak semangat pelaku ekonomi memproduksi barang karena kurang laku, yang tentu hasil produksi barang akan turun.

Bagi masyarakat berpendapatan tetap, terjadinya inflasi sangat merugikan karena pendapatan riil menurun, sementara yang naik tidak hanya satu barang tetapi hampir semua jenis barang, apalagi bila kenaikannya berkepanjangan.

Begitu juga bagi masyarakat yang berpendapatan tidak tetap, inflasi bisa sangat merugikan atau juga tidak merugikan. Bagi masyarakat yang berpendapatan rendah dan tidak tetap seperti tukang becak, tukang sayur, penyemir sepatu dan kuli angkut, inflasi jelas sangat merugikan. Mereka akan sulit mengatur keuangannya agar bisa bertahan hidup.

Bagi Bank Indonesia, inflasi yang tinggi apalagi tidak terkendali, tentu akan mempengaruhi terhadap kebijakan moneter, yaitu kestabilan nilai rupiah, uang beredar dan suku bunga. Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara pada kegiatan pelatihan Wartawan Daerah di Jakarta belum lama ini mengatakan bila inflasi stabil maka nilai rupiah akan stabil, dan bila devisa banyak masuk maka nilai rupiah akan stabil. Sebaliknya bila inflasi tidak stabil maka nilai rupiah juga tidak akan stabil, begitu juga bila devisa tidak banyak masuk.

Oleh karena itu, tidaklah heran bila Bank Indonesia serius mengamati perkembangan inflasi di tiap-tiap daerah, karena sudah kewajibannya menjaga kestabilan moneter dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Kehadiran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang saat ini sudah dibentuk hampir di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia, sangatlah menolong dalam memonitor dan mengawasi perkembangan harga barang dan jasa di pasar-pasar.

Bank Indonesia yang juga terlibat dalam TPID tersebut tentu dengan mudah mendapatkan informasi tentang perkembangan harga di tiap daerah setiap bulannya, dan bisa mengambil langkah-langkah konkret bila perkembangan harga menjurus kepada inflasi yang tinggi.

Kemudian jenis barang apakah yang lebih banyak menyumbang inflasi di daerah-daerah selama ini? Ternyata dari perkembangan harga yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baik tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun secara nasional, penyebabnya umumnya dari kenaikan harga komoditas volatile foods, yaitu komiditas bahan makanan seperti beras, daging, cabe, dan jenis bahan makanan lainnya.

Sebagian besar yang memproduksi bahan makanan jenis itu adalah petani yang tergolong pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM), yang dalam menghasilkan produknya bisa gagal panen akibat serangan hama terkena musibah banjir, dan bisa juga berhasil panen karena pandai merawatnya.

Oleh karena itu, UMKM yang jumlahnya ratusan ribu unit tersebar di wilayah Indonesia itu perlu diberdayakan agar usaha yang dihasilkannya maksimal.

Sistem Klaster

Bank Indonesia sampai saat ini masih konsisten ikut mengendalikan inflasi dengan memberdayakan dan mengembangkan UMKM melalui sistem klaster, dikhususkan UMKM yang berperan besar menyumbangkan inflasi di daerahnya.

Selama ini jenis komoditas yang berperan meningkatkan inflasi di daerah-daerah tertentu yang telah dilakukan pembinaan oleh Bank Indonesia melalui klaster adalah bawang putih. Inovasi yang dilakukan pembibitan benih bawang putih di lahan potensial untuk mengurangi ketergantungan impor.

Kemudian Klaster Sapi, invosi yang dilakukan BI penggunaan teknologi pakan ternak dengan rumput alfata untuk meningkatkan kualitas hewan ternak/sapi. Klaster bawang merah dilakukan penerapanan peningkatan kapasitas usaha petani melalui pengembangan di sisi hilir, Klasten padi dilakukan adaptasi metode baru (hazton) pada produksi padi berupa inovasi jumlah benih yang ditanam.

"Terakhir Klaster Cabai Merah dengan teknologi penanaman untuk mendukung gerakan tanam cabai musim kemarau serta mekanisme pasar lelang yang terbuka, sehingga meningkatkan daya tawar petani," kata Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Yoga Affandi.

Kelima klaster tersebut saat ini sudah dan sedang berkembang di sejumlah provinsi. Ada 168 klaster yang dikembangkan BI di posisi triwulan II/2017, meliputi 20 komoditas ketahanan pangan dan lainnya di 44 kantor perwakilan BI di seluruh Indonesia.

Klaster binaan BI memanfaatkan lahan seluas 6.298 hektare, menyerap 29.250 tenaga kerja dan total pembiayaan sebesar Rp24,2 miliar, kata Yoga seraya menambahkan sampai saat ini sudah ada 173 klaster binaan komoditas pertanian di seluruh Indonesia yang memanfaatkan lahan seluas 7.534 hektar, melibatkan 13.767 petani/peternak dan menyerap 27.552 tenaga kerja.

pengembangan Program Pengendalian Inflasi (klaster) difokuskan pada komoditas ketahanan pangan, komoditas berorientasi ekspor, dan komoditas sumber tekanan inflasi/volatile foods sudah dilakukan BI sejak Tahun 2014, dan dampaknya telah meningkatkan kinerja usaha tani yang tergambar dari peningkatan produktivitas, akses terhadap pasar input, pemanfaatan dan luas lahan, serta penerapan teknik dan inovasi budidaya yang lebih baik (organic).

"Meningkatkan pendapatan rata-rata pelaku usaha tani yang disebabkan meningkatnya jumlah dan kualitas produksi. 

Berkembangnya aspek kelembagaan pelaku usaha tani bertambahnya jumlah anggota koperasi/kelompok tani dan meningkatnya peran dan kontribusi koperasi/kelompok tani," katanya.

Selain itu juga meningkatkan akses terhadap informasi dan pasar output serta peningkatan daya tawar petani dengan bertambahnya pilihan pasar output bagi petani.

Program klaster yang dikembangkan Bank Indonesia itu ternyata membawa hasil yang memuaskan di beberapa provinsi sehingga tidak heran bila sistem itu mendapatkan apresiasi dari pemerintah daerah setempat yang berharap program tersebut terus dilanjutkan.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Lhokseumawe, Provinsi Aceh, misalnya, mengaku akan terus membina klaster terhadap beberapa komoditi sebagai upaya mengendalikan inflasi di daerah.

"Di wilayah kami terdapat beberapa lokasi klaster komoditi pertanian di kabupateh/kota, dan usahanya semakin berkembang," kata Kepala Perwakilan BI Lhokseumawe Yufrizal.

Seperti di Kota Lhokseumawe untuk klaster bawang merah dan cabai, di Aceh Utara Klaster bawang merah, di Kabupaten Bener Meriah bawang putih dan di Kabupaten Aceh Tengah klaster cabai merah.

Beberapa klaster binaan tersebut semakin berkembang, seperti klaster bawang merah di Ulee Nye, Kecamatan Bandar Baro, Aceh Utara, semakin berkembang luas lahannya, sehingga menjadi contoh bagi masyarakat terhadap budidaya komoditas tersebut.

Lhokseumawe tentu contoh kecil dari program klaster yang berhasil, dan diharapkan Bank Indonesia terus mengembangkan sistem klaster tersebut tidak hanya terhadap lima komoditas yang berperan menyumbang inflasi, juga komoditas lain yang non pertanian seperti industri.

Pewarta: Ridwan Chaidir

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2017