Pertarungan geopolitik global masih mempengaruhi pasang surutnya radikalisme dan terorisme di Indonesia. Khususnya perkembangan situasi negara islam di Timur Tengah yang selama ini menjadi destinasi kaum radikalis Indonesia.

Saat ini pertanyaannya adalah bagaimana negara mampu mendeterminasi kesadaran kolektif melawan radikalisme? Kontestasi ideologi masih akan berlangsung lama, sementara radikalisme dan terorisme juga merupakan isu yang bersifat kontemporer yang tentu bisa menjadi penghambat dalam kemajuan bangsa dalam cita-citanya mengejar poros kekuatan dunia (Tabrani, 2020).

Paham radikalisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan, pola penyebaran radikalisme pada era post truth ini semakin masif dan tidak terkendali, sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat.

Dikuatkan oleh Dounia Bouzar dalam tulisannya, “those radicalized beliefs lead to violence” (Bouzar, 2018). Dalam buku tersebut disampaikan bahwa sangat potensial menggiring seseorang dan kelompok untuk melakukan tindakan ekstrem dan kekerasan, bahkan merasuki cara pandang terhadap agama namun dengan cara dan sikap yang keras.

Bersamaan dengan itu, radikalisme merupakan respon atas setiap kondisi yang dianggap tidak ideal dan biasanya diikuti dengan gerakan sosial serta sikap anti kemapanan (Botticher, 2017). Wujud dari paham radikalisme adalah terjadinya aksi terorisme yang sudah dialami negara ini sejak terjadinya Bom Bali sampai dengan sekarang.

Namun dalam perkembangannya, penyebaran radikalisme bukan lagi bersifat konvensional, tetapi naik kelas ke tahap “kekhalifahan virtual” (virtual caliphate), yaitu agenda militansi kelompok untuk memperjuangkan konsepsi negara Islam khilafah dalam komunitas online.

Metode virtual ini sangat efektif untuk melakukan mobilisasi sumber daya manusia dalam jumlah yang cukup signifikan. Tidak dipungkiri, media sosial salah satu instrumen terbesar dalam penyebaran isu yang populis.


Kondisi saat ini


Faktanya, hal ini mulai merambah kepada instrumen negara yang cukup vital, aparat pertahanan dan keamanan. Bahkan, SETARA Institute telah melakukan penelitian pada tahun 2019 dengan hasil hampir 4 (empat) persen aparat TNI/ Polri terpapar paham  radikalisme. Pertanyaannya selanjutnya, seberapa besar paham radikalisme di lingkungan Kepolisian?

Berbagai media memberitakan, diantaranya pada bulan Mei 2018, Densus 88 Anti Teror mengamankan anggota Polri yang masih berdinas aktif di Polda Jambi. Oktober 2019, Polda Jawa Timur mengamankan Polwan, berdinas aktif di Polda Maluku Utara yang terlibat jaringan terorisme, bahkan setelah penyidik dari Densus 88 AT melakukan pendalaman, ditemukan fakta bahwa yang bersangkutan disiapkan menjadi pengantin (suicide bomber) (news.detik.com, 12/09/2019). November 2022, Densus 88 AT mengamankan 2 anggota Polda Lampung yang terlibat kelompok Polisi Cinta Sunnah dan masuk kejaringan terorisme. Dari seluruh kasus tercatat sebanyak  17 (tujuh belas) anggota polri yang diduga terpapar dan terlibat jaringan terorisme (Yopi Gani dan Godfrid Hutapea, 2022).

Sebagai salah satu organisasi yang menjadi pilar bangsa, tentunya paham radikalisme seharusnya tidak terjadi dalam organisasi Polri. Sungguh sangat ironis ketika aparat penegak hukum yang diharapkan masyarakat memberantas segala paham radikalisme dan aksi terorisme dengan mengedepankan pancasila dalam sendi kehidupannya, justru terpapar bahkan terlibat dalam berbagai aksi terorisme.

Berbahaya apabila Polri tidak cepat mengidentifikasi siapa saja personelnya yang terpapar paham radikalisme, menanggulangi yang sudah terpapar, dan melakukan fungsi represif atau deradikalisasi berdasarkan eskalasi yang telah dilakukan personel tersebut, dan tentu akan sulit mengidentifikasi apabila belum ada indikator yang menentukan sejauh mana personel tersebut terpapar radikalisme dan terlibat dalam jaringan terorisme.

Tetapi bukan soal ”pro-justitia” yang akan di bahas di sini, melainkan upaya menghilangkan “public distrust” yang sebaiknya tidak dibiarkan menebal. Seyogianya Polri harus membangun mekanisme pencegahan dan pengawasan agar paham radikalisme terorisme tidak terinternalisasi kepada personel Polri.

Karena secara umum, idealnya Polri tidak hanya fokus untuk mengungkap jaringan terorisme. Polri harus mampu menjaga rumahnya dari ideologi terorisme. Sehingga dalam konteks pencegahan, Polri tidak hanya mencegah penyebaran ideologi tersebut di luar institusi, tetapi juga di dalam internal Polri sendiri.

Sehingga pada akhirnya, seperti yang disampaikan Bahrawi (2022) kita sepakat bahwa pemolisian masa depan selalu menempatkan pencegahan dan kesadaran bersama masyarakat untuk menolak kejahatan secara kolektif sebagai “the last resort”, dimana dalam koridor-koridor tersebut memiliki ketegasan yang rigid dan tegak lurus kepada “Satya Haprabu”.


Strategi pemerintah

Esensi dari Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2019 yang merupakan turunan dari Undang-undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan bukti nyata Pemerintah Indonesia untuk melawan radikalisasi memerlukan pendekatan multidimensi, termasuk peningkatan seleksi personel, pelatihan berkelanjutan, kerjasama lintas lembaga, dan kerangka hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Salah satu bentuk nyata peningkatan seleksi personel adalah proses rekruitmen yang dilaksanakan Juli 2023 lalu oleh Kepolisian, terobosan SDM Polri yang melibatkan Densus 88 Anti Teror untuk melakukan rekruitmen calon taruna Akpol dengan menggunakan “asesmen mental dan ideologi”, dimana para calon taruna Akpol mengisi kuesioner, lalu dilakukan pemetaan terhadap data – data yang dimiliki oleh tim Densus 88 AT terkait data-data yang sudah diinventarisir dari para peserta.

Ini merupakan  upaya  dari Polri yang patut diapresiasi, meskipun belum cukup signifikan, tetapi upaya positif ini perlu dilakukan ke semua jenjang lembaga pendidikan di Polri, sehingga dapat mempersempit bahkan mensterilisasi ruang gerak paham tersebut kepada aparatur negara, khususnya Kepolisian. Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden RI Nomor & Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE).
Asesmen mental dan ideologi tersebut di atas merupakan inisiatif metode pencegahan yang harus dikembangkan untuk mendeteksi dan mengantisipasi calon anggota Polri yang diduga terpapar paham radikalisme terorisme.


Saran pendapat

Mekanisme yang dibangun setidaknya meliputi tahap pencegahan saat rekruitmen anggota Polri, tahap saat anggota Polri sudah berdinas, dan tahapan ketika ditemukan personel Polri yang terindikasi terpapar paham radikalisme.

Mulai dari tahap perekrutan. Pada tahap ini, identifikasi diharapkan dapat dilaksanakan tidak hanya pada perekrutan Akpol saja, tapi juga perekrutan Tamtama, Bintara Polri di tiap-tiap Polda. Metode asesmen tersebut di atas dapat dipadukan dengan pendalaman di lapangan terkait kecenderungan perilaku calon anggota Polri melalui masyarakat sekitar, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.

Kemudian pada tahap anggota Polri sudah berdinas, Polri diharapkan dapat mengembangkan mekanisme pengawasan terhadap seluruh personel meliputi kehidupan di tempat berdinas, di lingkungan masyarakat maupun pada lingkungan online. Pengawasan secara offline harus dibarengi dengan pengawasan online mengingat kedua jalur tersebut merupakan pintu masuk penyebaran ideologi dan perekrutan jaringan terorisme, seperti yang pernah diusulkan Damayanti (2019) bahwa pemerintah hendaknya perlu menggabungkan penanganan terorisme melalui sarana offline maupun online.

Selanjutnya pada tahapan ketika ditemukan indikasi personel Polri terpapar paham radikalisme terorisme, Polri dapat menerapkan pendekatan deradikalisasi dengan menggandeng stakeholder terkait. Seperti yang tertuang dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2019, tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan disebutkan bahwa ada empat tahap deradikalisasi yang dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana Tindak Pidana Terorisme, yaitu : identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi.

Untuk dapat melakukan upaya-upaya tersebut, Polri dapat memberdayakan struktur pengawasan internal secara berjenjang hingga pada level Polsek dan harus memastikan bahwa instrumen ini dibekali pengetahuan tentang ideologi radikal, pengenalan indikasi terpapar paham radikalisme, dan pelatihan tindakan yang harus diambil ketika terdapat tanda-tanda kecenderungan radikal.

Yang paling terpenting adalah bagaimana mekanisme pencegahan dan pengawasan ini dapat dilembagakan dalam aturan internal yang jelas, sehingga bisa dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya, serta dilakukan analisa dan evaluasi untuk mengetahui hal yang terbaru dalam konteks isu radikalisme dan terorisme yang terus berubah pola dan bentuk mengikuti perkembangan zaman.

*Mahasiswa Program Doktoral STIK-PTIK Kajian Ilmu Kepolisian

 

 

 

Pewarta: Rifaizal Samual (Mahasiswa Program Doktoral STIK-PTIK)

Editor : Bayu Kuncahyo


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023