Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM (Menkop UKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari mengatakan platform yang menjalankan bisnis media sosial dengan e-dagang (e-commerce) secara bersamaan (social commerce) sudah semestinya dilarang karena bisa memonopoli pasar.
“Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.
Monopoli alur traffic pasar, lanjutnya, dijalankan tanpa disadari oleh pengguna sehingga bisa diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa sadar.
Baca juga: Mendag tinjau Pasar Tanah Abang seusai terbitkan Permendag 31/2023
Alasan kedua sebuah platform dilarang menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce adalah platform tersebut bisa memanipulasi algoritma. Dijelaskannya, platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan di saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.
"Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya," ucapnya
Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce. Ditegaskan Fiki, trigger pembelian tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika itu terjadi, maka tidak ada playing field yang setara dalam industri digital di Indonesia.
Alasan keempat adalah perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya. Karena media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.
"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," tuturnya.
Baca juga: Puan Maharani harap aturan "social commerce" ciptakan keseimbangan pasar
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa sebuah platform memang sudah sewajarnya untuk dilarang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Jika tidak diatur, berpotensi menghadirkan persaingan dagang yang tidak sehat.
"Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," kata dia.
Menurut Bhima, pemisahan diperlukan salah satunya untuk menjaga keamanan data karena penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda. Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih.
“Sebuah platform juga tidak bisa lagi memanfaatkan algoritma media sosialnya untuk berjualan. Setidaknya algoritma media sosial tidak diarahkan untuk kepentingan penjualan barang di e-commerce,” ungkap Bhima.
Baca juga: TikTok tanggapi aturan terbaru pemerintah soal "social commerce"
Baca juga: Direktorat Jenderal Pajak: TikTok setor pajak sebagai PPN PMSE
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023
“Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.
Monopoli alur traffic pasar, lanjutnya, dijalankan tanpa disadari oleh pengguna sehingga bisa diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa sadar.
Baca juga: Mendag tinjau Pasar Tanah Abang seusai terbitkan Permendag 31/2023
Alasan kedua sebuah platform dilarang menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce adalah platform tersebut bisa memanipulasi algoritma. Dijelaskannya, platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan di saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.
"Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya," ucapnya
Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce. Ditegaskan Fiki, trigger pembelian tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika itu terjadi, maka tidak ada playing field yang setara dalam industri digital di Indonesia.
Alasan keempat adalah perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya. Karena media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.
"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," tuturnya.
Baca juga: Puan Maharani harap aturan "social commerce" ciptakan keseimbangan pasar
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa sebuah platform memang sudah sewajarnya untuk dilarang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Jika tidak diatur, berpotensi menghadirkan persaingan dagang yang tidak sehat.
"Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," kata dia.
Menurut Bhima, pemisahan diperlukan salah satunya untuk menjaga keamanan data karena penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda. Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih.
“Sebuah platform juga tidak bisa lagi memanfaatkan algoritma media sosialnya untuk berjualan. Setidaknya algoritma media sosial tidak diarahkan untuk kepentingan penjualan barang di e-commerce,” ungkap Bhima.
Baca juga: TikTok tanggapi aturan terbaru pemerintah soal "social commerce"
Baca juga: Direktorat Jenderal Pajak: TikTok setor pajak sebagai PPN PMSE
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023