Jakarta (Antara News) - Bila seandainya 236 "pemburu berita" dari berbagai media massa secara serentak "menyerbu" tiga pejabat Bank Indonesia setelah memaparkan materi, dengan harapan mendapatkan komentarnya, tentulah si nara sumber akan kewalahan untuk menjawab satu persatu pertanyaan dari sang wartawan.

Perumpaan itu hampir saja terjadi ketika Bank Indonesia pusat mengundang 236 wartawan dari berbagai media massa yang liputannya di wilayah Jawa, Bali dan Sulawesi ke Jakarta selama lima hari mulai tanggal 2 sampai 5 Oktober lalu.

"Sebenarnya kami mengundang sekitar 500-an wartawan yang tersebar di seluruh Indonesia, namun keterbatasan sarana dan prasarana, maka tahap pertama baru wartawan yang berdomisili di Jawa, Bali dan Sulawesi, tahap kedua pada pekan depan diundang pula sekitar 250-an wartawan dari Pulau Sumatera, Kalimantan dan Kawasan Bagian Timur," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara saat membuka acara "Temu Wartawan Daerah" di Hotel Grand Mercure Jakarta Pusat, Senin (3/10).

Kehadiran ratusan jurnalis yang tidak hanya dari media cetak, tetapi juga jurnalis online, radio, TV dan kantor berita yang sehari-hari meliput kegiatan Bank Indonesia di wilayah kerjanya tersebut, nampaknya baru pertama kali dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) pusat. Selama ini BI perwakilan yang mengadakan sendiri pertemuan serupa di wilayahnya masing-masing.

"Ini memang pertama kali BI mengumpulkan wartawan sebanyak ini, yang tujuannya tidak lain agar wartawan lebih memahami tentang peran Bank Indonesia, sehingga dalam menulis berita bisa dituangkan secara utuh setiap kebijakan yang dikeluarkan BI," katanya.

Ibarat konferensi pers, setelah nara sumber memaparkan materi-materi, kemudian moderator membuka sesi tanya jawab, tidak sedikit wartawan yang mengacungkan tangan untuk menanyakan seputar materi yang disampaikan nara sumber. Tetapi tidak sedikit pula wartawan yang masih "malu-malu" menyampaikan dalam forum walaupun ia sudah siap dengan sejumlah pertanyaan.

"Sudah ada sih pertanyaan yang disiapkan, tapi nanti ajalah kalau sudah selesai sesi ini," kata Retha, wartawati online dari Surabaya.

Sayangnya moderator hanya memberikan kesempatan kepada lima atau enam penanya karena dibatasi waktu. Setelah moderator menutup sesi tersebut, benar saja para "haus berita" tersebut "memburu" setiap nara sumber, sehingga ketiga nara sumber yang tampil saat itu dikerumuni para wartawan.

Pada sesi pertama itu membahas tentang "Pengendalian Inflasi Daerah untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat dan Program Klaster Pengendalian Inflasi".

Nara sumber yang tampil adalah Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Noor Yudanto, Deputi Direktur Departemen Pengembangan UMKM Winny Purwanti dan Deputi Direktur Departemen Regional Budiono, dengan moderator Y Tomy Aryanto dari Tempo.  

Bergantian wartawan dari berbagai media tersebut menanyakan hal-hal yang belum jelas, atau ada yang mengembangkan pertanyaan lain yang tidak jauh dari materi yang dibahas, sehingga membuat panitia kegiatan terpaksa manghampiri nara sumber untuk mengingatkan bahwa sesi selanjutnya akan dimulai.

Memasuki sesi kedua membahas tentang "Kebijakan Uang Muka Kredit/Pembiayaan dan Perannya terhadap Pertumbuhan Ekonomi" juga nara sumber dicecar berbagai pertanyaan oleh wartawan yang sepertinya diharuskan oleh pimpinan redaksinya untuk membuat berita.

Nara sumber yang tampil Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial, Divisi Asesmen Korporasi dan Rumah Tangga Ita Rulina dan Asisten Direktur Depertemen Regional 2 Warsono, dimoderatori oleh Elba Damhuri dari Republika, dengan sigap keduanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh kuli tinta tersebut.

Hal serupa juga terjadi ketika Ricky Satria, Deputi Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran membahas tentang Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

Sesi yang dimoderatori oleh Wahyu Danil (Radaktur Pelaksana Detik Finance) itu tampaknya materi yang cukup menarik bagi wartawan untuk dibuat berita, karena GNNT memang lagi trend dikembangkan oleh Bank Indonesia, bahkan rencananya program non tunai ini akan menjangkau masyarakat di pedesaan, khususnya dalam program bantuan sosial.

Pada pembukaan kegiatan tersebut sudah disinggung oleh Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara bahwa pihaknya mendorong agar bantuan sosial pemerintah disalurkan melalui transaksi nontunai kepada masyarakat yang berhak menerimanya sehingga proses pencairan dana lebih efektif dan efisien.

"Kami sedang mendorong gerakan nasional non-tunai (GNNT) misalnya menyalurkan bantuan sosial, masyarakat menerima tunai, sekarang yang sedang didorong bantuan nontunai," katanya.

Dia mengharapkan bantuan nontunai itu bisa disalurkan melalui layanan keuangan digital sehingga masyarakat bisa membelanjakan bantuan tersebut dengan cara menukar menjadi sejumlah kebutuhan pokok.

Deputi Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran, Ricky Satria menargetkan GNNT mampu mengurangi tendensi pola konsumtif masyarakat termasuk penggunaan dana tidak sesuai bagi penerima bantuan sosial.

"Jika ada uang di dompet maka itu tidak akan bertahan lama. Dengan gerakan nontunai ini tendensi konsumtif lebih rendah," katanya

Wartawan Paham Ekonomi

Dalam pertemuan dengan wartawan tersebut, Bank Indonesia mendatangkan para moderator dari redaktur senior media yang terkenal seperti Kompas, Detikfinance, Tempo dan Republika, bahkan mengundang Ketua Forum Pemred yang juga Direktur Pemberitaan Metro TV Tomi Suryopratomo sebagai pembicara pada hari kedua (4/10) tentang Menjadi Jurnalis Ekonomi.

Dipandu Ketua Pelaksana Kegiatan Andiwiyana, Suryopratomo mengatakan menjadi wartawan ekonomi harus memahami ilmu dan istilah ekonomi agar dalam membuat berita tidak terjadi salah penafsiran yang dapat membingungkan pembaca.

"Saya yakin tidak seluruh wartawan yang hadir disini berjenjang pendidikan ekonomi, sehingga perlu belajar lagi tentang istilah ekonomi seperti di Bank Indonesia harus tahu apa itu moneter, sistem pembayaran, perbankan, inflasi atau suku bunga bank, atau peredaran uang, agar dalam menulis berita dapat dituangkan dengan jelas dan dipahami oleh masyarakat," kata Suryopranoto.

Ia meminta kepada setiap wartawan agar tidak percaya seratus persen terhadap apa yang diutarakan nara sumber, tetapi perlu memahami dan mendalami ucapan nara sumber sehingga tidak terjadi salah tafsir dalam menyampaikan berita.

Pertemuan selama lima hari itu tentulah waktu yang sangat pendek, sehingga pemahaman tentang peran BI secara mendetail kepada wartawan daerah belumlah cukup, apalagi wartawan di daerah tidak selalu menetap menjadi jurnalis ekonomi, karena sewaktu-waktu bisa dipindahkan ke liputan non ekonomi.

Karena itu, wajar bila Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengimbau kepada semua BI perwakilan di daerah lebih dekat lagi dengan media.

"Hal ini dikarenakan untuk memahami tugas kebanksentralan bukan hal yang mudah, karena itu perlu pemahaman kepada wartawan," katanya.

Dia mengatakan jika media di daerah menjadi teman yang baik dengan BI, maka penyampaiannya juga bisa langsung dipahami.

Karena, kata Mirza, penjelasan soal tugas dan fungsi BI sebagai bank sentral tidak cukup dengan wawancara "door stop" saja, tapi sangat perlu pertemuan yang rutin.

"Saya harap BI perwakilan di daerah menjadikan rekan media sebagai teman, melakukan pertemuan secara rutin, ataupun mengunjungi media tersebut," katanya menjelaskan.

Bukan saja itu, BI di daerah harus mengenal lebih dekat wartawan ekonomi yang biasa liputan di Kantor BI, juga redaktur sampai pemimpin redaksinya.

Sesi terakhir ditutup dengan Menampilkan Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang Asral Mashuri dengan tema "Pengelolaan Uang Rupiah dan Kewajiban Rupiah di NKRI".

Sesi yang dipandu oleh M. Fajar Marta dari Kompos.com tersebut menceritakan bagaimana Bank Indonesia meminta Peruri mencetak uang baru sesuai dengan kebutuhan, dan menghargai uang rupiah sebagai alat tukar resmi masyarakat Indonesia.
 
"Kami mengajak masyarakat di Indonesia agar lebih menghargai rupiah karena biaya produksinya cukup besar," kata Asral.

Dia mengatakan proses percetakan uang dari bahan sampai siap edar biayanya cukup tinggi, sehingga setelah sampai di tangan masyarakat harus lebih dihargai, agar uang tersebut bisa lama beredarnya.

Jika uang tersebut lama beredar di masyarakat, maka akan mengurangi biaya produksi selanjutnya.

"Akan terlihat kualitas uang rupiah di masyarakat saat masuk ke BI, apakah bisa edar lagi ataukah harus diracik," jelasnya.

Ia menjelaskan semakin kecil uang rupiah yang diracik maka semakin tinggi pula masyarakat menghargai rupiah.

Pewarta: Ridwan Chaidir

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016