Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyoroti pasal 156 Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang berpotensi melemahkan industri hasil tembakau (IHT).
"Pasal itu menyamakan tembakau dengan narkoba sehingga menimbulkan banyak pertanyaan," kata Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono dalam keterangan tertulis, Selasa.
Tak hanya itu, jelas Hananto, pasal itu juga membuat Menteri Kesehatan memiliki kewenangan menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok.
Hal ini tentu menciptakan tanda tanya, lantaran aturan-aturan terkait hal tersebut sebelumnya berada pada ranah Kementerian Keuangan dan Kementerian Industri.
Wacana perpindahan wewenang ini tampaknya didorong hanya pada satu tujuan, melemahkan industri rokok. Padahal keberadaan sebuah industri semestinya dilihat dari banyak perspektif dan tujuan, seperti kesinambungan ekonomi, pertanian, tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Penyusunan RUU Kesehatan ini jelas menjadi babak baru dari upaya Kementerian Kesehatan mengakuisisi semua kewenangan lembaga Pemerintah lainnya terhadap kebijakan pertembakauan yang selama ini selalu dipatuhi oleh industri, seperti standarisasi kemasan dan kandungan pada nikotin-tar, pembatasan ruang display produk, bahkan perkara ruang konsumsinya pun mengalami diskriminasi.
Kemenkes juga terus berupaya mempersempit ekosistem IHT dalam berusaha dengan mendesak revisi PP No. 109 Tahun 2012 yang berinduk pada UU Kesehatan No.36/2009. Salah satunya mendorong usulan porsi peringatan bergambar pada kemasan rokok yang ditambah hingga 90 persen. Menanggapi hal tersebut, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, dengan Kemenkes sebagai pengusul RUU Kesehatan, aturan standarisasi kemasan akan membuka jalan bagi kementerian tersebut memperluas kewenangannya, termasuk dalam mendorong usulan perluasan gambar peringatan pada kemasan rokok.
“Jika RUU ini resmi disahkan, maka akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal,” ujar Hananto kepada media.
Hananto menegaskan ekosistem tembakau juga bukanlah pihak yang anti aturan, bahkan sektor ini sangat patuh terhadap regulasi. Tidak hanya itu, tembakau terus berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan rerata 10%-13% dari porsi APBN selama lima tahun terakhir.
Dengan adanya aturan ini pun, Hananto mempertanyakan sikap pemerintah yang seperti menafikan sumbangsih tembakau terhadap perekonomian masyarakat, penyerapan jutaan tenaga kerja dan timbal balik terhadap kesehatan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Bahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi kontribusi cukai rokok kedua terbesar berada di bidang kesehatan sebesar 40%.
“Sudah saatnya Pemerintah dan Wakil Rakyat juga memberikan kesempatan ekosistem pertembakauan ini dapat bertahan, diberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan,” tambahnya
Menurut Hananto, sampai dengan saat ini ada sekitar 300 regulasi tingkat lokal dan pusat yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Saat pasal ini muncul yang menyebutkan standarisasi kemasan akan diatur oleh Menteri Kesehatan, otomatis akan bertentangan dengan aturan yang telah ada.
Terkait praktiknya, AMTI pun menilai pembentukan RUU Kesehatan ini mengabaikan praktik keterbukaan dan partisipatif. Pihaknya menyebutkan sejak awal pemangku kepentingan ataupun elemen ekosistem pertembakauan tidak diberi kesempatan untuk memaparkan realita yang terjadi saat ini, sekalipun Kemenkes sebagai pemrakarsa menyebutkan telah dilakukannya public hearing dengan para pemangku kepentingan. “Kami berharap RUU Kesehatan yang saat ini sedang memasuki pembicaraan tingkat kedua di DPR RI tidak berakhir menjadi regulasi yang justru mengkriminalisasi ekosistem pertembakauan,” imbaunya.
Cukup beralasan memang jika RUU Kesehatan sangat diskriminatif dan eksesif terhadap ekosistem pertembakau. Terkait pasal dalam draft yang beredar, dengan diaturnya produk kemasan tembakau maka IHT perlahan akan dimatikan yang berujung pada matinya mata pencaharian petani tembakau, dipertegas lewat upaya penyamarataan tembakau dengan narkotika.
Terkait hal tersebut, penolakan keras juga datang dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang melihat aturan ini sebagai bentuk kezaliman Pemerintah dimana sejumlah pasal tembakau dalam RUU Kesehatan sangat diskriminatif terlihat dari wacana pengusul yang juga ingin menekan pergerakan petani tembakau.
“Pengusul tidak ingin tembakau ada di Indonesia sehingga kesannya ada monopoli. Bukan tidak mungkin kedepannya petani bisa ditangkap apabila menanam tembakau. pembeli pun juga akan memilih bahan lain karena takut dikenai pasal,” kata Ketua Dewan Pimpinan APTI, Agus Pamudji
Agus pun meminta agar Pemerintah tidak mematikan sektor ekonomi tembakau karena saat pasal ini disahkan kemungkinan produk tembakau hilang yang juga diikuti hilangnya rokok tembakau. “Ini adalah pasal yang begitu jahat dan undang-undang yang cacat karena dari rancangan hingga ke tahap pengesahan hanya disosialisasikan lewat media,” ungkap dia
Sebelumnya hal senada disampaikan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi yang menjelaskan di pasal tembakau tersebut Kemenkes akan memiliki kewenangan dalam mengatur standarisasi kemasan produk tembakau yang dapat menimbulkan disharmonisasi antar kementerian.
“Jangan sampai kebijakan ini dinyatakan cacat formil setelah disahkan karena dalam proses pembentukan tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik. Kami harap pemerintah dapat menghadirkan kebijakan yang adil dan berimbang serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT,” pintanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023
"Pasal itu menyamakan tembakau dengan narkoba sehingga menimbulkan banyak pertanyaan," kata Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono dalam keterangan tertulis, Selasa.
Tak hanya itu, jelas Hananto, pasal itu juga membuat Menteri Kesehatan memiliki kewenangan menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok.
Hal ini tentu menciptakan tanda tanya, lantaran aturan-aturan terkait hal tersebut sebelumnya berada pada ranah Kementerian Keuangan dan Kementerian Industri.
Wacana perpindahan wewenang ini tampaknya didorong hanya pada satu tujuan, melemahkan industri rokok. Padahal keberadaan sebuah industri semestinya dilihat dari banyak perspektif dan tujuan, seperti kesinambungan ekonomi, pertanian, tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Penyusunan RUU Kesehatan ini jelas menjadi babak baru dari upaya Kementerian Kesehatan mengakuisisi semua kewenangan lembaga Pemerintah lainnya terhadap kebijakan pertembakauan yang selama ini selalu dipatuhi oleh industri, seperti standarisasi kemasan dan kandungan pada nikotin-tar, pembatasan ruang display produk, bahkan perkara ruang konsumsinya pun mengalami diskriminasi.
Kemenkes juga terus berupaya mempersempit ekosistem IHT dalam berusaha dengan mendesak revisi PP No. 109 Tahun 2012 yang berinduk pada UU Kesehatan No.36/2009. Salah satunya mendorong usulan porsi peringatan bergambar pada kemasan rokok yang ditambah hingga 90 persen. Menanggapi hal tersebut, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, dengan Kemenkes sebagai pengusul RUU Kesehatan, aturan standarisasi kemasan akan membuka jalan bagi kementerian tersebut memperluas kewenangannya, termasuk dalam mendorong usulan perluasan gambar peringatan pada kemasan rokok.
“Jika RUU ini resmi disahkan, maka akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal,” ujar Hananto kepada media.
Hananto menegaskan ekosistem tembakau juga bukanlah pihak yang anti aturan, bahkan sektor ini sangat patuh terhadap regulasi. Tidak hanya itu, tembakau terus berkontribusi terhadap penerimaan negara dengan rerata 10%-13% dari porsi APBN selama lima tahun terakhir.
Dengan adanya aturan ini pun, Hananto mempertanyakan sikap pemerintah yang seperti menafikan sumbangsih tembakau terhadap perekonomian masyarakat, penyerapan jutaan tenaga kerja dan timbal balik terhadap kesehatan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Bahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, alokasi kontribusi cukai rokok kedua terbesar berada di bidang kesehatan sebesar 40%.
“Sudah saatnya Pemerintah dan Wakil Rakyat juga memberikan kesempatan ekosistem pertembakauan ini dapat bertahan, diberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan,” tambahnya
Menurut Hananto, sampai dengan saat ini ada sekitar 300 regulasi tingkat lokal dan pusat yang mengelilingi ekosistem pertembakauan. Saat pasal ini muncul yang menyebutkan standarisasi kemasan akan diatur oleh Menteri Kesehatan, otomatis akan bertentangan dengan aturan yang telah ada.
Terkait praktiknya, AMTI pun menilai pembentukan RUU Kesehatan ini mengabaikan praktik keterbukaan dan partisipatif. Pihaknya menyebutkan sejak awal pemangku kepentingan ataupun elemen ekosistem pertembakauan tidak diberi kesempatan untuk memaparkan realita yang terjadi saat ini, sekalipun Kemenkes sebagai pemrakarsa menyebutkan telah dilakukannya public hearing dengan para pemangku kepentingan. “Kami berharap RUU Kesehatan yang saat ini sedang memasuki pembicaraan tingkat kedua di DPR RI tidak berakhir menjadi regulasi yang justru mengkriminalisasi ekosistem pertembakauan,” imbaunya.
Cukup beralasan memang jika RUU Kesehatan sangat diskriminatif dan eksesif terhadap ekosistem pertembakau. Terkait pasal dalam draft yang beredar, dengan diaturnya produk kemasan tembakau maka IHT perlahan akan dimatikan yang berujung pada matinya mata pencaharian petani tembakau, dipertegas lewat upaya penyamarataan tembakau dengan narkotika.
Terkait hal tersebut, penolakan keras juga datang dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang melihat aturan ini sebagai bentuk kezaliman Pemerintah dimana sejumlah pasal tembakau dalam RUU Kesehatan sangat diskriminatif terlihat dari wacana pengusul yang juga ingin menekan pergerakan petani tembakau.
“Pengusul tidak ingin tembakau ada di Indonesia sehingga kesannya ada monopoli. Bukan tidak mungkin kedepannya petani bisa ditangkap apabila menanam tembakau. pembeli pun juga akan memilih bahan lain karena takut dikenai pasal,” kata Ketua Dewan Pimpinan APTI, Agus Pamudji
Agus pun meminta agar Pemerintah tidak mematikan sektor ekonomi tembakau karena saat pasal ini disahkan kemungkinan produk tembakau hilang yang juga diikuti hilangnya rokok tembakau. “Ini adalah pasal yang begitu jahat dan undang-undang yang cacat karena dari rancangan hingga ke tahap pengesahan hanya disosialisasikan lewat media,” ungkap dia
Sebelumnya hal senada disampaikan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi yang menjelaskan di pasal tembakau tersebut Kemenkes akan memiliki kewenangan dalam mengatur standarisasi kemasan produk tembakau yang dapat menimbulkan disharmonisasi antar kementerian.
“Jangan sampai kebijakan ini dinyatakan cacat formil setelah disahkan karena dalam proses pembentukan tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik. Kami harap pemerintah dapat menghadirkan kebijakan yang adil dan berimbang serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap seluruh rantai pasok IHT,” pintanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023