Serang (Antara News) - Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyarankan agar pemerintah daerah mendorong lebih banyak lagi investasi langsung melalui kemudahan perizinan untuk mengatasi perlambatan ekonomi.

"Pemerintah saat ini telah memberikan kemudahan melalui penyederhanaan perizinan dan layanan satu atap, hal ini juga harus diikuti pemerintah daerah agar investor dapat segera merealisasikan bisnisnya," kata Mirza saat menyampaikan kuliah umum di kampus IAIN Sultan Maulana Hasanuddin di Serang, Jumat.

Mirza mengatakan perlambatan ekonomi di Indonesia disebabkan masih besarnya ketergantung terhadap ekspor migas dan perkebunan yang terimbas akibat semakin menguatnya dolar AS. "Hampir 75 persen ekspor kita tergantung kepada migas, batubara, perkebunan (sawit, karet), sementara hanya 25 persen saja ekspor non migas," ujar dia.

Mirza menjelaskan pemerintah telah menyadari hal ini serta telah berusaha untuk memberikan nilai tambah terhadap produk di Indonesia sebelum diekspor. Namun belum sempat seluruh sektor dibenahi keburu dolar AS menguat. 

Terkait dengan nilai tukar rupiah, Mirza mengatakan, kondisi serupa juga dialami negara-negara lain, disebabkan kebijakan bank sentral AS yang belum juga menaikkan suku bunga. Justru apabila kita bandingkan nilai tukar rupiah dengan negara lain justru menguat, karena negara lain terdepresiasi lebih tajam. 

Bank sentral AS pernah menaikan tingkat bunga 5,25 persen tahun 2006 untuk mengendalikan spekulasi, akibatnya ekonomi negara tersebut sempat collapse, kemudian untuk memperbaiki ekonominya kembali AS menurunkan tingkat bunga terendah sampai 0,25 persen, jelas Mirza.

"Merupakan bunga terendah yang pernah diberlakukan bank sentral AS, kondisi ini membuat dolar AS yang berada di belahan lain di dunia ditarik kembali ke negara tersebut. Kondisi ini yang membuat nilai tukar mata uang negara-negara lain termasuk Indonesia melemah," jelas Mirza.

Sedangkan Tiongkok sebagai negara nomor dua terbesar setelah AS yang menjadi harapan negara-negara di kawasan regional setelah menurunkan pertumbuhan ekonominya dari semula 12 persen menjadi 7,5 persen. Namun kenyataannya ekonominya justru saat ini semakin melambat, jelas Mirza.

Mirza mengatakan pemerintah bersama BI saat ini tengah berupaya agar fluktuasi dolar AS ini jangan sampai membuat ekonomi semakin lambat, berbagai langkah antisipasi terus dilakukan termasuk dalam hal ini membuka peluang investasi langsung lebih besar lagi.

Upaya lain adalah menggenjot sektor pariwisata untuk menarik dolar AS lebih banyak lagi masuk ke Indonesia. Hal ini bisa dilihat kondisi pertumbuhan ekonomi setiap daerah di Indonesia hanya Jakarta, Bali, dan Yogyakarta yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya karena ditunjang sektor pariwisata.

Sedangkan untuk Sumatra dan kalimantan ekonomi justru semakin melambat sebagai akibat daerah-daerah ini sangat mengandalkan pendapatannya dari perkebunan dan pertambangan, jelas Mirza.

Mirza mengatakan sektor pariwisata Indonesia saat baru meraih pendapatan 9 juta dolar AS per tahun sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi mengingat infrastrukturnya sudah siap (hotel, transportasi, dan perlengkapan lainnya) kemudian potensinya alamnya juga tidak kalah dibanding Thailand dan Malayia, padahal kedua negara ini meraih 25 juta dolar AS per tahun dari sektor ini.

Mirza juga mengungkapkan meskipun ekonomi melambat dan rupiah terdepresiasi, namun secara keseluruhan sistem ekonomi Indonesia masih kuat jauh dari kemungkinan terjadinya krisis ekonomi.

Berbeda dengan tahun 1998 NPL bank sampai 40 persen, sedangkan saat ini stabil pada posisi 1,6 - 2,4 persen. Kemudian saat ini simpanan valas di bank juga dibatasi tidak seperti saat krisis yang bebas bertransaksi valas.

Kemudian saat ini seluruh simpanan nasabah di bank sampai Rp2 miliar setiap nasabah dijamin dan dilindungi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Tingkat bungan perbankan saat ini juga stabil 7 - 7,5 persen, berbeda ketika tahun 1998 tingkat bungan BI melonjak sampai 57 persen.

Mirza mengatakan untuk menghindarkan spekulasi BI telah mengeluarkan kebijakan transaksi di dalam negeri harus menggunakan rupiah, karena sebelumnya beberapa industri tertentu masih ada yang melakukan pembayaran dengan dolar AS.

Mirza mengatakan BI harus mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan dan membatasi penggunaan mata uang dolar AS dalam bertransaksi sampai kondisi dolar AS stabil kembali.

Mirza memperkirakan bank sentral AS tidak akan berlama-lama menerapkan suku bunga rendah karena juga akan berdampak negatif pada ekonomi AS. Dipekirakan setelah Maret 2016 akan ada perbaikan, sehingga akan berpengaruh positif terhadap nilai tukar di berbagai negara termasuk Indonesia. 
    

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2015