Jakarta (Antara News) - Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL) dipercaya untuk pembangunan gedung-gedung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan  (BPKP) di daerah-daerah rawan gempa seperti di Padang Sumatra Barat, Mamuju Sulawesi Barat, dan Gorontalo.

"Secara teknis struktur KSLL sudah teruji saat terjadi gempa besar di Aceh dan Padang, bangunan yang menggunakan konstruksi ini tidak mengalami kerusakan dibandingkan dengan bangunan lainnya," kata Tenaga Ahli Struktur PT Pandu Persada Dede Herdi Hamdan saat dihubungi, Selasa.

Dede mengatakan, KSLL dirancang untuk menahan beban sampai dengan 900 ton atau setara dengan bangunan 8 lantai, sedangkan bangunan BPKP di tiga lokasi tersebut dibangun hanya untuk tiga atau empat lantai saja atau setara dengan beban di bawah 100 ton.

Dede mengatakan, secara teknis dengan beban empat lantai tersebut, maka bangunan BPKP akan mampu memikul guncangan gempa yang mungkin terjadi di tiga lokasi tersebut, kunci kekuatannya terletak kepada beban pada masing-masing kolom yang memang dirancang untuk bangunan berlantai rendah.

Terkait biaya konstruksi, Dede mengatakan, KSLL masih jauh lebih murah 10 - 30 persen dibandingkan dengan konstruksi bawah lainnya, sedangkan untuk konstruksi atas rata-rata biayanya hampir sama untuk bangunan bertingkat di daerah rawan gempa.

Biaya konstruksi bisa jauh lebih murah dikarenakan konstruksi hasil karya anak bangsa itu merupakan padat tenaga kerja, kalapun ada mesin itupun dozer untuk menggali tanah yang sebenarnya dapat digantikan dengan cangkul. Oleh sebab itu juga konstruksi ini juga dikenal ramah lingkungan, papar Dede menjelaskan alasan menggunakan KSLL.

Dede mengatakan, sepanjang KSLL tersebut untuk bangunan di atas dua lantai, maka secara hitungan ekonomi masih layak, mengingat gedung BPKP merupakan bangunan berlantai empat maka hitung-hitungannya sangat murah.

Dimungkinkan untuk muncul biaya-biaya konstruksi biasanya dikarenakan kondisi tanahnya jelek sehingga perlu dilakukan perbaikan tanah terlebih dahulu, serta membutuhkan dukungan plat. Itu saja tambahan biayanya, kata Dede menjelaskan.

Lebih jauh, Ahli gempa Prof. Sarwidi mengingingatkan agar pemerintah daerah untuk di daerah rawan gempa untuk secara ketat melakukan pengawasan terhadap pembangunan gedung maupun infrastruktur dengan tujuan menghindarkan terjadinya korban.

Dia juga mengatakan, belajar dari gempa di Nepal beberapa waktu lalu, pentingnya bagi pemerintah daerah untuk selalu memperbarui (update) menyesuaikan dengan perkembangan teknologi sebagai antisipasi meminimalkan kerusakan.

"Seiring dengan gempa yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia seringkali menimbukan retakan-retakan baru, inilah yang harus diudate dalam peta gempa di Indonesia," kata Sarwidi.

Dia memperkirakan dua pertiga wilayah di Indonesia berada dalam wilayah gempa dengan kekuatan beragam dibagi-bagi ke dalam enam zona gempa, hal ini karena Indonesia terletak pada titik temu lempeng teknonik besar dunia.

Menurut Sarwidi, gempa Nepal sendiri disebabkan pertemuan lempeng aktif India Selatan dengan Eropa Asia yang kemudian memunculkan gunung Himalaya, energi dari tumbukan kedua lempeng itu yang kemudian mengakibatkan terjadinya gepa di Nepal.

Sedangkan lempeng tektonik yang melalui wilayah Indonesia berbeda dengan di Nepal yakni  lempeng Eurasia untuk wilayah pantai Selatan bagian Barat sampai Tengah Indonesia,  sedangkan untuk wilayah Selatan bagian Timur terdapat Indo Australia, kemudian di bagian Utara terdapat lempeng Pasifik, jelas Sarwidi.

Lempeng-lempeng ini selalu bergerak secara berlawanan sebagai contoh Eurasia merupakan lempeng yang bergerak dari Eropa bertemu dengan lempeng dari Asia. Pertemuan kedua lempeng tersebut seringkali menimbulkan tumbukan sehingga mengakibatkan terjadinya gempa.

Gempa hasil tumbukan lempeng-lempeng teknonik tersebut akan memunculkan zona-zona gempa baru, seperti di Yogykarta, awalnya hanya mengenal sesar Opak, namun setelah gempa Yogya muncul sesar baru seperti sesar Bantul dan Sleman, jelas Sarwidi.

Sarwidi mengatakan, menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah yang masuk ke dalam zona gempa untuk secara berkala melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mengikuti seluruh peraturan mengenai bangunan tahan gempa.

Hal ini semata-mata untuk meminimalisir kerusakan maupun timbulnya korban jiwa apabila di daerah tersebut mengalami gempa, persoalannya masih banyak pemerintah daerah di Indonesia termasuk tertinggal, jelas Sarwidi.

Sarwidi mengatakan, kalau untuk bangunan-bangunan komersial seperti perkantoran, sekolah, hotel, serta rumah realestat sudah dipastikan konstruksinya memenuhi persyaratan sebagai bangunan anti gempa, namun tidak demikian halnya dengan rumah-rumah di desa-desa yang belum tentu memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Sarwidi mengatakan, memang tidak semua pemerintah daerah sanggup melakukan sosialisasi kepada seluruh warganya, karena pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga hanya Pemda yang memiliki dana berlebih yang sanggup untuk sosialisasi konstruksi anti gempa.

Namun sebenarnya hal ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan, tinggal bagi Pemda-Pemda tersebut memiliki kemauan untuk menggandeng kalangan swasta dalam rangka mensosialisasikan pentingnya menggunakan konstruksi anti gempa di daerah-daerah yang memang rawan terjadi gempa, kata Sarwidi.

Sarwidi sendiri saat ini telah mendirikan museum gempa dengan tujuan agar masyarakat dapat lebih memahami apa itu gempa bumi, bagaimana untuk mengantisipasinya kalau terjadi gempat, termasuk juga menampilkan konstruksi anti gempa yang banyak dipergunakan di Indonesia.

Pewarta: Ganet

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2015