Jakarta (Antara News) - Badan Pertanahan Nasional (BPN) diminta ikut membantu melindungi investor dengan tetap menghargai hak tanggungan di dalam bank, kata Direktur Utama Lembaga Studi Hukum Jakarta  (LSHJ), Dr. Laksanto Utomo.


Ditemui usai peresmian Lembaga Studi Hukum Jakarta di Jakarta, Rabu, Laksanto mengatakan, Indonesia masih menjadi negara yang diminati kalangan investor, utamanya asal Jepang.

Namun, tambahya, tidak sedikit para investor yang sudah mapan di Indonesia bersiap-siap tutup atau hengkang lantaran belum adanya kepastian hukum, khususnya mengenai penguasaan hak tanah yang kerap berubah-ubah.

"Saya minta BPN ikut membantu melindungi investor dan tetap menghargai hak tanggungan di dalam bank," katanya.

Menurut dia, hak Jaminan seluruh harta benda orang yang berutang merupakan jaminan atas pelunasan utang orang tersebut.

Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang antara lain menyebutkan, "Segala Kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan dan Kebendaan menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya".

Namun faktanya,  BPN masih sering membatalkan jaminan di dalam bank itu lewat pengeluaran keputusan seolah tanah yang dimiliki investor itu diterlantarkan, akibatnya, bukan hanya debitur yang kesulitan membayar, tetapi juga bank akan mengalami kerugian karena tidak terjadi kelancaran dalam pembayarannya.

Kebijakan itu, kata Laksanto, bersifat kontraproduktif, sehingga ia  meminta  agar BPN tidak membuat tindakan merugikan para investor, khususnya investor yang bergerak di sektor perkebunan karena banyak aset pertanahan yang statusnya sebagai Hak Guna Usaha (HGU), tiba-tiba dicabut dan dinyatakan sebagai tanah terlantar yang harus dikuasai oleh negara.

"Tanah itu statusnya dimiliki para pengusaha, sebagai Hak Guna Usaha (HGU) jangka waktunya 25 tahun, tiba-tiba dinyatakan tanah terlantar padahal sertifikatnya sudah diagunkan ke sebuah bank," katanya.

Jika pejabat BPN seperti itu, tambahnya, akan membuat investor lari atau lebih baik menutup usahanya dari pada tidak ada kepastian hukum.

Ia juga mengatakan, daripada tanah tidak dioptimalkan, dan banyak pengusaha dan perbankan yang mengalami kerugian, maka sebaiknya tanah yang sudah ada izin HGU dikembalikan lagi kepada pemiliknya agar dapat difungsikan sebagai mana mestinya.

Saat ini masih banyak pengangguran lantaran peluang kerja belum sepenuhnya terbuka, sementara pemerintah juga tidak mampu memberikan stimulasi peluang kerja.

Satu-satunya yang dapat membantu menggerakan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen adalah para investor asing dan lokal.

Namun syarat utamanya harus juga terpenuhii yakni adanya hukum yang perpihak kepada investor seperti perlindungan HGU dan hak jaminan dimana bank sudah menggelontorkan kreditnya.

Di ketentuan lain, tambah Laksanto yang juga wakil Pengurus Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (PPTHI) Pasal 14 ayat (1) UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, antara lain menyebutkan, bahwa tanah dapat dijadikan sebagai hak tanggungan atau dapat dijaminkan kepada perbankan, sesuai UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Bahkan dalam izin HGU itu yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan sendiri, dalam sertifikatnya dilekatkan kalimat "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa,".

Oleh karena itu, katanya,  mestinya Sertifikat itu mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta sepanjang mengenai hak atas tanah.

Namun faktanya, katanya, di lapangan banyak inkonsistensi peraturan khususnya dari BPN itu sendiri. Hal ini tentunya dapat merugikan Investor yang selama ini sudah melaksanakan usahanya.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2015