Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah mengatakan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan, menjadi salah satu isu prioritas yang dibahas dalam Group of Twenty (G20) EMPOWER Presidensi Indonesia.
Dijelaskannya di masa pandemi dan disrupsi digital membuat perempuan berisiko lebih tinggi terhadap upah rendah dari pekerjaan pada sektor informal dengan bentuk pekerjaan non-standar yang berisiko dan tidak aman.
"Memajukan kesetaraan gender akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, khususnya untuk perkembangan perekonomian G20," kata Menaker Ida Fauziyah dalam acara Group of Twenty (G20) EMPOWER Presidensi Indonesia yang dilaksanakan secara daring
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Lenny N. Rosalin mengungkap fakta, kekerasan juga meningkat berkali lipat pada masa pandemi. Lenny mengutip data global yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan telah bertambah sebanyak 31 juta kasus pada enam bulan pertama pandemi dan semakin bertambah sampai pada angka 15 juta kasus per tiap 3 bulan selanjutnya.
“Ini menjadi tantangan bersama mengingat partisipasi angkatan kerja perempuan berada pada angka yang rendah, bahkan sebelum pandemi. Data global menunjukkan bahwa TPAK perempuan berada pada angka rata-rata 47 persen jauh di bawah laki-laki yang berada pada angka 72 persen,” ujarnya.
Lebih lanjut, Lenny menambahkan bahwa kekerasan terjadi secara massif di tempat kerja selama pandemi baik kepada perempuan yang bekerja offline maupun online. Pelaku kekerasan bisa berasal dari konsumen dan pengguna jasa yang merasa tidak nyaman akibat layanan yang terganggu akibat pandemi, juga marak dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.
“Diskusi pada pertemuan kali ini harus menemukan solusi praktis dan implementatif untuk bagaimana kita membangun situasi dan kondisi kerja yang mendukung perempuan. Hal ini penting agar isu ini bisa masuk pada dokumen keluaran G20 Summit, dapat diadopsi oleh seluruh negara peserta dan yang paling penting, dapat diaplikasikan di perusahaan dan industri," katanya.
Co- Chair G20 EMPOWER yakni Rinawati Prihatiningsih menjelaskan, keseluruhan sesi diskusi kali ini bertujuan untuk membahas mengenai upaya pemerintah menavigasi tantangan dan peluang dalam meningkatkan kebijakan dan regulasi secara keseluruhan.
"Diskusi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana negara-negara anggota G20 EMPOWER dapat mendukung dan terlibat langsung secara kolaboratif, baik antara swasta dan pemerintah untuk mendukung pemberdayaan gender di lingkungan kerja, khususnya di tengah-tengah pekerja perempuan," jelasnya.
Sementara, Chair G20 EMPOWER, Yessie D. Yosetya dalam mengatakan, diskusi panel ini tidak hanya membuka tantangan tetapi juga memperlihatkan beragam cara untuk memastikan perempuan dapat terus berpartisipasi aktif di tempat kerja, baik dari sektor swasta maupun sektor publik.
"Kita bisa melihat bersama bahwa tindakan proaktif dari sektor swasta dan sektor publik sangat penting dalam memastikan perempuan dapat memiliki tempat kerja yang aman di masa pandemi pasca COVID-19," kata Yessie.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022
Dijelaskannya di masa pandemi dan disrupsi digital membuat perempuan berisiko lebih tinggi terhadap upah rendah dari pekerjaan pada sektor informal dengan bentuk pekerjaan non-standar yang berisiko dan tidak aman.
"Memajukan kesetaraan gender akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, khususnya untuk perkembangan perekonomian G20," kata Menaker Ida Fauziyah dalam acara Group of Twenty (G20) EMPOWER Presidensi Indonesia yang dilaksanakan secara daring
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Lenny N. Rosalin mengungkap fakta, kekerasan juga meningkat berkali lipat pada masa pandemi. Lenny mengutip data global yang menunjukkan bahwa kasus kekerasan telah bertambah sebanyak 31 juta kasus pada enam bulan pertama pandemi dan semakin bertambah sampai pada angka 15 juta kasus per tiap 3 bulan selanjutnya.
“Ini menjadi tantangan bersama mengingat partisipasi angkatan kerja perempuan berada pada angka yang rendah, bahkan sebelum pandemi. Data global menunjukkan bahwa TPAK perempuan berada pada angka rata-rata 47 persen jauh di bawah laki-laki yang berada pada angka 72 persen,” ujarnya.
Lebih lanjut, Lenny menambahkan bahwa kekerasan terjadi secara massif di tempat kerja selama pandemi baik kepada perempuan yang bekerja offline maupun online. Pelaku kekerasan bisa berasal dari konsumen dan pengguna jasa yang merasa tidak nyaman akibat layanan yang terganggu akibat pandemi, juga marak dilakukan oleh atasan dan rekan kerja.
“Diskusi pada pertemuan kali ini harus menemukan solusi praktis dan implementatif untuk bagaimana kita membangun situasi dan kondisi kerja yang mendukung perempuan. Hal ini penting agar isu ini bisa masuk pada dokumen keluaran G20 Summit, dapat diadopsi oleh seluruh negara peserta dan yang paling penting, dapat diaplikasikan di perusahaan dan industri," katanya.
Co- Chair G20 EMPOWER yakni Rinawati Prihatiningsih menjelaskan, keseluruhan sesi diskusi kali ini bertujuan untuk membahas mengenai upaya pemerintah menavigasi tantangan dan peluang dalam meningkatkan kebijakan dan regulasi secara keseluruhan.
"Diskusi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana negara-negara anggota G20 EMPOWER dapat mendukung dan terlibat langsung secara kolaboratif, baik antara swasta dan pemerintah untuk mendukung pemberdayaan gender di lingkungan kerja, khususnya di tengah-tengah pekerja perempuan," jelasnya.
Sementara, Chair G20 EMPOWER, Yessie D. Yosetya dalam mengatakan, diskusi panel ini tidak hanya membuka tantangan tetapi juga memperlihatkan beragam cara untuk memastikan perempuan dapat terus berpartisipasi aktif di tempat kerja, baik dari sektor swasta maupun sektor publik.
"Kita bisa melihat bersama bahwa tindakan proaktif dari sektor swasta dan sektor publik sangat penting dalam memastikan perempuan dapat memiliki tempat kerja yang aman di masa pandemi pasca COVID-19," kata Yessie.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022