Perempuan Caleg, "Why not"? Kalimat itulah yang teruntai dari Sulaiman, seorang mahasiswa semester empat jurusan filsafat di salah satu kampus yang terletak di Kota Depok, Jawa Barat.

Ketika ditanya mengenai kualitas perempuan caleg yang berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif 2014, Sulaiman sedikit mengerutkan mata sembari berpikir.

"Memang jika melihat keadaan, masih ada beberapa perempuan caleg yang sepertinya asal comot. Entah mengapa beberapa partai sepertinya mengutamakan kepopuleran calon ketimbang profesi atau latar belakang organisasi dan pendidikan," kata Sulaiman saat berbincang bersama Antara di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan pada Kamis (20/3).

Dalam Pemilu 2014, Komisi Pemilihan Umum memang memberlakukan kewajiban kuota keterwakilan perempuan caleg dari masing-masing partai sebesar 30 persen.

Hal itu ditujukan untuk memberikan hak bagi kaum perempuan agar mereka turut andil berperan dalam dunia politik serta menjadi pengambil kebijakan di Indonesia.

Kendati demikian, belum tentu jumlah tersebut dapat terpenuhi seluruhnya untuk bisa mewakili suara kaum perempuan di tingkat legislatif.

Menurut Sulaiman, upaya tersebut belum cukup mampu untuk membela kepentingan wanita di dalam setiap kebijakan yang dihasilkan DPR RI atau lembaga legislatif lain.

"Oleh karena itu dengan adanya jumlah yang terbatas, masyarakat diharap dapat memilih perempuan caleg yang kompeten untuk menjadi perwakilannya baik di DPR, DPRD, atau pun DPD RI agar keputusan yang dihasilkan nantinya juga berkualitas," kata Sulaiman.

Sementara itu seorang pedagang minuman keliling, Surato, mengaku pada Pemilu 2009 dia tidak mencoblos perempuan yang mencalonkan diri menjadi calon legislatif.

Surato mengaku hal itu tidak dilakukannya karena belum mempercayai kinerja perempuan untuk dapat memimpin negeri ini.

"Jika saya sendiri belum pernah mencoblos caleg perempuan. Tapi ya mungkin jika Pemilu sekarang ada kemungkinan memilih yang perempuan," kata Surato yang biasa berdagang di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.

Namun, perlu diketahui bahwa ternyata keinginan dia untuk memilih perempuan caleg bukan karena melihat latar belakang pendidikan atau organisasi calon yang sudah kompeten, melainkan karena unsur fisik pada wanita.

"Jika bingung ingin memilih siapa, ya sudah saya pilih saja yang cantik atau mungkin artis yang saya kenal," kata Surato yang mengaku hanya lulus dari sekolah dasar negeri di Pulau Madura.

Fenomena itulah yang dikhawatirkan oleh Wakil Ketua Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Wanita, Masruchah. 

Dia mengatakan masyarakat harus mengenal caleg baik pria ataupun wanita dari masing-masing partai agar benar-benar menjatuhkan pilihan kepada mereka yang berkompeten di bidangnya.

"Memang yang penting didorong adalah bagaimana masyarakat dapat memilih caleg yang memiliki kualitas baik, berintegritas tinggi, serta bisa melakukan pekerjaan perwakilan rakyat dan memperjuangkan segala persoalan, termasuk isu yang dihadapi kaum perempuan," kata Masruchah.

Selain itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan itu mengatakan masyarakat perlu mengetahui latar belakang para perempuan caleg yang terbaik di antara yang lainnya.

Mengenai adanya sejumlah perempuan caleg yang bekerja sebagai artis, model, serta dari kalangan masyarakat biasa, Masruchah mengatakan bahwa itu sudah menjadi kebijakan masing-masing partai dalam rekrutmen calon anggota perwakilan.

Dia mengatakan hulu segala kebijakan menyangkut pemilihan calon legislatif adalah partai, bukan dari pribadi calon itu sendiri.

"Partailah yang berperan memiliki pola rekrutmen politik. Oleh karena itu harusnya bagaimana parpol ini dapat merekrut calon yang memiliki latar belakang, misalnya tidak bermasalah, bukan pelanggar Hak Asasi Manusia, bukan pelaku kekerasan terhadap perempuan maupun anak serta dapat menghargai perbedaan," kata Masruchah pada Rabu (19/3).

Apa kata perempuan caleg?

Lathifa Marina AL Anshori sebagai salah satu perempuan caleg dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mengakui adanya pandangan miring terhadap kualitas sejumlah wanita caleg.

Lathifa sebagai salah seorang perempuan caleg termuda yang berumur 22 tahun itu menjelaskan bahwa siapa pun yang sudah tercantum dalam daftar calon tetap yang ada di KPU telah melalui tahap uji kelayakan di masing-masing partai.

"Karena itu, para caleg yang ada sekarang bisa dibilang sudah menjadi kebijakan partai atau merupakan cerminan yang sudah partai tunjukkan terkait kualitas kepada masyrakat," kata Lathifa.

Dia juga mengajak kepada seluruh perempuan yang masuk dalam DCT untuk tetap bekerja keras bagi negara apakah nantinya akan terpilih menjadi wakil rakyat atau tidak.

"Sesuai sejarah memang kaum perempuan memasuki dunia politik lebih lambat dari pria. Namun kelebihan perempuan menurut sejumlah penelitian adalah memiliki ketelitian dan kecerdasan yang lebih baik. Jangan mengartikan kaum perempuan sebagai makhluk yang perlu dikasihani, karena yang perlu diperjuangkan itu yang harus kita kasihani," ujar Lathifa.

Sementara itu, Dewi Nur Fitri Patty yang merupakan perempuan caleg dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) mengatakan masih banyak ketidakadilan yang terjadi di Indonesia dalam persoalan gender.

Dia mengatakan jika memang masyarakat belum bisa mempercayai dirinya sebagai wakil rakyat, Dewi akan tetap membangun Indonesia, khususnya bagi para perempuan agar tidak terbelakang.

"Paling tidak secara aktualisasi, perempuan bisa sejajar dengan pria di parlemen untuk memberikan kontribusi agar keadaan bangsa lebih baik. Tidak hanya kaum lelaki yang memimpin tetapi perempuan juga bisa memimpin untuk mengambil keputusan terkait kebijakan menyangkut wanita dan anak," kata Dewi.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2014