Polda Banten melakukan penangguhan penahanan terhadap para buruh yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus unjuk rasa buruh masuk ruang kerja Gubernur Banten Wahidin Halim dan kemudian dilaporkan ke Polda Banten.
Kabid Humas Polda Banten AKBP Shinto Silitonga, di Serang, Selasa, mengatakan penangguhan penahanan memang menjadi hak tersangka yang diatur dalam hukum acara pidana, yang dapat dimohonkan oleh tersangka atau keluarganya.
Baca juga: Kemendag gandeng Untirta untuk program perlindungan konsumen di Banten
"Penangguhan penahanan diperbolehkan sepanjang persyaratan sesuai hukum acara pidana tersebut dipenuhi dan menurut penilaian penyidik dapat dikabulkan dengan pertimbangan penangguhan penahanan tidak akan mempersulit proses penyidikan," kata Shinto.
Oleh karena itu, kata dia, Polda Banten mengakomodir permohonan penangguhan penahanan tersangka dengan alasan kemanusiaan. Pertimbangannya bahwa para tersangka adalah tulang punggung keluarga dengan pekerjaan sebagai buruh, dan dengan penangguhan tersebut maka para tersangka menjadi produktif kembali dan tetap dapat bekerja sehingga tidak meninggalkan pekerjaannya yang nantinya akan berakibat pada PHK
"Selain itu, istri salah satu tersangka baru saja melahirkan putra kembar yang saat ini baru berusia 2 bulan, sehingga membutuhkan perhatian besar dari tersangka," katanya pula.
Menurut Shinto, alasan penangguhan adalah identitas tersangka jelas, domisilinya jelas serta ada penjaminan tidak hanya dari keluarga namun juga dari ketua serikat pekerja masing-masing. Namun demikian, penangguhan penahanan ini tidak menghentikan perkara, sehingga proses penanganan perkara tetap berjalan di penyidik Ditreskrimum Polda Banten
"Polda Banten mengapresiasi permintaan maaf secara terbuka dari para tersangka kepada Gubernur Banten," kata Shinto.
Sebelumnya, Polda Banten telah menerima pengaduan Gubernur Banten melalui kuasa hukumnya Asep Abdullah Busro pada Jumat (24/12).
Pelaporan dilakukan terhadap beberapa aksi oknum buruh yang menerobos masuk ke dalam ruang kerja Gubernur Banten pada aksi demo menuntut revisi Upah Minimum Provinsi, Rabu (22/12) lalu, dengan persangkaan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang perusakan terhadap barang secara bersama-sama, dan Pasal 207 KUHP tentang dengan sengaja di muka umum menghina suatu kekuasaan yang ada di Indonesia.
"Pasca penerimaan laporan polisi, Ditreskrimum Polda Banten bertindak cepat dengan mengidentifikasi pelaku berdasarkan dokumentasi yang disampaikan pelapor, data pelaku diidentifikasi dengan menggunakan alat face recognizer Unit Inafis Ditreskrimum Polda Banten,” kata Shinto Silitonga.
Shinto Silitonga mengatakan, kurang 24 jam pasca pelaporan Ditreskrimum Polda Banten berhasil mengamankan para pelaku, yaitu AP (46), laki-laki, warga Tigaraksa, Tangerang, SH (33), laki-laki, warga Citangkil, Cilegon, SR (22), perempuan, warga Cikupa, Tangerang, SWP (20), perempuan, warga Kresek, Tangerang, OS (28), laki-laki, warga Cisoka, Tangerang, dan MHF (25), laki-laki, warga Cikedal, Pandeglang.
Dirreskrimum Polda Banten Kombes Pol Ade Rahmat Idnal menyampaikan dari hasil pemeriksaan atau proses penyelidikan terhadap 6 tersangka tersebut, selanjutnya keenam terperiksa tersebut dinaikkan statusnya menjadi tersangka,
"Dari hasil penyidikan empat tersangka yaitu AP (46), SH (33), SR (22), SWP (20) dikenakan Pasal 207 KUHP tentang secara sengaja di muka umum menghina sesuatu kekuasaan negara dengan duduk di meja kerja Gubernur, mengangkat kaki di atas meja kerja Gubernur, dan tindakan tidak etis lainnya, dengan ancaman pidana 18 bulan penjara, terhadap 4 tersangka tersebut tidak dilakukan penahanan," kata Idnal.
Sedangkan untuk dua tersangka OS (28) dan MHF (25),dikenakan Pasal 170 KUHP tentang perusakan terhadap barang secara bersama-sama,
“Dua tersangka terakhir dikenakan Pasal 170 KUHP yaitu bersama-sama melakukan perusakan terhadap barang yang ada di ruang kerja Gubernur Banten, dengan ancaman pidana 5 tahun 6 bulan penjara,“ kata Ade Rahmat Idnal.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
Kabid Humas Polda Banten AKBP Shinto Silitonga, di Serang, Selasa, mengatakan penangguhan penahanan memang menjadi hak tersangka yang diatur dalam hukum acara pidana, yang dapat dimohonkan oleh tersangka atau keluarganya.
Baca juga: Kemendag gandeng Untirta untuk program perlindungan konsumen di Banten
"Penangguhan penahanan diperbolehkan sepanjang persyaratan sesuai hukum acara pidana tersebut dipenuhi dan menurut penilaian penyidik dapat dikabulkan dengan pertimbangan penangguhan penahanan tidak akan mempersulit proses penyidikan," kata Shinto.
Oleh karena itu, kata dia, Polda Banten mengakomodir permohonan penangguhan penahanan tersangka dengan alasan kemanusiaan. Pertimbangannya bahwa para tersangka adalah tulang punggung keluarga dengan pekerjaan sebagai buruh, dan dengan penangguhan tersebut maka para tersangka menjadi produktif kembali dan tetap dapat bekerja sehingga tidak meninggalkan pekerjaannya yang nantinya akan berakibat pada PHK
"Selain itu, istri salah satu tersangka baru saja melahirkan putra kembar yang saat ini baru berusia 2 bulan, sehingga membutuhkan perhatian besar dari tersangka," katanya pula.
Menurut Shinto, alasan penangguhan adalah identitas tersangka jelas, domisilinya jelas serta ada penjaminan tidak hanya dari keluarga namun juga dari ketua serikat pekerja masing-masing. Namun demikian, penangguhan penahanan ini tidak menghentikan perkara, sehingga proses penanganan perkara tetap berjalan di penyidik Ditreskrimum Polda Banten
"Polda Banten mengapresiasi permintaan maaf secara terbuka dari para tersangka kepada Gubernur Banten," kata Shinto.
Sebelumnya, Polda Banten telah menerima pengaduan Gubernur Banten melalui kuasa hukumnya Asep Abdullah Busro pada Jumat (24/12).
Pelaporan dilakukan terhadap beberapa aksi oknum buruh yang menerobos masuk ke dalam ruang kerja Gubernur Banten pada aksi demo menuntut revisi Upah Minimum Provinsi, Rabu (22/12) lalu, dengan persangkaan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang perusakan terhadap barang secara bersama-sama, dan Pasal 207 KUHP tentang dengan sengaja di muka umum menghina suatu kekuasaan yang ada di Indonesia.
"Pasca penerimaan laporan polisi, Ditreskrimum Polda Banten bertindak cepat dengan mengidentifikasi pelaku berdasarkan dokumentasi yang disampaikan pelapor, data pelaku diidentifikasi dengan menggunakan alat face recognizer Unit Inafis Ditreskrimum Polda Banten,” kata Shinto Silitonga.
Shinto Silitonga mengatakan, kurang 24 jam pasca pelaporan Ditreskrimum Polda Banten berhasil mengamankan para pelaku, yaitu AP (46), laki-laki, warga Tigaraksa, Tangerang, SH (33), laki-laki, warga Citangkil, Cilegon, SR (22), perempuan, warga Cikupa, Tangerang, SWP (20), perempuan, warga Kresek, Tangerang, OS (28), laki-laki, warga Cisoka, Tangerang, dan MHF (25), laki-laki, warga Cikedal, Pandeglang.
Dirreskrimum Polda Banten Kombes Pol Ade Rahmat Idnal menyampaikan dari hasil pemeriksaan atau proses penyelidikan terhadap 6 tersangka tersebut, selanjutnya keenam terperiksa tersebut dinaikkan statusnya menjadi tersangka,
"Dari hasil penyidikan empat tersangka yaitu AP (46), SH (33), SR (22), SWP (20) dikenakan Pasal 207 KUHP tentang secara sengaja di muka umum menghina sesuatu kekuasaan negara dengan duduk di meja kerja Gubernur, mengangkat kaki di atas meja kerja Gubernur, dan tindakan tidak etis lainnya, dengan ancaman pidana 18 bulan penjara, terhadap 4 tersangka tersebut tidak dilakukan penahanan," kata Idnal.
Sedangkan untuk dua tersangka OS (28) dan MHF (25),dikenakan Pasal 170 KUHP tentang perusakan terhadap barang secara bersama-sama,
“Dua tersangka terakhir dikenakan Pasal 170 KUHP yaitu bersama-sama melakukan perusakan terhadap barang yang ada di ruang kerja Gubernur Banten, dengan ancaman pidana 5 tahun 6 bulan penjara,“ kata Ade Rahmat Idnal.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021