Jakarta (Antara News) - Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gappmi) Franky Sibarani meminta kepada pemerintah untuk tidak memberlakukan kebijakan bea masuk anti dumping produk polietilena tereftalat karena sangat memberatkan industri makanan dan minuman.

"Kalau diberlakukan dapat mengancam investasi industri makanan dan minuman olahan pengguna kemasan polietilena tereftalat, serta konsumen akan dirugikan," kata Franky di Jakarta, Senin.

BMAD  polietilena tereftalat (PET) akan membuat perusahaan-perusahaan makanan minuman skala besar beralih  menjadi trader (pedagang) botol plastik.

"Perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan) bisa saja memproduksi botol di luar negeri kemudian mengimpor untuk keperluan produksi di Indonesia," tegas Franky.

Secara terpisah, Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku belum mengetahui rencana penerapan BMAD PET, seperti yang direkomendasikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

"Saya belum melihat soal ini, belum sampai ke saya,” kata Chatib.

Seperti diketahui, tahun ini, Gapmmi memproyeksikan investasi industri makanan minuman mencapai Rp40 triliun, tumbuh 10 persen dari 2013 sebesar Rp36 triliun. Target itu terancam gagal, jika BMAD PET impor diterapkan, ungkap Franky.

Franky belum dapat menyebutkan besaran potensi penurunan investasi industri makanan dan minuman. Yang pasti, penerapan BMAD PET akan membuat iklim investasi sektor makanan minuman menjadi  tidak kondusif.

Dia menuturkan, BMAD PET akan membuat tekanan terhadap industri makanan minuman kian berat. Sebab di sisi lain, industri harus menghadapi kenaikan tarif listrik mulai Mei mendatang. Besarannya berkisar 38-64 persen.

"Ini diperparah dengan masih terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Depresiasi rupiah membuat biaya pembelian bahan baku membengkak, karena sebagian masih diimpor menggunakan dolar AS," ujar Franky.

Franky memprediksi dengan BMAD PET, harga makanan minuman olahan bakal melonjak 10-15 persen. Sedangkan tanpa BMAD PET, kenaikan harga berkisar 5-10 persen.

"Jadi, BMAD PET membuat kenaikan harga tak terkendali. Konsumen dirugikan. Harus diingat, industri makanan minuman menyumbang 10 persen GDP Indonesia. Kenaikan harga produk makanan minuman akan membebani masyarakat Indonesia dan memicu inflasi," kata dia.

Sejalan dengan itu, omzet industri makanan minuman berpotensi turun, ujar dia lagi.

Namun, Franky enggan menyebutkan besarannya. Sebelumnya, Gapmmi mematok omzet industri mamin domestik tahun ini mencapai Rp790 triliun.

Franky meminta pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selaku pembina industri, memperhatikan aspirasi industri makanan minuman. Pemerintah jangan hanya mendengarkan aspirasi industri hulu, dalam hal ini produsen PET nasional.

"Industri makanan minuman adalah industri padat karya yang mewakili kepentingan nasional, dengan total tenaga kerja sekitar 3,5 juta orang. Jika ditambah dengan pengecer, jumlahnya bisa mencapai 10 juta orang. Adapun tenaga kerja industri PET hanya beberapa ribu orang saja," kata dia.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Hendro Baroeno mengatakan, penyelidikan anti dumping tidak layak dilanjutkan sesuai aturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Selain tidak terpenuhinya 2 dari 3 prasyarat pengenaan BMAD, tidak terjadi injury dan tidak adanya hubungan kausalitas.

"Industri makanan dan minuman selama ini sudah menggunakan mayoritas PET produk dalam negeri sekitar 60 persen. Selain itu tentunya Industri pemakasi PET tidak bisa hanya menggunakan 'single suplier'. Setidaknya harus ada 2 suplier, sehingga ada persaingan harga yang sehat, dan bilamana terjadi permasalahan produksi dapat tergantikan oleh suplier yang lain," kata dia.

Dikatakan, kontribusi biaya kemasan terhadap harga produk makanan minuman berkisar 20-80 persen. Permintaan PET di Indonesia pada 2012 sekitar 156 ribu ton dan diperkirakan naik menjadi 177 ribu ton pada 2013. Sementara itu, produksi PET pada 2012 sebesar 417 ribu ton dan 467 ribu ton pada 2013.
   "Setiap tahun ekspor PET nasional mencapai 250 ribu ton, sehingga hanya 167 ribu ton yang dikonsumsi dalam negeri, maka terjadi defisit pasokan," kata Hendro.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2014