Jakarta (Antara News) - Munculnya Rancangan Undang-Undang Advokat antara lain  menekan dan mengakhiri konflik dua lembaga penegak keadilan, yakni  Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Selain itu, para anggota DPR khususnya Komisi III yang memprakarsai lahirnya RUU Advokat menilai UU No 18 Tahun 2003 tak lagi sesuai perkembangan ekonomi dan politik nasional.

Pada tarikh 2005, anggota perkumpulan hukum seperti,  Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) bertemu dan sepakat mendirikan organisasi yang diberi nama Peradi sebagai amanat pelaksanaan UU advokat itu.

Namun setelah empat tahun berjalan, sekelompok pengacara senior kurang puas melihat kinerja organisasi Peradi. Mereka menilai munculnya Peradi bukan dari kemauan asosiasi hukum di Indonesia. Tetapi lebih pada keinginan para pribadi.

Oleh karena itu, para advokat senior seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis dan Indra Sahnun Lubis,  mendirikan lembaga sejenis yang diberi nama Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Sejak adanya dua lembaga itu, konflik berkepanjangan terus terjadi. Bukan hanya konfllik di meja Mahkamah Agung. Konflik itu berlanjut di Mahkamah Konstitusi (MK)  dimana para anggota KAI, melayangkan gugatan kepada Peradi. 

Menurut Adnan Buyung Nasution di Jakarta, belum lama ini, mantan  ketua MA Harifin Tumpa awalnya salah langkah  melakukan intervensi dan pemihakan terhadap salah satu lembaga itu. Dengan adanya pemihakan,  memungkinkan konflik dua lembaga  akan terus berjalan karena di dalam UU Advokat tidak boleh ada intervensi legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Sampai kapan pun konflik advokat akan terus menerus terjadi, karena sudah ada kesalahan langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung. Bahkan,  Tumpa bisa dipersalahkan menjadi penyebab konflik yang selama ini terjadi, kata Buyung kala itu.

Pengacara senior, Yan Apul, kala itu juga menyikapi adanya konflik dua lembaga itu.  Konflik antara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Konggres Advokat Indonesia(KAI) di MA itu mencerminkan bahwa para advokat sebagai sosok tukang ribut dalam kesehariannya. 

Ia memperkirakan, meski sudah ada keputusan dari MK yang intinya memerintahkan para advokat melakukan Munas Advokat maksimal dua tahun sejak 29 Desember 2009, agaknya sulit untuk diwujudkan. Sehingga ia lebih memilih menghidupkan lembaganya, Ikadin  membangun jaringan dan memperkuat organisasinya sendiri untuk berjaga-jaga jika RUU Advokat nanti disahkan menjadi UU yang  akan mengakhiri dominasi Peradi dan KAI sebagai lembaga yang mengeluarkan kartu anggota untuk beracara di pengadilan pada semua tingkatan.

Dalam kaitan itu tentunya pemerintah tak boleh berpangku tangan melihat"kekisruhan" yang berkepanjangan. Untuk itu, prakarsa penyelesaian lewat badan legis latif, seyogianya tak boleh berhenti pada titik rancangan meskipun DPR dan pemerintah mau tutup buku pada paruh April 2014.

   
RUU langkah maju 
 
RUU advookat hingga kini (baca akhir tahun 2013)  belum mendapatkkan persetujuan  DPR dan  pemerintah. Semangat dari adanya RUU  bukan hanya untuk mereduksi konflik Peradi dan KAI. Tetapi juga sebagai warisan berharga legislatif dan eksekutif dibawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu, semua pihak banyak yang sepakat untuk dapat menjadikan RUU itu sebagai UU Advokat meski kritik dari kalangan tertentu bermunculan.

Diantara poin penting RUU Advokat, Pasal 15 Bab V tentang Organisasi Advokat. Pasal itu mengatur tentang kelembagaan dan syarat syahnya sebagai organisasi penegak hukum. Organisasi advokat harus berbadan hukum, memiliki program kerja bidang pelayanan jasa hukum secara cuma-cuma.

Selain itu, syarat lembaga advokat harus mempunyai kepengurusan 100 persen dari jumlah provinsi dan paling sedikit 30 persen dari jumlah kabupaten-kota pada setiap provinsi yang bersangkutan. Lembaga itu juga harus lolos seleksi yang dilakukan oleh kementerian terkait setiap empat tahun.

Konsekuensi dari pasal tersebut akan mereduksi Peradi dan KAI tak lagi sebagai lembaga "dwitunggal" yang mengeluarkan izin praktik seorang advokat. Namun semua pihak yang mampu mendirikan lembaga advokat dengan kepemilikan kepengurusan 10o persen di provinsi dan minimal 30 persen di tingkat kabupaten, dapat melaksanakan uji kompennsi terhadap calon advokat.

Bahkan Pasal 16 soal pembentukannya  menyebutkan,  Organisasi Advokat didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang Advokat dengan akta notaris, dan  Pengurusnya paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang, yaitu 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 1 (satu) orang bendahara.

Pasal itu memberikan keleluasan kepada semua orang yang berlatar pendidikan sarjana hukum dapat bergabung dan mendirikan lembaga advokat asalkan memenuhi syarat yang ditentukan termasuk lolos dalam verifikasi.

Jika RUU itu dapat disahkan menjadi UU pada pemerintahan baru tahun 2014,  bukan hanya menghentikan konflik internal ditubuh Peradi dan KAI, namun juga sebagai langkah maju dalam berdemokrasi yang harus bersaing secara fair dan terukur oleh suatu sistem.

RUU tersebut agaknyaa tak sepi dari kritik. Kritik itu meskipun pedas,  seyogianya tak lagi menurunkan semangat untuk menjadikan RUU sebagai UU. Dikatakan oleh pengamat hukum Jhonson Pandjaitan, "saya sebagai advokat dan aktivis, kalau ada RUU  dipercepat pembahasannya, biasanya ada bau busuk. Selalu ada kepentingannya. Disinyalir RUU itu proses liberalisasi yang ada 'sponsornya' dibelakangnya," katanya.

Kritik itu tentu belum sepenuhnya benar. Buktinya, hingga kini RUU belum juga menjadi UU meskipun tahun 2013 sudah ditutup. Masyarakat percaya, Pansus RUU Advokat yang diketuai oleh Aziz Syamsudin, dan dibantu para wakilnya seperti Ahmad Yani,  Syarifudin Suding dan Sayed Muhammad,  orang-orang yang punya integritas dalam memperbaiki lembaga hukum di Indonesia, utamanya lembaga advokat.

Sejak awal, lahirnya RUU itu bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera dan aman. Bagaimana mungkin tujuan itu dapat terwujud jika lembaga advokat masih suka "gontok-gontokan" dihadapan publik yang justru mendambakan kestabilan dan keadilan.

Untuk itu, meski jalan masih tampak terjal untuk menyelesaikan konflik lembaga advokat, pemerintahan dan para legislator dimasa depan tak boleh surut. Anggap saja menyelesaikan "proyek" besar yang belum tuntas.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2014