Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertabangan (FSP KEP) SPSI Banten mengapresiasi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas putisan dalamnjudicial review UU Cipta Kerja meskipun belum memenuhi harapan dan tuntutan buruh.
Ketua DPD FSP KEP SPSI Banten yang juga amggota Tim Hukum Buruh Menggugat dari KSPSI AGN, Afif Johan, SH di Serang, Jumat mengatakan, meski belum sepenuhnya memenuhi harapan buruh Indonesia karena sebenarnya UU Cipta Kerja bisa dibatalkan secara keseluruhan, namun pihaknya memberikan apresiasi lepada MK yang telah berani menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inskonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitusional.
Baca juga: Cegah tawuran, Polisi beri pembinaan bagi pelajar di Tangerang
"MK telah memberikan gambaran kepada public bahwa yang selama ini disampaikan oleh Serikat Pekerja/serikat buruh, pembuatan UU Cipta Kerja terkesan ugal-ugalan ternyata benar," kata Afif Johan dalam keterangan persnya.
Ia mengatakan, dalam Putusan MK tersebut sangat jelas bahwa proses pembuatan UU Cipta Kerja cacat formil, bahkan terungkap dalam persidangan terdapat 7 perubahan pasal yang substantif.
"Lebih parah lagi ada 1 yang salah dalam mengambil rujukan. Presiden Jokowi perlu turun tangan," katanya.
Dengan adanya Putusan MK Inskonstitusional bersyarat atau 'conditionally unconstitusional' tersebut, kata dia, seharusnya DPR dan pemerintah khususnya karena diketahui publik proses pembuatan UU Cipta Kerja Cacat Formil.
"Apalagi jelas dalam amar putusan MK nomor 7 yang isinya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksanaan yang baru yang berkaitan dengan
UU Cipta Kerja," kata Afif.
Dengan demikian, kata dia, jelas bahwa urusan perburuhan atau ketenagakerjaan adalah hal yang bersifat strategis dan berdampak luas.
"Oleh karenanya sebaiknya pemerintah jangan memberikan kesan ngotot tetap memaksakan pemberlakuan UU Cipta Kerja maupun peraturan pelaksanaan turunannya," kata Afif Johan.
Afif mengatakan, sebaiknya pemerintah memberikan teladan yang baik dalam hal etika hukum atau moralitas hukum dengan menangguhkan pelaksanaan seluruh peraturan turunan dari UU Cipta Kerja khususnya yang sedang ramai dan membuat resah kaum pekerja/buruh yaitu PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.
"Presiden perlu ambil sikap agar jajarannya tidak semakin membuat gaduh khususnya dalam bidang ketenagakerjaan yang justru
menimbulkan konflik dalam bidang ketenagakerjaan," kata dia.
Ia mengatakan, penetapan UMK di seluruh Indonesia tidak perlu mengacu PP 36 Tahun 2021
Dengan adanya Putusan MK terhadap Uji Formil UU Cipta Kerja, kata dia, tidak perlu lagi mengacu kepada PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan maupun edaran dari Menteri Tenaga Kerja No.B-M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian data perekonomian dan ketenagakerjaan dalam penetapan upah minimum Tahun 2022 yang kontroversial tersebut.
"Biarkan para gubernur di masingmasing daerah menetapkan Upah minimum sesuai kebutuhan hidup layak di daerahnya," kata Afif Johan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
Ketua DPD FSP KEP SPSI Banten yang juga amggota Tim Hukum Buruh Menggugat dari KSPSI AGN, Afif Johan, SH di Serang, Jumat mengatakan, meski belum sepenuhnya memenuhi harapan buruh Indonesia karena sebenarnya UU Cipta Kerja bisa dibatalkan secara keseluruhan, namun pihaknya memberikan apresiasi lepada MK yang telah berani menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Inskonstitusional bersyarat atau conditionally unconstitusional.
Baca juga: Cegah tawuran, Polisi beri pembinaan bagi pelajar di Tangerang
"MK telah memberikan gambaran kepada public bahwa yang selama ini disampaikan oleh Serikat Pekerja/serikat buruh, pembuatan UU Cipta Kerja terkesan ugal-ugalan ternyata benar," kata Afif Johan dalam keterangan persnya.
Ia mengatakan, dalam Putusan MK tersebut sangat jelas bahwa proses pembuatan UU Cipta Kerja cacat formil, bahkan terungkap dalam persidangan terdapat 7 perubahan pasal yang substantif.
"Lebih parah lagi ada 1 yang salah dalam mengambil rujukan. Presiden Jokowi perlu turun tangan," katanya.
Dengan adanya Putusan MK Inskonstitusional bersyarat atau 'conditionally unconstitusional' tersebut, kata dia, seharusnya DPR dan pemerintah khususnya karena diketahui publik proses pembuatan UU Cipta Kerja Cacat Formil.
"Apalagi jelas dalam amar putusan MK nomor 7 yang isinya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksanaan yang baru yang berkaitan dengan
UU Cipta Kerja," kata Afif.
Dengan demikian, kata dia, jelas bahwa urusan perburuhan atau ketenagakerjaan adalah hal yang bersifat strategis dan berdampak luas.
"Oleh karenanya sebaiknya pemerintah jangan memberikan kesan ngotot tetap memaksakan pemberlakuan UU Cipta Kerja maupun peraturan pelaksanaan turunannya," kata Afif Johan.
Afif mengatakan, sebaiknya pemerintah memberikan teladan yang baik dalam hal etika hukum atau moralitas hukum dengan menangguhkan pelaksanaan seluruh peraturan turunan dari UU Cipta Kerja khususnya yang sedang ramai dan membuat resah kaum pekerja/buruh yaitu PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.
"Presiden perlu ambil sikap agar jajarannya tidak semakin membuat gaduh khususnya dalam bidang ketenagakerjaan yang justru
menimbulkan konflik dalam bidang ketenagakerjaan," kata dia.
Ia mengatakan, penetapan UMK di seluruh Indonesia tidak perlu mengacu PP 36 Tahun 2021
Dengan adanya Putusan MK terhadap Uji Formil UU Cipta Kerja, kata dia, tidak perlu lagi mengacu kepada PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan maupun edaran dari Menteri Tenaga Kerja No.B-M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian data perekonomian dan ketenagakerjaan dalam penetapan upah minimum Tahun 2022 yang kontroversial tersebut.
"Biarkan para gubernur di masingmasing daerah menetapkan Upah minimum sesuai kebutuhan hidup layak di daerahnya," kata Afif Johan.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021