Harga diri seringkali dianggap sebagai penilaian diri dari orang lain. Padahal, hal mendasar dari harga diri adalah bagaimana cara seseorang memuliakan dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
       
Substansi menjaga harga diri ini melahirkan sifat akseptabilitas, akuntabilitas, kejujuran, tanggung jawab, disiplin waktu, dan kepercayaan yang pada dasarnya berfungsi memainkan peranan sangat penting dan strategis bagi keberhasilan seseorang, termasuk dalam upayanya menerapkan kepemimpinan yang efektif.
       
Menurut Stuart dan Sundeen dalam S. Harter berjudul “The Construction of the Self”, harga diri (“self esteem”) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa jauh perilakunya memenuhi hasil yang ideal bagi yang bersangkutan. 
       
Adapun komponen harga diri menurut Branden, dalam bukunya “How To Raise Your Self Esteem” setidaknya ada tiga bagian kunci, yaitu, pertama, kebutuhan manusia yang sangat vital bagi kelangsungan hidup normal dan perkembangan kehidupannya yang sehat. 
       
Kunci kedua, harga diri muncul secara otomatis dari dalam diri seseorang berdasarkan keyakinan dan kesadarannya, dan ketiga, harga diri muncul seiring dengan perkembangan pikiran, perilaku, perasaan dan tindakan seseorang.
       
Sementara itu dalam perspektif ajaran Islam, orang yang memiliki harga diri adalah orang yang mampu menampilkan kemuliaan dirinya (izzah), menjaga kehormatannya (muru'ah), dan menahan diri (iffah) dari dorongan hawa nafsu, perbuatan maksiat, perilaku yang buruk, dan segala sesuatu yang diharamkan oleh syariat.
       
Hubungan ketiga komponen harga diri tersebut tentunya sangat berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan hidup yang lebih bernilai dan bermakna serta bermanfaat bagi sesama. Makna izzah juga berarti keagungan, kehormatan, dan kekuatan. 
       
Dalam kehidupan sehari-hari sering terdengar seperti diksi “Izzul Islam”. Maknanya, betapa mulianya Islam yang tentunya bisa melahirkan pemimpin berintegritas yang mampu mengantarkan orang-orang yang dipimpinnya pada posisi mulia dan terhormat. 
       
Sementara muru’ah, menurut Syekh Imam Mawardi dalam “Adab al-Dunya wa al-Din” adalah menjaga tingkah laku hingga tetap berada pada keadaan yang paling utama supaya tidak melahirkan keburukan secara sengaja serta tidak berhak mendapat cacian. 
       
Maknanya, menurut Badrusalam Lc dalam kitab “Mausu’ah Fiqh al-Qulub” adalah mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk, menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, dan meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya. 
       
Substansi makna muru’ah lebih diarahkan pada posisi hati untuk selalu mengontrol, mengendalikan, dan membimbing perilaku bertutur kata maupun perilaku bertindak dan berbuat agar tetap proporsional menurut peran dan fungsi masing-masing individu. 
       
Substansi lainnya adalah melindungi, mengayomi, menyayangi dirinya dan orang lain dengan penuh kasih sayang dan cinta damai serta menolak segala bentuk penindasan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan individu atau bahkan satu bangsa atas bangsa lainnya.  
       
Adapun terminologi iffah menurut Ibnu Miskawaih dalam kitabnya “Tahdzibul Akhlak” adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menahan dorongan hawa nafsunya. Iffah merupakan keutamaan yang ada pada diri manusia ketika ia mampu mengendalikan syahwat (fitrah) dengan akal sehatnya. 
       
Fitrah manusia yang diberikan rasa cinta, suka dan rasa senang (syahwat) terhadap hal-hal yang bersifat material (Ali Imran/3: 114) merupakan anugerah Allah untuk disyukuri, dinikmati, dikelola, dan dikembangkan. 
       
Tujuan utamanya tidak hanya untuk kepentingan individu, keluarga dan kolega, melainkan juga untuk kemakmuran, keadilan dan kemaslahatan umat secara menyeluruh (universal) serta untuk keterbebasan dari kelaparan dan ketertindasan.  
       
Melalui sifat iffah inilah lahir akhlak mulia pada diri seseorang seperti sabar, qana’ah, adil, jujur, dermawan, santun, tanggung jawab, rasa senasib dan sifat penolong kepada sesama umat manusia, bahkan meski berlainan suku atau agamanya. 
       
Melalui sifat iffah ini pula seorang pemimpin menjadi mulia (izzah) sebagaimana tercermin dari tindakannya yang menghindari hidup bersenang-senang, tetapi memperhatikan kepentingan umat dan menciptakan ketenteraman dan kemaslahatan bagi sesama. 
       
Ketika seorang pemimpin mampu memfungsikan iffah, berarti akal sehat dan hati nuraninya bekerja dengan baik dan berdampak pada sifat dan sikapnya yang penuh perhitungan dalam bertindak, menciptakan kemudahan, efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam bekerja serta peduli atas kekurangan dan penderitaan orang-orang yang dipimpinnya. 
       
Iffah itu sendiri dalam pengamalannya terbagi dua, yaitu menahan dan menjaga diri dari syahwat kemaluan dan perut dengan cara menahan diri dari meminta-minta kepada manusia (surat al-Baqarah/2: 273) sehingga orang yang tidak tahu menyangka ia orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta kepada orang lain. 
       
Pemimpin yang memiliki harga diri atau martabat diyakini akan mampu menjadi figur atau sosok yang berwibawa. Jika pendekatan dan gaya kepemimpinan seseorang mempengaruhi cara orang lain bertindak dalam menyelesaikan problem bersama, maka dia pantas disebut sebagai pemimpin yang berwibawa.

*Penulis, Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. adalah Wakil Ketua I (Bidang Akademik) Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah al-Quran Abdullah bin Mas’ud (STISQABM) Natar, Lampung Selatan.






 

Pewarta: Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd.*

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021