Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani 2,5 juta konten internet terlarang sejak Agustus 2018 hingga Juli 2021.
"Sejak Agustus 2018 hingga Juli tahun ini Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani 2,5 juta konten internet terlarang," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Mira Tayyiba dalam diskusi daring yang digagas United Nations Development Programme (UNDP), Rabu.
Baca juga: Virtual Police temukan konten ujaran kebencian terbanyak berasal dari Twitter
Mira menjelaskan dari jumlah tersebut, 1,5 juta di antaranya berasal dari situs web. Situs pornografi menempati urutan pertama dengan 1,08 juta konten yang diblokir, diikuti situs judi dengan 387 ribu konten, dan situs penipuan dengan lebih dari 13 ribu konten.
Sebanyak 505 situs web juga telah diturunkan karena mengandung konten terorisme dan radikal yang dilarang oleh negara.
Sementara 1 juta konten terlarang lainnya berasal dari media sosial. Twitter berada di urutan pertama dengan temuan 987 ribu konten terlarang. Sementara Facebook, Instagram, dan WhatsApp secara keseluruhan ditemukan sebanyak 35 ribu konten terlarang.
"Selama periode yang sama, kami juga menolak 8.700 hoaks dari platform digital. Di antara tiga isu utama hoaks adalah kesehatan, terkait pemerintahan dan isu politik," kata Mira.
Mira menilai, statistik itu menunjukkan bahwa para pelaku penyebaran konten terlarang telah mengeksploitasi penggunaan platform digital untuk memperluas pengaruh mereka ke dalam jenis ketakutan baru di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kata dia, para pemangku kepentingan seperti pemerintah, organisasi masyarakat sipil, media, serta akademisi harus bahu membahu melawan narasi kekerasan dan negatif yang beredar di internet.
Mira mengatakan Kominfo secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat sipil, media, dan pers untuk bersama-sama menangkal hoaks dan mengeluarkan klarifikasi dengan sumber terpercaya.
"Kami juga bekerja sama dengan platform digital serta instansi pemerintah dan kementerian lainnya untuk menghapus konten berbahaya di internet," ucap Mira.
Mira juga mengatakan bahwa pemerintah terus menerapkan komunikasi publik yang efektif dan positif sebagai kontra narasi terhadap hoaks yang beredar. Proses tersebut dilakukan secara hati-hati dengan dasar analisis mendalam dan investigasi yang komprehensif.
Kementerian Kominfo juga berupaya meningkatkan keterampilan literasi digital masyarakat, salah satunya melalui program Makin Cakap Digital. Kominfo menargetkan 12,5 juta masyarakat terliterasi digital setiap tahun, untuk mencapai 50 juta masyarakat terliterasi di tahun 2024.
Sementara itu, Koordinator Pengendalian Konten Internet Kementerian Kominfo Anthonius Malau mengatakan bahwa tugas Kominfo bukanlah melakukan penilaian terhadap konten negatif, melainkan memblokir konten tersebut.
"Kami di Kominfo tidak melakukan penilaian terhadap konten-konten Apakah ini terorisme, apakah konten ekstrimisme, apakah ini kekerasan, tidak. Yang kami lakukan adalah pemblokiran, pemutusan akses," ujar Anthonius.
"Lalu siapa yang melakukan analisa? Itu dilakukan kementerian/lembaga terkait. Kalau misalnya terorisme itu berasal dari BNPT, dari Bareskrim, dari Densus 88. Mereka menyampaikan kepada kami untuk melakukan pemblokiran, untuk meminta take down kepada platform media sosial terhadap konten-konten itu," sambung dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
"Sejak Agustus 2018 hingga Juli tahun ini Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani 2,5 juta konten internet terlarang," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Mira Tayyiba dalam diskusi daring yang digagas United Nations Development Programme (UNDP), Rabu.
Baca juga: Virtual Police temukan konten ujaran kebencian terbanyak berasal dari Twitter
Mira menjelaskan dari jumlah tersebut, 1,5 juta di antaranya berasal dari situs web. Situs pornografi menempati urutan pertama dengan 1,08 juta konten yang diblokir, diikuti situs judi dengan 387 ribu konten, dan situs penipuan dengan lebih dari 13 ribu konten.
Sebanyak 505 situs web juga telah diturunkan karena mengandung konten terorisme dan radikal yang dilarang oleh negara.
Sementara 1 juta konten terlarang lainnya berasal dari media sosial. Twitter berada di urutan pertama dengan temuan 987 ribu konten terlarang. Sementara Facebook, Instagram, dan WhatsApp secara keseluruhan ditemukan sebanyak 35 ribu konten terlarang.
"Selama periode yang sama, kami juga menolak 8.700 hoaks dari platform digital. Di antara tiga isu utama hoaks adalah kesehatan, terkait pemerintahan dan isu politik," kata Mira.
Mira menilai, statistik itu menunjukkan bahwa para pelaku penyebaran konten terlarang telah mengeksploitasi penggunaan platform digital untuk memperluas pengaruh mereka ke dalam jenis ketakutan baru di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kata dia, para pemangku kepentingan seperti pemerintah, organisasi masyarakat sipil, media, serta akademisi harus bahu membahu melawan narasi kekerasan dan negatif yang beredar di internet.
Mira mengatakan Kominfo secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat sipil, media, dan pers untuk bersama-sama menangkal hoaks dan mengeluarkan klarifikasi dengan sumber terpercaya.
"Kami juga bekerja sama dengan platform digital serta instansi pemerintah dan kementerian lainnya untuk menghapus konten berbahaya di internet," ucap Mira.
Mira juga mengatakan bahwa pemerintah terus menerapkan komunikasi publik yang efektif dan positif sebagai kontra narasi terhadap hoaks yang beredar. Proses tersebut dilakukan secara hati-hati dengan dasar analisis mendalam dan investigasi yang komprehensif.
Kementerian Kominfo juga berupaya meningkatkan keterampilan literasi digital masyarakat, salah satunya melalui program Makin Cakap Digital. Kominfo menargetkan 12,5 juta masyarakat terliterasi digital setiap tahun, untuk mencapai 50 juta masyarakat terliterasi di tahun 2024.
Sementara itu, Koordinator Pengendalian Konten Internet Kementerian Kominfo Anthonius Malau mengatakan bahwa tugas Kominfo bukanlah melakukan penilaian terhadap konten negatif, melainkan memblokir konten tersebut.
"Kami di Kominfo tidak melakukan penilaian terhadap konten-konten Apakah ini terorisme, apakah konten ekstrimisme, apakah ini kekerasan, tidak. Yang kami lakukan adalah pemblokiran, pemutusan akses," ujar Anthonius.
"Lalu siapa yang melakukan analisa? Itu dilakukan kementerian/lembaga terkait. Kalau misalnya terorisme itu berasal dari BNPT, dari Bareskrim, dari Densus 88. Mereka menyampaikan kepada kami untuk melakukan pemblokiran, untuk meminta take down kepada platform media sosial terhadap konten-konten itu," sambung dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021