Pengamat pendidikan Ina Liem meminta agar kasus-kasus intoleransi (tidak tenggang rasa) di dalam dunia pendidikan harus segara dihapuskan.

"Sekolah dan fasilitas pendidikan semestinya bisa menjadi tempat belajar menghargai perbedaan," kata Ina dalam keterangannya, Jumat, menanggapi kasus maladministrasi penyusunan tata tertib yang mewajibkan siswi non-muslim memakai jilbab di SMKN 2 Padang Sumatera Barat. 

Kasus ini, jelas Ina, menunjukkan masih banyak pihak yang memasukkan unsur politik dalam pendidikan. 

"Intoleransi dan politisasi akan membuat dunia pendidikan sulit maju. Padahal, inovasi terbaik lahir dari kolaborasi yang radikal. Sebaliknya, keseragaman yang dipaksakan membuat siswa tidak inovatif," tuturnya.

Menurut Ina, keberagaman akan menghasilkan inovasi yang unik dimana perbedaan adalah akarnya. 

“Kalau kita bisa melihat perbedaan dan bergaul dengan orang dari berbagai ras suku gender agama yang berbeda, kita bisa empati terhadap masalah kelompok yang beda dan memberikan solusi," kata dia.

Saat ini, pemerintah pusat menghadapi tantangan dalam mengatur satuan pendidikan di daerah. Berbagai terobosan yang telah dilakukan Kemendikbudristek melalui Merdeka Belajar dan Visi Profil Pelajar Pancasila yang salah satunya terkait kebhinekaan global semestinya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah daerah (Pemda). Ironisnya, sejumlah Pemda justru masih memiliki visi dan misi berbeda dengan pemerintah pusat. 

Ia pun menyayangkan pembatalan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang aturan berseragam di sekolah negeri oleh Makhamah Agung. Padahal, langkah tersebut ditempuh sebagai satu upaya menghentikan intoleransi di dunia pendidikan. 

"Perbedaan visi misi pusat dan daerah lebih kepada masalah politik. Padahal, kalau politisasi masuk ranah pendidikan kasihan anak-anaknya," tegas Ina. 

Ina mengungkapkan arah Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka adalah melahirkan inovasi agar mampu bersaing secara global. Namun, pencapaian tujuan ini akan terhambat manakala tidak ada dukungan Pemda. Padahal, pendidikan Indonesia yang salah satunya diukur melalui nilai PISA sebagai salah satu indikator masih terpuruk dalam 18 tahun terakhir.  

Seperti diberitakan, Ombudsman perwakilan Sumatera Barat menemukan adanya masalah maladministrasi pada penyusunan tata tertib sekolah di SMKN 2 Padang.

Kepala Ombudsman Sumatera Barat, Yefri Heriani menyatakan terdapat ketidakcermatan Kepala SMKN 2 Padang dalam menyusun tata tertib sekolah sehingga tidak memerhatikan ketentuan dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45/ 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan itu menyebutkan pakaian seragam khas muslimah adalah yang dikenakan peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah. 

"Namun, pihak sekolah tidak memerhatikan aturan tersebut, sehingga berakibat munculnya norma wajib di lingkungan sekolah yang menjadi kebiasaan dalam pemakaian jilbab kepada siswi yang tidak beragama Islam," kata Yefri. 

Keputusan Ombudsman inipun sejalan dengan beberapa poin pertimbangan putusan MA soal SKB 3 Menteri terkait seragam. 

Di sana disebut Pemerintah Daerah dan Sekolah dilarang turut campur terlalu jauh memaksakan penggunaan seragam dan atribut sekolah yang tidak sesuai keyakinan atau agama peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. 

Pemerintah Daerah dan Sekolah juga tidak boleh melarang peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang ingin menggunakan seragam dan atribut tertentu sesuai keyakinan atau agama yang dianutnya sepanjang masih sesuai norma hukum, kesusilaan dan kesopanan di wilayah setempat.
 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021