Jakarta (ANTARA News) - Penasihat hukum Maqdir Ismail menganggap kliennya, mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono, menjadi target Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Maqdir selaku koordinator tim pengacara Eddie, Senin, mengatakan, kegagalan penuntut umum membuktikan dakwaannya memperkuat sinyalemen bahwa kasus ini memang terkesan dipaksakan.

Persidangan Tipikor Eddie digelar sejak 15 Agustus 2011, menghadirkan puluhan saksi dan beberapa ahli dari pihak penuntut umum, namun belum ada yang mampu membuktikan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan penuntut umum.

Eddie dalam dakwaan diduga melakukan korupsi proyek outsourcing Roll Out Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI).

Dalam keterangan kepada wartawan, Maqdir Ismail mengatakan, kasus ini menjadi pelajaran yang teramat mahal, karena KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa dasar yang jelas.

Dia menegaskan, kliennya tidak bersalah karena tidak terlibat dalam proses penunjukan langsung PT Netway Utama sebagai rekanan Proyek CIS-RISI.

Maqdir membantah kliennya menyetujui proposal rencana kerja sama Roll Out CIS-RISI yang disodorkan Abdul Gani selaku Direktur PT Netway Utama, dalam rapat pertengahan September 2000 di ruang rapat Direktur Pemasaran PT PLN.

Dalam rapat itu, tidak ada komitmen apapun dari PLN atas proposal PT Netway Utama.

"Tidak ada satupun saksi yang melihat, mendengarkan, atau mengalami sendiri bahwa Pak Eddie melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum," kata Maqdir menegaskan.

Sebagaimana diketahui, Eddie Widiono didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Menanggapi uraian dakwaan penuntut umum, Maqdir juga menyangkal bahwa surat No 3163/070/Sekper/2001 tertanggal 23 November 2001 adalah bentuk persetujuan Eddie Widiono atas penunjukan langsung PT Netway Utama.

Menurut Maqdir, surat itu hanya berisi informasi perkembangan terakhir persetujuan Dewan Komisaris. Bahkan, butir dua dari surat itu sekadar menyalin notulensi rapat Dewan Komisaris.

"Penuntut umum menginsinuasi seolah-olah surat No 3163/070/Sekper/2001 memberitahukan bahwa Dewan Komisaris telah menerima dan mendukung rencana Roll Out. Padahal surat tersebut menyatakan masih ada hal-hal yang perlu diselesaikan dan dilaporkan kembali ke Direksi," jelas Maqdir.

Sangkalan yang sama juga dilontarkan Maqdir terkait tuduhan kliennya menerima uang sebesar Rp2 miliar. Tuduhan penuntut umum merujuk pada data Business Plan 2005-2007 PT Netway Utama yang mencatat adanya pemberian uang kepada PLN sebesar Rp2 miliar, Margo Santoso Rp1 miliar, dan sederet inisial pejabat PLN lainnya.

Maqdir menegaskan kliennya sama sekali tidak menerima uang dari PT Netway Utama. "Tidak ada saksi yang mendukung tuduhan jaksa," tukasnya.

Di luar itu, Maqdir mempersoalkan keterangan ahli yang dihadirkan penuntut umum.

Ia menilai, ahli dari penuntut umum itu tidak membuat terang kasus dugaan korupsi proyek Roll Out CIS-SIRI.

Masalahnya, ahli ternyata tidak mengetahui materi perkara di persidangan, dan hanya merujuk ke peraturan.

Maqdir menuding keterangan ahli dari penuntut umum hanya menyesatkan jalannya persidangan.   

Misalnya saksi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berwenang menghitung kerugian keuangan negara.

"Kewenangan tersebut sudah dialihkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengalihan tersebut berdasarkan UU No.15/2006 tentang BPK," tutur Maqdir.

Maqdir mengatakan, ahli IT dari JPU berpendapat bahwa setelah dikontrak roll out sewajarnya proses pengembangan piranti lunak CIS dihentikan sehingga pembayaran tim pengembangan ini dianggap penggelembungan nilai kontrak.

"Pendapat ahli IT ini mengabaikan kenyataan bahwa PLN sebagai badan usaha tidak boleh berhenti mengantisipasi dinamika di lingkungan usahanya dan menyempurnakan Sispro Pelayanan yang tertuang dalam CIS RISI" tambah Magdir.

Selain itu Maqdir juga mempertanyakan anggapan Ahli IT dari JPU yang menyatakan bahwa tenaga manajemen untuk mengoordinasi aktivitas 200 ahli IT di 36 lokasi terpisah tidak perlu dibayar,

"Ini merupakan refleksi kedangkalan pengalaman ahli ini" ujar Maqdir.

Rencananya, kata Maqdir, pihaknya akan menghadirkan sejumlah saksi yang meringankan bagi terdakwa. Maqdir juga berencana menghadirkan ahli bidang informasi dan teknologi untuk menjelaskan apakah ada kerugian negara atau tidak dalam pelaksanaan proyek Roll Out CIS-SIRI.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2011