Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris meminta sekarang ini pemerintah harus menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengingat kasus COVID-19 terus mengalami lonjakan pascalibur Lebaran 2021.
"Angka penularan COVID-19 setelah libur Lebaran semakin menggila, oleh karena itu PSBB harus segera dilakukan," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Cegah penyebaran COVID-19, MTQ Pandeglang digelar dengan prokes ketat
Pada Kamis (17/6) angka penularan dan kematian harian nasional mencetak rekor baru, yakni 12.624 kasus harian yang merupakan angka tertinggi sejak 30 Januari 2021 dan 227 orang meninggal dunia juga tertinggi sejak 3 April 2021.
Di sisi lain, kata dia, angka keterisian tempat tidur atau "bed occupancy rate" (BOR) fasilitas kesehatan hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa sudah di atas batas WHO, yakni 60 persen. Bahkan, di DKI Jakarta, BOR nyaris menyentuh angka 80 persen.
Sementara, lanjut dia, fakta di lapangan tanda-tanda fasilitas kesehatan kolaps semakin nyata. Antrean pasien memanjang untuk masuk rumah sakit. Lebih miris lagi, ada pasien yang ditolak karena sudah penuh.
"Bahkan ada yang meninggal dunia dalam perjalanan karena tidak kunjung mendapat rumah sakit rujukan," kata Charles.
Di sisi lain, para tenaga kesehatan keketeran karena lonjakan pasien yang tak terkira. Melihat data dan fakta tersebut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro jelas tidak cukup merespons kedaruratan penularan COVID-19 saat ini.
Apalagi, kata dia, dengan jumlah tes dan pelacakan COVID-19 yang minim di beberapa daerah menyebabkan PPKM skala mikro menjadi tidak efektif sehingga tidak ada artinya zonasi warna jika pelacakan atau penelusuran kasus dan tes COVID-19 tidak maksimal.
"Bayangkan saja, di DKI Jakarta yang jumlah tes dan pelacakannya terbilang tinggi dibanding daerah lain, kesenjangan antara jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 dengan jumlah yang dilaporkan sangat jomplang," kata dia.
Survei seroprevalensi oleh Centre for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta menyebutkan jumlah orang yang benar-benar terinfeksi ternyata 12 kali lebih tinggi dari apa yang dilaporkan atau tercatat.
"Buat saya, kondisi yang terjadi saat ini bukan hanya mengkhawatirkan, tapi sudah mengerikan," ujar dia.
Oleh sebab itu, katanya, perlu tindakan cepat dari pemerintah pusat untuk segera membatasi kegiatan sosial masyarakat secara besar atau pemberlakuan PSBB dan tidak lagi parsial.
Jika COVID-19 saat ini diibaratkan tsunami, katanya, maka PSBB seperti pemecah gelombang di lautan sehingga gelombang yang sampai di daratan tidak begitu besar. Tanpa pemecah gelombang ditakutkan tenaga kesehatan dan masyarakat di daratan akan ikut tersapu.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
"Angka penularan COVID-19 setelah libur Lebaran semakin menggila, oleh karena itu PSBB harus segera dilakukan," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Cegah penyebaran COVID-19, MTQ Pandeglang digelar dengan prokes ketat
Pada Kamis (17/6) angka penularan dan kematian harian nasional mencetak rekor baru, yakni 12.624 kasus harian yang merupakan angka tertinggi sejak 30 Januari 2021 dan 227 orang meninggal dunia juga tertinggi sejak 3 April 2021.
Di sisi lain, kata dia, angka keterisian tempat tidur atau "bed occupancy rate" (BOR) fasilitas kesehatan hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa sudah di atas batas WHO, yakni 60 persen. Bahkan, di DKI Jakarta, BOR nyaris menyentuh angka 80 persen.
Sementara, lanjut dia, fakta di lapangan tanda-tanda fasilitas kesehatan kolaps semakin nyata. Antrean pasien memanjang untuk masuk rumah sakit. Lebih miris lagi, ada pasien yang ditolak karena sudah penuh.
"Bahkan ada yang meninggal dunia dalam perjalanan karena tidak kunjung mendapat rumah sakit rujukan," kata Charles.
Di sisi lain, para tenaga kesehatan keketeran karena lonjakan pasien yang tak terkira. Melihat data dan fakta tersebut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro jelas tidak cukup merespons kedaruratan penularan COVID-19 saat ini.
Apalagi, kata dia, dengan jumlah tes dan pelacakan COVID-19 yang minim di beberapa daerah menyebabkan PPKM skala mikro menjadi tidak efektif sehingga tidak ada artinya zonasi warna jika pelacakan atau penelusuran kasus dan tes COVID-19 tidak maksimal.
"Bayangkan saja, di DKI Jakarta yang jumlah tes dan pelacakannya terbilang tinggi dibanding daerah lain, kesenjangan antara jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 dengan jumlah yang dilaporkan sangat jomplang," kata dia.
Survei seroprevalensi oleh Centre for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta menyebutkan jumlah orang yang benar-benar terinfeksi ternyata 12 kali lebih tinggi dari apa yang dilaporkan atau tercatat.
"Buat saya, kondisi yang terjadi saat ini bukan hanya mengkhawatirkan, tapi sudah mengerikan," ujar dia.
Oleh sebab itu, katanya, perlu tindakan cepat dari pemerintah pusat untuk segera membatasi kegiatan sosial masyarakat secara besar atau pemberlakuan PSBB dan tidak lagi parsial.
Jika COVID-19 saat ini diibaratkan tsunami, katanya, maka PSBB seperti pemecah gelombang di lautan sehingga gelombang yang sampai di daratan tidak begitu besar. Tanpa pemecah gelombang ditakutkan tenaga kesehatan dan masyarakat di daratan akan ikut tersapu.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021