Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya mengatakan pentingnya segera melakukan kajian ilmiah terhadap tembakau alternatif untuk meluruskan informasi keliru mengenai produk ini.

"Kajian ilmiah komprehensif yang dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya nantinya dapat menjadi acuan dalam memberikan informasi akurat kepada publik sehingga menghapus polemik yang masih berlangsung hingga saat ini.  Tanpa adanya riset yang menyeluruh, publik, terutama perokok dewasa, akan terus mendapatkan informasi yang keliru sehingga enggan untuk beralih ke produk minim risiko kesehatan ini," kata Amaliya dalam kegiatan diskusi media secara daring, Selasa.
 
Fakta bahwa produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, memiliki risiko kesehatan jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok telah diperkuat oleh beberapa hasil riset di luar negeri.

Sejumlah penelitian seperti Public Health England dan German Federal Institute for Risk Assessement (BfR), menyimpulkan bahwa rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok karena tidak melalui proses pembakaran.
 
UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency, juga menyimpulkan secara positif bahwa produk tembakau yang dipanaskan mengurangi bahan kimia berbahaya sebesar 50 hingga 90 persen daripada rokok. 

"Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya harusnya terbuka dengan fakta ini dan mendorong kajian ilmiah lokal. Pemerintah bisa meniru Inggris dan Jepang yang terbuka terhadap kajian ilmiah dan mendukung penggunaan produk tembakau alternatif untuk menurunkan angka perokoknya," kata Amaliya.
 
Inggris dan Jepang pun tercatat telah berhasil menurunkan angka perokok. Berdasarkan Badan Statistik Inggris, angka perokok turun dari 14,4% pada 2018 lalu menjadi 14,1% atau setara dengan 6,9 juta perokok pada 2019. Penggunaan produk tembakau alternatif di Inggris telah mendorong 20.000 perokok berhenti merokok setiap tahunnya.
 
Adapun di Jepang, menurut hasil survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, angka perokok pria turun di bawah 30% untuk pertama kalinya menjadi 28,8% pada 2019 lalu. Angka perokok perempuan turut berkurang 0,7 poin menjadi 8,8%. Adapun angka perokok dewasa laki-laki di Korea Selatan mencapai rekor terendah sebesar 38,1% pada 2017 lalu.

Regulasi 

Amaliya melanjutkan hasil kajian ilmiah yang dilakukan pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait nantinya dapat menjadi acuan dalam pembuatan regulasi yang proporsional. 

Regulasi ini harus mencakup informasi akurat sehingga perokok dewasa memperoleh fakta bahwa produk tembakau alternatif minim risiko kesehatan. Selain itu, regulasi tersebut juga harus spesifik, terpisah, dan berbeda dengan aturan rokok. Dengan begitu, perokok dewasa akan termotivasi untuk beralih menggunakan produk tembakau alternatif.
 
Selain itu, regulasi tersebut juga harus diperkuat dengan tata cara pemasaran serta pengawasan, dan standardisasi produk sehingga konsumen merasa aman dan nyaman dalam menggunakan produk tembakau alternatif. Untuk mencegah penyalahgunaan, regulasi ini juga perlu mengatur batasan usia pengguna agar anak-anak di bawah usia 18 tahun dan non-perokok tidak dapat mengonsumsinya.

"Harapannya, dengan dilandasi kajian ilmiah, pembentukan regulasi secara proporsional dan menyeluruh dapat membantu memanfaatkan potensi produk ini, dan yang lebih penting meluruskan stigma yang berkembang selama ini," tutup Amaliya.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020