Ternyata perburuan buronan hak tagih atau cessie Bank Bali yang nilainya tidak kurang dari Rp540 miliar terhadap Djoko Tjandra tidak hanya melibatkan tiga jenderal di Kepolisian Republik Indonesia tapi juga menimbulkan “keributan” di DPR.

Tiga jenderal Polri, yakni Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte, kemudian Sekretaris NCB Indonesia, Brigadir Jenderal Polisi Nugroho Wibowo, serta Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo, telah diberhentikan dari jabatannya.

Napoleon dan Nugroho dianggap melanggar kode etik Polri terkait penerbitan surat pemberitahuan pencabutan dokumen yang disebut red notice dari Polri terhadap Organisasi Polisi Internasional (Interpol) terhadap tersangka Djoko Tjandra.

Red notice pada dasarnya adalah sebuah surat permintaan dari kepolisian sebuah negara kepada Interpol bagi pencarian atau perburuan seorang tersangka yang melarikan diri dari negaranya.

Surat pencopotan tiga jenderal ini pasti telah disetujui Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Idham Azis.

Sementara itu di Gedung MPR/DPR/DPD muncul masalah karena Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum berniat melakukan rapat dengar pendapat dengan Kemenhukam, Kejaksaan Agung, Polri terkait buronan Djoko Tjandra yang diduga lari ke Malaysia.

Namun Wakil Ketua DPR bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Azis Syamsudin "melarang" rapat dengar pendapat dengan dalih DPR baru saja memulai masa reses hingga pertengahan Agustus mendatang.

Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, dalam rapat dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, serta Badan Intelijen Negara (BIN), di Jakarta pada Selasa (21/7) telah memerintahkan supaya perburuan Djoko Tjandra digiatkan atau diintensifkan supaya masyarakat tahu bahwa pemerintah tidak main- main dalam menangani kasus ratusan miliar rupiah ini.

Mahfud menegaskan bahwa pencarian serta perburuan Djoko Tjandra harus terus dilakukan. Negara dan rakyat telah dirugikan.

Keruwetan masalah Djoko Tjandra ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat mulai dari pengamat kepolisian dan hukum, politisi hingga orang awam. Pertanyaan itu muncul karena penyelesaian masalah Bank Bali yang sudah mati itu tak kunjung selesai. Kasus ini telah muncul sejak masa Orde Baru.

Yang sangat menarik perhatian masyarakat adalah karena tiga jenderal polisi telah dicopot karena diduga terlibat dalam kasus pidana. Misalnya, kok sampai bisa buron ini bisa bepergian di dalam negeri dengan didampingi perwira tinggi. Kemudian bagaimana mungkin Utomo bisa “berhak” mengeluarkan surat jalan bagi Djoko Tjandra, padahal sangat jelas bahwa tugas utama Prasetijo adalah menangani PPNS.

Dalam benak warga Indonesia bisa timbul setumpuk pertanyaan misalnya apakah Utomo baru pertama kalinya melakukan ulah ini ataukah justru sudah amat sering bertindak melampaui uraian tugasnya?

Kemudian juga bagaimana mungkin seorang jenderal berbintang dua, seperti Bonaparte, melanggar kode etik Polri? Kalau tiga jenderal saja sudah berani melanggar hukum apakah mungkin prajurit bawahan mulai dari bhayangkara dua hingga komisaris besar polisi meniru para atasannya itu?

Tugas berat Kapolri
Semua personel Polri harus menyadari bahwa 270 juta orang Indonesia amat mendambakan bersih dan berwibawanya Polri, Para jenderal polisi misalnya harus mengingat Kembali bahwa beberapa bulan lalu, tiga prajurit Polri harus kehilangan nyawanya di Provinsi Papua akibat bentrokan dengan prajurit- prajurit TNI AD dari satuan Kostrad.

Jenderal- jenderal polisi harus melihat bahwa banyak personel Polri harus naik motor menerjang alam yang terjal saat merayakan HUT Polri hanya untuk membantu rakyat di daerah- daerah terpencil akibat dampak wabah Corona.

Masihkah rakyat harus mendengar dan melihat adanya segelintir jenderal Polri yang korupsi sehingga negara harus kehilangan uang miliaran rupiah ? Mungkinkah tiga jenderal ini hanya dicopot akibat melanggar kode etik kepolisian ataukah juga ada unsur “menerima sogokan” dari Djoko Tjandra?

Pencopotan tiga jenderal ini harus dijadikan saat atau momen untuk membersihkan Polri dari semua unsur yang ingin melakukan tindak pidana korupsi. Tidak bolehkan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki impian untuk memiliki Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bebas dari unsur KKN?

Perbaikan kurikulum di Akademi Kepolisian hingga Sekolah Pimpinan Kepolisian Indonesia tidaklah berlebihan untuk dikaji ulang sehingga mampu menghasilkan polisi- polisi yang memiliki moral dan etika yang setinggi mungkin. Jangan ada lagi polisi yang menjadi koruptor atau memanfaatkan jabatannya secara salah.

Ingatlah wahai polisi bahwa rakyat mendambakan Polri yang 100 persen bersih. Berlebihkah impian atau dambaan ini?

Mantan Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Hugeng Imam Santoso, sudah menampilkan bentuk tubuh yang tetap kurus kerempeng saat memimpin Polri padahal pada dasawarsa '70-an, banyak sekali peluang di tubuh Polri yang dahulunya masih tergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI.

Saat itu begitu besar peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi, tapi Jenderal Hugeng tetap hidup sederhana, tak menyombongkan diri sebagai pejabat negara meski akhirnya dipecat gara- gara mengharuskan pengendara motor memakai helm .

Generasi muda Polri tentu tidak bisa berkenalan langsung dengan Hugeng. Akan tetapi banyak buku atau gambar yang bisa menjadi sarana untuk mengenal dari dekat tentang apa dan siapa Hugeng itu yang akhirnya tetap dikenang karena amat sering tampil di Televisi Republik Indonesia dalam acara musik dengan kelompok musiknya, Hawaaian Senior.

Jadi, masih kurangkah contoh bagi para jenderal, komisaris besar hingga ajun komisaris polisi dan bhayangkara dua dari pendahulunya untuk tetap tidak menyeleweng atau memakan uang rakyat dan negara.

*) Arnaz Firman, wartawan Kantor Berita ANTARA pada 1982-2018. Meliput acara kepresidenan pada 1987- 2009

Pewarta: Arnaz Firman *)

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020