Anggota Tim Pengawas (Timwas) Penanggulangan Bencana COVID-19 DPR RI, Mufti Anam, mengingatkan pebisnis tidak memanfaatkan pandemik untuk mengambil keuntungan besar dari kebutuhan masyarakat.
"Terutama yang dilakukan dunia usaha terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat," ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Surabaya, Senin
Ia mencontohkan tentang alat rapid test (uji cepat) yang di luar negeri harganya sekitar Rp30.000-Rp50.000 per satuan, tapi di Indonesia dijual dengan harga lebih.
"Ada yang Rp200.000, Rp300.000, Rp500.000, bahkan ada yang menawarkan Rp800.000 sampai Rp1 juta," ucap anggota Fraksi PDIP DPR RI tersebut.
Menurut dia, mengambil untung tidak masalah karena di dunia usaha, tapi untung "gila-gilaan" saat pandemik yang menyusahkan banyak orang tentu tidak beretika.
Ia mengatakan, banyak Dinas Kesehatan dan rumah sakit daerah yang dibiayai APBD membeli rapid test dalam jumlah besar dengan harga cukup mahal karena dunia usaha mematok margin dalam skala yang tak masuk akal.
"Sungguh disayangkan. Padahal kalau harga bisa ditekan lebih murah, dana APBD itu bisa dialihkan untuk beli alat kesehatan lain, seperti menambah ventilator, atau bisa juga dialihkan menambah jaring pengaman sosial membantu sembako ke warga terdampak kesulitan ekonomi," katanya.
Tak itu saja, politikus muda yang juga Ketua HIPMI Jatim itu berharap perusahaan farmasi BUMN tidak ikut-ikutan dalam permainan taking profit yang menyusahkan rakyat.
Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi BUMN tersebut menambahkan selain mencekik dari sisi harga, akurasi rapid test juga perlu menjadi perhatian bersama, sebab tidak sedikit kasus dengan tingkat akurasi sangat lemah.
"Seperti kasus salah satu desa di Bali yang bikin heboh waktu itu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Terutama yang dilakukan dunia usaha terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat," ujarnya dalam siaran pers yang diterima di Surabaya, Senin
Ia mencontohkan tentang alat rapid test (uji cepat) yang di luar negeri harganya sekitar Rp30.000-Rp50.000 per satuan, tapi di Indonesia dijual dengan harga lebih.
"Ada yang Rp200.000, Rp300.000, Rp500.000, bahkan ada yang menawarkan Rp800.000 sampai Rp1 juta," ucap anggota Fraksi PDIP DPR RI tersebut.
Menurut dia, mengambil untung tidak masalah karena di dunia usaha, tapi untung "gila-gilaan" saat pandemik yang menyusahkan banyak orang tentu tidak beretika.
Ia mengatakan, banyak Dinas Kesehatan dan rumah sakit daerah yang dibiayai APBD membeli rapid test dalam jumlah besar dengan harga cukup mahal karena dunia usaha mematok margin dalam skala yang tak masuk akal.
"Sungguh disayangkan. Padahal kalau harga bisa ditekan lebih murah, dana APBD itu bisa dialihkan untuk beli alat kesehatan lain, seperti menambah ventilator, atau bisa juga dialihkan menambah jaring pengaman sosial membantu sembako ke warga terdampak kesulitan ekonomi," katanya.
Tak itu saja, politikus muda yang juga Ketua HIPMI Jatim itu berharap perusahaan farmasi BUMN tidak ikut-ikutan dalam permainan taking profit yang menyusahkan rakyat.
Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi BUMN tersebut menambahkan selain mencekik dari sisi harga, akurasi rapid test juga perlu menjadi perhatian bersama, sebab tidak sedikit kasus dengan tingkat akurasi sangat lemah.
"Seperti kasus salah satu desa di Bali yang bikin heboh waktu itu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020