Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menegaskan Indonesia tidak bisa menerima kebijakan energi Uni Eropa (EU) yang menuding biofuel dari minyak kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi, karena diskriminatif.
Mahendra menganggap kebijakan Renewable Energy Directive (RED II) dan Derivative Act yang dirilis oleh EU sebagai tantangan besar yang akan mencegah pengembangan hubungan yang lebih produktif dan konstruktif antara Indonesia dan EU.
“Sementara fokus kebijakan energi terbarukan EU hanya terbatas pada deforestasi, sebenarnya kerusakan lingkungan yang disebabkan minyak nabati di Eropa lebih jauh dari itu,” kata Mahendra saat membuka “Dialog Kebijakan tentang Bioenergi Strategis Indonesia dan Swedia” di Jakarta, Rabu.
Mengutip hasil penelitian Dr. Erich E Dumelin dari University of California, AS, Wamenlu mengatakan bahwa produktivitas minyak kelapa sawit berkisar 4-9 kali lipat dari minyak nabati lainnya.
Selain itu, kelapa sawit hanya membutuhkan 19 kilogram pupuk nitrogen untuk menghasilkan 1 ton minyak, sedangkan minyak nabati lain, misalnya canola (rapeseed) memerlukan hingga 183 kilogram pupuk yang sama untuk menghasilkan 1 ton minyak.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dengan judul Life Cycle Assessment of Palm Oil and Vegetable Oils, and the Environmental Impact of Palm Oil and Other Vegetable Oils (2009) itu juga menunjukkan bahwa kelapa sawit hanya membutuhkan 0,01 kilogram pestisida untuk memproduksi 1 ton minyak, sementara untuk menghasilkan 1 ton rapeseed oil diperlukan 35 kilogram pestisida.
Mengacu pada riset tersebut, Wamenlu Mahendra menegaskan pentingnya menggunakan perspektif yang benar ketika berbicara mengenai bioenergi atau produk berkelanjutan dengan melihat seluruh parameter dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Indonesia, kata dia, tidak memilih secara sewenang-wenang hanya satu atau dua parameter SDGs hanya untuk menyamarkan kehancuran nyata yang terjadi.
Sebaliknya, Indonesia menilai kebijakan energi terbarukan EU yang hanya berdasarkan satu atau dua target, tidak tepat karena tidak menggunakan parameter yang menyeluruh, objektif, komprehensif, dan diakui internasional.
“Indonesia hanya akan menerima perlakuan adil atas isu ini, karena pengembangan minyak nabati sesungguhnya harus memenuhi seluruh parameter SDGs. Selain dari itu tidak dapat diterima karena diskriminatif,” kata Mahendra.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020